MOJOK.CO – Airlangga Hartarto dikabarkan diberi waktu hingga Agustus untuk membentuk poros baru pada Pemilu 2024. Jika gagal, partai siap mengadakan Munaslub untuk mengganti posisinya sebagai ketum Partai Golkar. Pakar politik UGM Arga Pribadi Imawan menyebut, opsi mengganti Airlangga lebih masuk akal ketimbang harus bikin poros baru.
Baru-baru ini, geger geden terjadi di internal Partai Golkar. Pasalnya, sejumlah politisi seniornya tengah mewacanakan penyelenggaraan musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) untuk melengserkan Airlangga dari kursi ketum.
Munaslub akan dilakukan jika target pembentukan poros baru koalisi, yang mengusung Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto sebagai bakal calon presiden, gagal terwujud.
Seperti diketahui, Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar 2019 telah memutuskan langkah yang akan diambil partai pada Pilpres 2024. Langkah partai tegas: mengusung Ketua Umum Partai Golkar sebagai bakal calon presiden.
Airlangga sendiri diberi waktu hingga Agustus untuk membentuk poros koalisi baru yang mengusung dirinya sebagai capres. Apabila gagal, para politisi senior telah mewacanakan Munaslub untuk mengubah keputusan Munas 2019 sekaligus pergantian ketua umum.
Ambisi bikin poros baru terlalu muluk
Pakar politik UGM Arga Pribadi Imawan menyebut, opsi yang paling rasional untuk diambil Partai Golkar adalah mengganti Airlangga sebagai ketum, alih-alih bikin poros baru.
Menurut Arga, poros ataupun bursa pencapresan kini sudah mengerucut antara Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo. Dengan kata lain, sudah sangat kecil kemungkinan untuk mucul nama baru.
Terlebih, jika berbiara soal Airlangga, kata Arga, elektabilitasnya sebagai capres tidak terlalu tinggi. Dalam lima hasil survei terbaru saja, misalnya, elektabilitasnya tak sampai 1 persen.
Ia berada di posisi buncit. Bahkan kalah dari figur-figur yang bukan ketua umum partai—dan tidak diproyeksikan sebagai capres—seperti Erick Thohir dan Sandiaga Uno.
“Ambisi Golkar menurut saya terlalu tinggi. Jadi, yang paling mungkinkan adalah mengganti Airlangga sebagai ketua umum,” kata Arga kepada Mojok, Kamis (13/7/2023).
Airlangga juga gagal dongkrak popularitas Golkar
Masalah lain yang menjadi alasan mengapa Airlangga mungkin harus diganti adalah kegagalannya dalam mendongkrak popularitas Partai Golkar.
Imbasnya, tingkat keterpilihan partai berlambang pohon beringin itu juga jalan di tempat.
“Bahkan, ia kalah dari sebuah partai yang masih terkesan baru, Gerindra, yang elektabilitasnya sampai 18 persen; sedangkan Golkar 10 persen,” kata Arga.
Selain itu, data juga menunjukkan bahwa makin ke sini kursi yang didapat Golkar di Senayan makin menyusut. Memang, pada Pemilu 2019 lalu Golkar mendapatkan 85 kursi—terbanyak kedua setelah PDIP. Tapi tak bisa dimungkiri bahwa itu turun dari pemilu-pemilu sebelumnya.
Pada Pemilu 2004 lalu, perolehan kursi Partai Golkar di DPR RI mencapai 129 kursi. Ia turun ke 106 kursi pada 2009, lalu merosot lagi ke 91 kursi pada 2014, dan berujung pada 85 kursi di 2019.
“Padahal, jika kita bisa melihat posisi Airlangga yang berada di jajaran kabinet, seharusnya dia bisa mendongkrak popularitas Golkar,” tukasnya.
Golkar hilang marwah
Meski “hampir mustahil” bikin poros baru, Arga memahami rasionalitas para elite Partai Golkar mengapa mereka menginginkan level yang lebih tinggi, yakni masuk dalam bursa capres.
Sebab, Golkar seolah hilang marwah. Kata Arga, selama 10 tahun lamanya partai ini hanya mendekat ke partai penguasa.
“Padahal jika kita melihat dalam catatan sejarah, Golkar bahkan bisa masuk dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat, yang ketika kita masuk desa-desa kita akan melihat Golkar sebagai salah satu partai terkuat,” uajr Arga.
“Tetapi jika kita melihat beberapa survei hari ini, itu terlihat berubah sangat jauh dari yang dulu,” lanjutnya.
Selain itu, Arga juga memaparkan dalam pengelolaan partai terdapat tiga level yang harus bersinergi. Level eksekutif, yang mengharuskan kecakapan lobby antara partai dengan pemerintah; level DPP, yang berpengaruh pada hubungan antarelite parpol; dan level akar rumput, untuk memastikan relasi partai dengan masyarakat dan pemilih.
“Nah, Airlangga ini justru tidak bisa menjadi salah satu corong atau poros yang kemudian bisa menyatukan ketiganya. Ia hanya sibuk dengan profesinya, dan gagal membangun konektivitas dengan tataran elite apalagi akar rumput,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Makna Pertemuan Prabowo dan Cak Imin, Jadi Berpasangan?
Cek berita dan artikel lainnya di Google News