MOJOK.CO – Mikroagresi bisa disebut juga perundungan kepada perempuan dan kelompok rentan lainnya secara tak sadar. Tindakan ini berbahaya karena bisa menyebabkan korbannya trauma.
Pertanyaan “kapan nikah?”, yang dianggap lazim terlontar dalam pertemuan keluarga, bisa jadi merupakan hal biasa. Namun, bagi seseorang yang pernah beberapa kali mengalami kekerasan dalam hubungan, pertanyaan tersebut bisa saja mengganggu.
Sama halnya dengan pertanyaan “kapan punya anak?” yang sering terlontar kepada pasangan baru. Buat sebagian orang, ini seolah wajar. Tapi bagi pasangan yang mengalami masalah reproduksi, pertanyaan tersebut bisa saja seperti menikamnya.
Ya, fenomena tersebut dalam dunia psikologi disebut “mikroagresi”. Di dunia nyata, kita bebas berucap; dan di media sosial jari-jari kita bisa mengetik kalimat tanpa batas. Namun, yang tidak kita sadari terkadang ucapan dan ketikan kita itu ternyata menyakiti orang lain—meski kita tak bermaksud.
Mikroagresi bermain di ruang tersebut. Itulah mengapa beberapa orang mendefinisikan mikroagresi sebagai “perundungan tak disadari”.
Apa, sih, mikroagresi itu?
Profesor psikologi Kevin Nadal dalam tulisannya yang berjudul “Featured Commentary: Trayvon, Troy, Sean: When racial biases and microaggressions kill” (2012) mendefinisikan mikroagresi (microagression) sebagai “sikap merendahkan dan/atau mengalienasi atau memperlakukan berbeda seseorang atau kelompok karena ras, gender, seks, orientasi seksual, referensi, pandangan dan identitas politik mereka”.
Menurut Nadal, semua orang atau kelompok punya potensi untuk melakukan dan mengalami mikroagresi. Namun, secara umum mikroagresi paling sering terjadi pada kelompok rentan. Misalnya, perempuan, kelompok disabilitas, kelompok minoritas (suku, agama, ras, dan kepercayaan), imigran, dan lain sebagainya.
Fenomena tersebut, juga bisa terjadi di mana saja—bahkan di lingkup paling personal sekalipun. Seperti keluarga, lingkar pertemanan (peer), lingkungan kerja dan sekolah, bahkan media sosial. Ia bisa berbentuk percakapan sehari-hari maupun komentar-komentar kita di dunia maya.
Contoh, kalimat-kalimat mikoragresi—selain yang sudah dicontohkan di awal—meliputi:
- “Kamu kan keturunan Cina, tapi kok miskin, sih?” (prasangka ras di lingkup pertemanan)
- “Hebat, ya, kamu Tuli yang mandiri. Nggak kayak teman-teman difabel yang pernah aku temui.” (nirempati kepada kelompok disabilitas, meski bersifat pujian)
- “Kamu hebat, perempuan karier yang sukses. Tapi, kamu masih ada waktu kan buat anak-anak kamu?” (prasangka bahwa perempuan karier pasti tak ada waktu untuk keluarga)
Jika diamati, seolah tak ada yang salah dengan kalimat-kalimat tersebut. Ia terlihat seperti pertanyaan yang sah, lazim, atau malah seperti pujian. Namun, pernyataan-pernyataan tersebut bisa jadi merupakan perundungan karena membuat orang yang mengalaminya menjadi tertekan.
Akibat mikroagresi
Berbeda seperti ujaran kebencian, mikroagresi berada di ruang yang berbeda. Ia, bahkan bisa terjadi tanpa harus dilontarkan; bisa berupa aksi-aksi kecil dalam kehidupan sehari-hari yang sebenarnya sangat stigmatis.
Misalnya, menertawakan seseorang yang punya dialek bahasa berbeda dari kita, dan lain sebagainya.
Mikroagresi sendiri, meski terlihat remeh, sebetulnya punya dampak buruk bagi orang yang mengalaminya. Perempuan menjadi objek yang paling sering mengalami mikroagresi, mengingat posisi mereka sebagai kelompok rentan yang kerap mengalami diskriminasi gender.
Profesor psikologi Columbia University, Derald W. Sue, menyebut bahwa mikroagresi menjadi buruk lantaran bikin orang yang mengalaminya merasa berbeda, aneh, merasa patut dicurigai, atau bahkan ditakuti.
Beberapa orang juga mungkin berpikir bahwa mikroagresi tak berarti apa-apa. Padahal, mikroagresi yang dialami kelompok rentan dan terespresi, khususnya perempuan, dapat berakibat buruk bagi kesehatan fisik dan mental korban.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi