MOJOK.CO – Hari ini, Rabu (29/3/2023), Google menampilkan sosok Raden Ayu Lasminingrat sebagai Google Doodle. Cendekiawan perempuan asal Sunda ini punya jasa besar dalam perjuangan perempuan, khususnya bidang literasi, di tanah air. Bagaimana kisah hidupnya?
Google menampilkan sosok Raden Ayu Lasminingrat sebagai Google Doodle. Dalam deskripsinya, mereka menyebut bahwa penampilan ini sebagai peringatan atas ulang tahun ke-196 penulis dan cendekiawan Sunda tersebut.
“Doodle hari ini merayakan ulang tahun ke-169 penulis dan cendekiawan Sunda, Lasminingrat, yang telah membuka jalan bagi generasi masa depan perempuan di Indonesia,” tulis Google pada lamannya, Rabu (29/3/2023).
Seperti dijelaskan laman Google, Raden Ayu Lasminingrat lahir pada 29 Maret 1854 di Garut, Jawa Barat, dari pasangan Raden Ayu Ria and Raden Haji Muhamad Musa. Ayahnya adalah seorang pelopor sastra cetak dan cendekiawan Sunda.
Karya-karya populer Haji Musa, misalnya, Carita Abdurahman jeung Abdurahim (1863), Dongeng-dongeng nu Araneh (1866), dan Santri Gagal (1881), yang mahsyur pada masanya.
Sementara Lasminingrat sendiri menimba ilmu di Sumedang, dan harus terpisah dari keluarganya kala itu. Selama menempuh pendidikannya, Lasminingrat tinggal dalam asuhan teman ayahnya yang bernama Levyson Norman.
Singkat cerita, Norman-lah yang membantu mengajari Lasminingrat bahasa Belanda dan menjadikannya perempuan Indonesia pertama yang fasih menulis dan membaca bahasa Belanda pada saat itu.
Setelah mahir menulis dan berbicara dalam bahasa Belanda, Lasminigrat lantas bermimpi untuk menghadirkan kesetaraan bagi seluruh perempuan Indonesia
Ibu Literasi Pertama Indonesia
Melansir laman Dinas Kebudayaan DIY jogjaprov.go.id, dijelaskan bahwa Lasminingrat menggunakan kemampuan literasinya untuk mengadaptasi dongeng-dongeng Eropa ke dalam bahasa Sunda.
Beberapa di antaranya, misalnya, pada 1875-1876 ia menerjemahkan Warnasari jilid 1 & 2 dan buku Carita Erman, yang merupakan terjemahan dari karya Christoph von Schmid—penulis cerita-cerita anak asal Jerman.
Buku Carita Erman, bahkan dicetak sebanyak 6.015 eksamplar dalam bahasa aksara Jawa, lalu menyusul pada 1922 dalam aksara Latin.
“Ia juga mulai mengajar anak-anak Indonesia pada 1879; membacakan buku-buku yang telah diadaptasi dengan lantang, dan mengajarkan pendidikan moral serta psikologi dasar,” tulis laman tersebut.
Karyanya itu, pada akhirnya memberikan pendidikan kepada anak-anak pribumi Indonesia dan memperkenalkan mereka pada budaya internasional. Bahkan, dua jilid Warnasari dan Carita Erman, menjadi buku pelajaran resmi pada masa itu.
Ia lantas mendapat julukan sebagai “Ibu Literasi Pertama Indonesia”.
Mendirikan sekolah pemberdayaan perempuan
Setelah menjadi istri kedua dari Raden Adipati Aria Wiratanudatar VII, Bupati Garut, Lasminingrat lebih fokus ke dunia pendidikan. Pada 1907, ia pun mendirikan Sekolah Keutamaan Istri.
Sekolah itu dibangun tiga tahun setelah tokoh perempuan lain, Dewi Sartika, mendirikan Sakola Istri di Bandung.
Mengingat Lasminingrat merupakan istri bupati, ia pun menjadikan ruang gamelan kabupaten sebagai ruang kelas. Ilmu yang diajarkan juga beragam, mulai dari membaca, menulis, dan berhitung, hingga keterampilan-keterampilan lain seperti menjahit, merajut, serta membatik.
Sekolah Keutamaan Istri juga mendapat dukungan dari pemerintah Hindia-Belanda. Pada 12 Februari 1913, sekolah ini disahkan sebagai organisasi bernama Vereeneging Kautaman Istri Scholen.
Pamornya pun makin naik. Jumlah murid terus bertambah dari yang awalnya puluhan menjadi 200 murid yang dibagi jadi lima kelas. Karena makin populer, pada 1934 “cabang” sekolah ini berdiri di kota-kota lain seperti Garut Wetan, Cikajang, Bayongbong, Tasikmalaya, Sukabumi, Purwakarta, dan Rangkasbitung.
Pada 2007 Pemerintah Garut telah mengusulkan nama Lasminingrat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Namun, pada 2010 Kementerian Sosial menundanya karena masih ada banyak syarat yang harus dilengkapi.
Selanjutnya, pada 2021 lalu nama Lasminingrat kembali diajukan. Kabar terakhir, gelar kepahlawanan itu belum diakui secara nasional.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda