MOJOK.CO – Klientelisme sering kita temui dalam kontestasi politik seperti pilkada atau pemilu. Namun, sebenarnya seberapa berbahayakah praktik ini?
Jelang tahun politik, lazimnya narasi-narasi politik identitas banyak para elite gaungkan. Ini terjadi mengingat ada anggapan bahwa aspek etnisitas mujarab dalam meraih simpati massa, terutama kelas menengah ke bawah.
Pada Pemilu 2009 lalu misalnya, pasangan capres-cawapres Jusuf Kalla dan Wiranto (JKWIN) mengidentifikasi mereka sebagai representasi kelompok Jawa dan non-Jawa. JK yang berasal dari Makassar sebagai “si non-Jawa” dan Wiranto yang lahir di Jogja sebagai “si Jawa”.
Atau, pada Pemilu 2019 lalu pasangan Prabowo-Sandi merapatkan barisan ke kelompok Islam. Mereka mengklaim diri sebagai representasi kelompok Islam, dan sepanjang kampanye banyak memakai narasi agama untuk menyerang kompetitornya.
Namun, selain politik identitas, ada pola lain yang sering elite gunakan. Mobilisasi pemilih tidak melalui narasi identitas, melainkan oleh aktor/elite penyedia dukungan. Dalam politik, perilaku ini disebut sebagai “klientelisme”.
Lantas, apa sih klientelisme politik itu?
Mengenal klientelisme politik
Profesor di Departemen Ilmu Politik University of Michigan, Allen Hicken, mendefinisikan klientelisme sebagai hubungan timbal balik dan hierarkis yang terbentuk melalui pertukaran sumber daya materiil dan nonmateriil antara kandidat dan pemilih. Biasanya, pertukaran tersebut dimediasi oleh penyedia dukungan, yang dalam masyarakat umumnya dilakukan oleh pemimpin etnis.
Contohnya, seorang calon kepala daerah memberikan sejumlah uang atau janji kepada pemimpin etnis atau tokoh terhormat di suatu daerah (penyedia dukungan). Syaratnya, penyedia dukungan itu wajib memastikan bahwa masyarakat memilihnya dalam pemilu.
Lebih lanjut, kata profesor yang fokus meneliti institusi politik negara-negara berkembang itu, praktik klientelisme berbeda dengan politik identitas karena ia tidak berbasis pada ikatan primordial ataupun sentimen. Melainkan ia melibatkan kalkulasi rasional (untung-rugi) antara kandidat dan pemilih.
Melalui jaringan klientelisme pula, kontrol terhadap birokrasi, lembaga, dan pemimpin etnis yang para kandidat lakukan hampir tak terhindarkan. Hal ini mengingat kandidat maupun penyedia dukungan bodo amat soal ikatan primordial etnis, yang penting adalah kepentingan politik di pemilu.
Dalam konteks Indonesia, misalnya, praktik klientelisme umum terjadi saat Pilkada. Kebanyakan, praktik klientelisme ini dilakukan oleh petahana yang memiliki kuasa dalam mengontrol dan mendayagunakan birokrasi bagi kepentingan politiknya. Ia memiliki otoritas untuk mengarahkan aparatur sipil negara (ASN) di birokrasi, dari kabupaten hingga desa sesuai kepentingannya.
Hasil riset peneliti Research Center for Politics and Government (Polgov) UGM Ardiman Kelihu adalah gambaran jelas mengenai klientelisme politik di Pilkada.
Penelitian berjudul “Mobiliasasi Etnis Leihitu dan Seram di Pilkada Maluku Tengah 2007-2017” ini menunjukan, bahwa kandidat petahana yang berasal dari etnis kecil (etnis Lease) justru memenangkan Pilkada karena berhasil menggunakan jejaring klientelisme sebagai penyedia dukungan.
Meskipun mobilisasi politik intens dilakukan oleh etnis mayoritas (etnis Leihitu dan Seram), tapi kontrol terhadap birokrasi, raja lokal, dan lembaga adat di kedua etnis tersebut berhasil memenangkan petahana dari etnis yang berbeda.
Dalam konteks pemilu nasional, mobilisasi pemilih secara klientelistik juga dapat berguna untuk memenangkan sanak keluarga. Caranya, petahana memanfaatkan kembali jejaring klientelisme lama sebagai penyedia dukungan bagi keluarganya.
Mengapa buruk bagi Pemilu?
Belakangan, klientelisme menjadi umum politisi gunakan (khususnya petahana) karena memang mempermudah mobilisasi politik. Hal ini mengingat elite penyedia dukungan memegang langsung kontrol terhadap para pendukung agar tidak membelot.
Sayangnya, praktik yang demikian merupakan preseden buruk bagi pemilu. Menurut Ardiman Kelihu, klientelisme dapat menghambat keterlibatan pemilih secara demokratis di politik elektoral.
Kebebasan pemilih, kata Ardiman, bakal terhambat oleh elite penyedia dukungan yang berperan menghubungkan mereka dengan kandidat, terutama jika konsentrasi peran politik yang hanya bertumpu di lingkaran elite.
“Ini secara tidak langsung melemahkan fungsi representasi politik warga. Pemilih jadi tidak mendapat kebebasan untuk menentukan pemimpinnya secara langsung,” ujar Ardiman, dikutip dari The Conversation, Jumat (26/5/2023).
Lebih lanjut, klientelisme juga rentan menciptakan korupsi. Sebab, praktik ini menekankan pada pertukaran sumber daya antara kandidat dan elite penyedia dukungan.
Teknisnya, kandidat memberikan barang materiil atau non-materiil, sementara elite menyediakan dukungan politik dalam bentuk suara. Mekanisme koruptif ini dipertahankan melalui loyalitas.
Semisal, bupati petahana memberi barang mewah kepada kepala desa, dengan jaminan sang bupati harus menang di desa yang kepala desa tersebut pimpin.
Sementara sisi buruk klientelisme lainnya adalah membuka potensi bagi lahirnya kekuasaan politik keluarga alias dinasti politik. Dukungan politik yang terbangun melalui klientelisme berlanjut di internal keluarga, lalu berguna lagi sebagai saluran mobilisasi dukungan bagi anggota keluarga yang lain.
“Misalnya, dalam suatu pilkada, seorang kepala daerah dapat memanfaatkan kembali jejaring klientelisme yang telah memenangkannya untuk memobiliasi dukungan untuk anaknya yang maju dalam pemilihan anggota legislatif daerah,” jelas Ardiman.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi