MOJOK.CO – Representasi diri yang Islami bisa meningkatkan potensi terpilih. Hal ini disadari dan dimanfaatkan oleh beberapa caleg dalam bermedia sosial untuk meningkatkan keterpilihan.
Dalam beberapa tahun terakhir, para pemilih di Indonesia memang cenderung menyukai kandidat yang memiliki kepribadian religius serta memiliki gaya hidup dan penampilan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Preferensi ini disadari oleh sejumlah caleg perempuan sehingga berpengaruh pada penggunaan media sosial (medsos). Mereka kemudian memunculkan citra ketakwaan dalam bermedia sosial.
Hal itu terlihat dalam pemilu 2019. Dosen Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Haryanto dan Dosen Ilmu Politik dan Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Rizkika Lhena Darwin melakukan riset mengenai pola penggunaan media sosial di kalangan caleg perempuan pada Pemilu 2019 di Banda Aceh. Hasilnya, representasi diri yang Islami di media sosial ternyata berhasil membantu meningkatkan elektabilitas.
Dalam riset itu diungkapkan, citra diri perempuan muslimah ideal yang dimaksud adalah bagaimana mereka mencintai dan merawat keluarga, serta setia dan berbakti kepada suami. Citra itu dibangun baik melalui foto maupun caption di media sosial caleg. Contoh lain, caleg mencoba memunculkan citra feminin dengan nilai-nilai islam.
KPU pada Pemilu 2019 mencatat, caleg perempuan menyumbang hampir 42% dari total caleg yang memperebutkan 30 kursi Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh, lebih tinggi dari porsi caleg perempuan pada Pemilu 2014 yang hanya 14,8%.
Strategi ini ternyata bisa meningkatkan keterwakilan perempuan dalam panggung politik demi membawa perubahan sosial dan mendorong perempuan untuk terlibat dalam politik. Apalagi, pada waktu itu pemilih perempuan muda cenderung mendominasi. Di mana sebagian besar dari mereka menggunakan media sosial guna mengakses informasi.
Halaman selanjutnya…
Agama masih menjadi sentimen
Agama masih menjadi sentimen
Lokasi riset yang berada di Banda Aceh, yang memberlakukan hukum syariah, mungkin menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi hasil riset di atas. Namun, nyatanya, mengaitkan kandidat dengan agama yang dianut cenderung masih dianggap penting oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Khususnya dalam pemilihan Presiden 2024.
Kanal YouTube Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dalam program “Bedah Politik bersama Saiful Mujani” episode “Politik Identitas Dalam Pilpres 2024” melihat politik identitas, khususnya identitas agama, ternyata masih berlaku di Indonesia.
“Politik identitas adalah politik yang bersandar pada identitas sosial,” jelas Prof. Saiful Mujani dalam kanal tersebut, Kamis (27/7/2023). Di Indonesia, identitas sosial yang dimaksud di antaranya suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA).
Dalam survei nasional yang dijalankan Juli 2023 menunjukkan, masyarakat Indonesia belum cukup inklusif dari sisi agama. Survei nasional itu menunjukkan 50 persen responden akan memiliki calon yang beragama sama. 45 persen lainnya menyatakan perbedaan agama tidak menjadi masalah, dan 5 persen tidak tahu.
“Secara umum, pada dasarnya masyarakat Indonesia cenderung eksklusif secara agama dalam menentukan pilihan politik mereka dalam pemilihan presiden,” jelas dia. Artinya, pemilih cenderung menjatuhkan pilihannya bukan karena calonnya kompeten dan punya rekam jejak baik, tapi karena agamanya sama dengan pemilih.
Padahal idealnya, pilihan seseorang berdasarkan eprtimbangan-pertinagan rasional. Arti rasional adalah sesuatu yang dapat diperdebatkan atau dinilai benar salahnya, SARA tidak bisa diukur benar salahnya.
Penulis: Kenia intan
Editor: Purnawan Setyo Adi