MOJOK.CO – Profesi perawat identik dengan perempuan, padahal dulu pendidikan perawat hanya untuk laki-laki. Sejak kapan perubahan ini terjadi?
Setiap tanggal 12 Mei, terhitung sejak tahun 1974, selalui diperingati sebagai Hari Perawat Sedunia. Tanggal tersebut dipakai sebagai hari perawat untuk memperingati kelahiran pendiri keperawatan modern, Florence Nightingale.
Namun, tulisan ini tidak untuk mengupas tuntas sejarah peringatan hari perawat itu. Tulisan ini, ingin menjawab pertanyaan umum—yang mungkin sudah jadi pengetahuan sehari-hari—terkait: “mengapa perawat selalu identik dengan perempuan?”.
Wajar, dalam dunia kesehatan, di Indonesia maupun dunia, profesi perawat didominasi oleh perempuan. Di dunia per-twitter-an, bahkan, profesi perawat selalu dilabelkan sebagai pasangan ideal mas-mas berseragam—baik polisi maupun tentara.
Jangankan itu, di dalam budaya pop seperti film saja, profesi perawat selalu melekat pada perempuan. Misalnya, dalam film horor, banyak hantu-hantu perawat yang gendernya adalah perempuan.
Lantas, mengapa bisa profesi perawat ini identik dengan perempuan?
Gara-gara perang
Thomas Kearns dan Paul Mahon dalam studinya berjudul “How to attain gender equality in nursing” menjelaskan bahwa pada awalnya perawat merupakan profesi laki-laki. Bahkan, sekolah perawat pertama di dunia (250 SM) yang berdiri di India, hanya untuk bagi siswa laki-laki.
“Pada mulanya, hanya laki-laki yang dianggap mampu menjadi perawat,” tulis Kearns dan Mahon, mengutip dari BMJ Journal, Jumat (12/5/2023).
Bahkan, pada abad ke-14 sampai abad ke-15, ranah militer dan agama masih menggunakan laki-laki sebagai perawat. Misalnya, sebagaimana dicatat penulis, tokoh terkenal Santo Camillus de Leillis pada tahun 1535 pernah bersumpah untuk merawat orang-orang yang sakit atau sekarat.
Atau, dalam ordo militer dan religius seperti Parabalani pada 1616, laki-laki lah yang bertugas merawat penderita kusta di Alexandria.
Sayangnya, memasuki abad ke-17 dan ke-18, pola ini mengalami perubahan. Muaranya adalah perang semakin intens dan membunuh banyak prajurit yang sebagian besar adalah laki-laki.
Seperti diketahui, sejak pertengahan 1800-an, banyak perang yang terjadi dan memakan korban jiwa tak sedikit. Misalnya Perang Krimea, Perang Sipil Amerika, dan perang-perang lainnya.
Akhirnya, karena laki-laki dianggap punya tanggung jawab mengurus garda terdepan, maka perempuan lah yang bertugas merawat prajurit yang terluka.
Hingga akhirnya, pada 1859 Florence Nightingale menerbitkan catatan berjudul “every woman is a nurse”. Catatan yang dikenal sebagai Reformasi Nightingale ini memutuskan untuk mengeluarkan dan melarang laki-laki untuk menempuh pendidikan keperawatan di Inggris.
Nightingale, yang kemudian terkenal sebagai pendiri keperawatan modern, memastikan bahwa semua siswa di sekolah perawat yang ia dirikan adalah perempuan. Dari sini, kata Kearns dan Mahon, pada akhirnya bikin laki-laki mulai mecari profesi lain di luar keperawatan.
Persepsi budaya pun akhirnya terbentuk, yang mana perawat pada akhirnya diidentikkan dengan perempuan. Karena memang, secara jumlah misalnya, dominasi perempuan dalam dunia keperawatan sangat tinggi.
Mendominasi tapi masih rentan
Seperti yang sudah disinggung, presentasi perempuan dibanding laki-laki dalam profesi keperawatan amat dominan. Data Office for National Statistic yang diperbarui pada 2019 lalu menunjukkan bahwa 83 persen perawat di Inggris adalah perempuan.
Jumlah serupa juga dilaporkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang menyebutkan bahwa secara global dua per tiga jumlah perawat adalah perempuan. Di Indonesia, perbandingan tersebut juga tak terlalu jauh.
Kendati jumlahnya begitu dominan, sayangnya posisi perempuan sebagai perawat masih sangat rentan.
Misalnya saja, apa yang terjadi di Inggris. Di sana, 9 dari 10 perawat adalah perempuan. Namun, mereka mendapatkan gaji 17 persen lebih kecil dibanding perawat laki-laki. Padahal, beban kerja dan jam kerja sama relatif sama—bahkan beban kerja perawat perempuan lebih besar karena di Inggris sudah terpatri anggapan perawat itu “feminin dan pekerjaan pengabdian”.
Selain diupah lebih kecil, perawat perempuan juga rentan mengalami kekerasan seksual. Serikat Pekerja Perawat Inggris atau Unison menyebut bahwa perawat perempuan di Inggris banyak yang melaporkan pernah mengalami kekerasan seksual saat bertugas, dari yang ringan, hingga serius seperti pemerkosaan.
Di Indonesia sendiri, Komnas Perempuan melalui siaran persnya di Hari Perawat Nasional (17 Maret 2023) lalu menyebut bahwa perawat di Indonesia masih rentan mendapatkan kekerasan berbasis gender. Kerentanan atas kekerasan dan diskriminasi yang dihadapi perempuan perawat berhubungan langsung dengan struktur sosial yang menempatkan perempuan sebagai subordinat laki-laki.