MOJOK.CO – Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebut ada kemungkinan masyarakat bakal kembali ke sistem pemilu tertutup dengan coblos partai, sebagaimana pernah berlaku pada masa sebelum Reformasi. Wacana ini didukung oleh PDIP, tapi di waktu yang sama juga dikritik ramai-ramai oleh sejumlah pihak.
Wacana tersebut pertama kali mencuat, setelah Ketua KPU Hasyim Asy’ari menyatakan adanya potensi masyarakat akan mencoblos partai dalam Pemilu 2024 mendatang, bukan lagi coblos caleg.
Menurut Hasyim, sistem proporsional terbuka yang berlaku saat ini sedang digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). Katanya, MK akan memberlakukan kembali sistem proporsional daftar calon tertutup.
“Ada kemungkinan, saya belum berani berspekulasi. Ada kemungkinan bakal kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup,” ujar Hasyim, saat menyampaikan paparannya di acara “Catatan Akhir Tahun 2022” di Kantor KPU, Kamis (29/12/2022).
Sistem proporsional daftar calon terbuka memberikan opsi bagi pemilih untuk mencoblos partai ataupun nama caleg. Dalam surat suara, tercantum logo partai, nomor urut partai, dan daftar nama caleg.
Sementara di sistem proporsional daftar calon tertutup, hanya menyediakan opsi logo dan nomor urut partai di surat suara. Partai akan menentukan caleg yang akan duduk di parlemen jika sudah mendapat jatah kursi.
Ketua KPU itu pun meyakini bahwa MK bakal mengembalikan sistem proporsional tertutup, yang mana pernah berlaku pada masa sebelum reformasi. Seperti diketahui, sistem proporsional tertutup dipakai pada Pemilu 1955, sepanjang Orde Baru, dan terakhir pada Pemilu 1999.
Mendapat dukungan PDI Perjuangan
Pernyataan KPU tersebut mendapat sambutan hangat dari sejumlah parpol, salah satunya dari kubu PDIP. Politikus senior PDIP, Hendrawan Supratikno, menegaskan bahwa partainya tetap mendukung sistem proporsional tertutup untuk kembali diterapkan pada Pemilu 2024.
Ia pun menyebut beberapa alasan mengapa pihaknya ingin mengembalikan sistem pemungutan suara yang pernah diberlakukan sepanjang rezim Orde Baru tersebut. Salah satunya, menurut Hendrawan, karena alasan konstitusional.
“PDIP selalu berada di garis proporsional tertutup karena alasannya UUD 1945 Pasal 22E ayat (3). Argumentasinya kuat. Didukung oleh beberapa alasan. Titik tolak pertama adalah konstitusi,” kata Hendrawan, Kamis (29/12/2022).
Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 sendiri berbunyi bahwa, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.”
Selain itu, Hendrawan juga menambahkan, sistem proporsional tertutup juga bisa menekan biaya politik yang tinggi dalam setiap pemilu. Menurutnya, dalam sistem terbuka, selama ini para caleg melakukan berbagai cara agar terpilih.
“[Proporsional terbuka] Bikin biaya politik tinggi karena ada mentalitas yang individualistik, liberalistik, dan materialistik,” papar Hendrawan.
“Isitilahnya kalau orang per orang itu yang maju, akan melakukan berbagai cara agar terpilih. Cara yang paling dominan adalah menggunakan alat peraga kampanye yang disebut uang. Money politics semarak di mana-mana,” jelasnya.
Dikritik ramai-ramai
Kendati disambut baik oleh PDIP, Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia justru bersikap sinis soal wacana tersebut.
Pertama-tama, ia mempertanyakan kapasitas Ketua KPU soal pernyataan kemungkinan Pemilu 2024 kembali memakai sistem proporsional tertutup atau coblos hanya partai. Menurutnya, hal itu hanya bisa terjadi jika ada revisi Undang-Undang yang prosesnya mesti matang.
“Itu saudara Hasyim dalam kapasitas apa mengeluarkan pernyataan seperti itu,” tukas Doli, Kamis (29/12/2022), dikutip Detik.
“KPU adalah institusi pelaksana Undang-Undang. Sementara bila ada perubahan sistem pemilu itu artinya ada perubahan Undang-Undang. Perubahan UU hanya terjadi bila ada revisi UU, terbitnya Perpu yang melibatkan DPR dan pemerintah atau berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi,” sambungnya.
Lebih lanjut, politisi Partai Golkar ini juga menyinggung pihak yang sedang mengajukan judicial review terkait pelaksanaan sistem Pemilu. Ia pun lantas mempertanyakan apakah Ketua KPU menjadi salah satu yang mendorong proses itu.
“Memang saya mendapatkan informasi bahwa ada pihak yang sedang mengajukan judicial review. Apakah Hasyim menjadi bagian yang mendorong pihak yang mengajukan JR tersebut? Atau apakah MK sudah mengambil keputusan yang cuma Hasyim yang tahu?” ujarnya, melempar kesinisan.
Sementara itu, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, menilai bahwa keinginan kembali pada sistem proporsional tertutup hanyalah akal-akalan partai politik semata. Menurutnya, parpol ingin memiliki kendali absolut kepada para kadernya yang duduk di parlemen.
“Soal keinginan untuk kembali kepada sistem tertutup itu, sih, kerjaan parpol-parpol yang oligarkis dan memastikan anggota DPR ditentukan sepenuhnya oleh parpol,” ujarnya, kepada CNNIndonesia, Kamis (29/12/2022) malam.
“Parpol-parpol ini ingin kendali mereka atas para kader benar-benar absolut,” sambungnya.
Lucius melanjutkan, bahwa dirinya menolak sistem proporsional daftar tertutup kembali dipakai. Ia menilai, kondisi parpol saat ini masih amburadul, sehingga ia tak yakin keinginan mengubah sistem pemilihan ini karena pertimbangan demokrasi.
“Rasanya sulit mempercayai keinginan mereka mengubah sistem pemilu karena pertimbangan demokrasi. Ini hanya kedok saja,” katanya.
Melansir Kumparan, sejumlah parpol pun juga sudah mulai angkat suara dengan mencerca wacana ini. Salah satunya NasDem, yang menyebut pernyataan KPU soal kemungkinan kembali ke sistem tertutup adalah “offside”.
“Pernyataan Ketua KPU terkait hal tersebut offside, tidak sepatutnya,” kata Sekretaris Jendral Partai NasDem, Johnny G. Plate, Jumat (30/12/2022).
“DPP Partai Nasdem dengan sangat tegas menolak gagasan sistem proporsional tertutup pada pemilu legislatif,” tegasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi