MOJOK.CO – Politikus muda Partai Golkar, Dyah Roro Esti, menyebut perlu ada pembahasaan secara khusus untuk menyampaikan fenomena perubahan iklim ke masyarakat umum. Hal ini mengingat masih banyak masyarakat yang kurang begitu percaya pada fenomena tersebut.
Perempuan 31 tahun ini menyampaikan, masih ada beberapa masalah dalam masyarakat yang membuat edukasi terkait perubahan iklim sedikit terhambat.
Salah satunya terkait climate change denial, atau situasi ketidakpercayaan mengenai fenomena perubahan iklim. Menurut Dyah Roro Esti, ada beberapa faktor yang bikin seseorang menjadi climate change denial.
Faktor pertama adalah tingkat pendidikan. Semakin rendah tingkat pendidikan seseorang, kata Dyah Roro, kemungkinan ketidakpercayaan mereka akan perubahan iklim akan makin rendah pula.
“Hal ini mengingat perubahan iklim adalah masalah yang sering dibicarakan kelas menengah, meski implikasinya lebih banyak dirasakan masyarakat bawah,” kata Dyah Roro, dalam pemaparannya di diskusi bertajuk “Posisi dan Rasionalitas Partai Politik dalam RUU Energi Baru dan Terbarukan” yang diselenggarakan DPP UGM, Rabu (3/5/2023).
Selain itu, anggota Komis VII DPR ini melanjutkan, masalah usia juga memengaruhi tingkat kepercayaan seseroang terhadap perubahan iklim. Makin tua usia seseroang, makin besar kemungkinan mereka menjadi climate change denial.
“Ini juga wajar karena perubahan iklim adalah isu yang banyak dibahas, dan disukai, oleh kalangan Gen Z atau anak-anak muda,” sambungnya.
Kendati demikian, ia menambahkan bahwa tak menutup kemungkinan juga anak-anak muda ada yang tidak percaya dengan perubahan iklim.
Misalnya, bagi mereka yang bergelut di industri pertambangan seperti batubara dan energi fosil lainnnya.
“Jadi, beda masyarakat, beda juga cara kita membahasakan fenomena ini kepada mereka,” jelas co-founder Indonesian Energy and Environmental Institute (IE2I) ini.
Cara ‘membahasakan’ ke masyarakat awam
Sementara terkait metode untuk mengedukasi masyarakat awam—khususnya masyarakat kelas menengah ke bawah—terkait perubahan iklim, Dyah Roro Esti menyebut ada dua cara yang sejauh ini sudah berjalan.
Cara pertama adalah pendekatan personal. Ini lantaran masih banyak masyarakat awam yang tak terlalu peka terhadap dampak perubahan iklim, meski sebenarnya implikasinya sudah mereka rasakan.
“Misalnya, ketika kita memasang PJTS (penerangan jalan tenaga surya) pengganti lampu jalan berbahan batu bara, masyarakat tak ambil pusing darimana sumber energi ini. Yang mereka tahu jalanan terang dan mereka bisa bekerja,” ujarnya.
Padahal, menurut Dyah Roro, dampak perubahan iklim seringkali mengganggu produktivitas kerja mereka. Misalnya saja, suhu udara yang makin panas di siang hari bakal sangat memengaruhi produktivitas masyarakat yang bekerja di luar ruangan.
Bahkan, secara makro perubahan iklim telah bikin konsumsi rumah tangga menurun. Dyah Roro memproyeksikan bahwa akibat perubahan iklim, pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia bakal menurun 16,7 hingga 30,2 persen dalam beberapa waktu ke depan.
“Maka, kita perlu bicara secara personal dengan masyarakat terkait dampak-dampak ini, dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti agar esensinya sampai,” lanjutnya.
Sedangkan metode kedua adalah dengan menggandeng influencer. Metode ini paling sering dilakukan, bahkan negara-negara lain juga sudah banyak yang menerapkannya.
Kata Dyah Roro, alasan mengapa influencer dipakai karena mereka cenderung lebih didengarkan ketimbang politisi atau pengambil kebijakan.
Popularitas mereka, di sisi lain, juga akan lebih mudah meningkatkan keterjangkauan kampanye perubahan iklim di masyarakat. Terlebih, pengaruh influencer juga melintasi batas usia, yang artinya baik golongan tua ataupun muda bisa jadi akan ikut terpengaruh.
“Jadi tantangannya, bagaimana cara kita merangkul mereka, para influencer ini, agar mampu menyampaikan masalah nyata ini. Sementara para pengambil kebijakan ahrus memikirkan solusi jangka panjang,” tandasnya.
Reporter: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi