4 Alasan Perkawinan Anak di Indonesia Masih Tinggi

perkawinan anak di indonesia mojok.co

Ilustrasi pernikahan (Mojok.co)

MOJOK.COAngka perkawinan anak di Indonesia masih tinggi. Padahal berbagai upaya sudah dilakukan untuk menekan terjadinya perkawinan anak, termasuk dari sisi kebijakan. Lantas, apa penyebabnya? 

Angka perkawinan anak masih menjadi pekerjaan rumah di Indonesia. Rata-rata nasional perkawinan anak memang terus menurun dalam tiga tahun terakhir. BPS mencatat, angka rata-rata nasional pada 2019 mencapai 10,82 persen. Kemudian turun di 2020 menjadi 10,35 persen. Pada akhir Juni 2021 turun lagi ke angka 9,23 persen. 

Akan tetapi angka itu masih jauh dari target penurunan angka perkawinan anak yang diharapkan mencapai 8,74 persen pada 2024 dan 6,94 persen pada 2030. Target itu termaktub dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. 

Padahal berbagai upaya pencegahan terhadap perkawinan anak di Indonesia sudah dilakukan. Mulai dari penanggulangan kemiskinan, peningkatan akses pada pendidikan, dan perubahan norma sosial. Undang-undang Perkawinan 2019 untuk menaikkan usia minimum perkawinan bagi perempuan menjadi 19 tahun, sama dengan laki-laki, juga sudah dilakukan. 

Lantas, kenapa angka perkawinan anak masih belum mampu ditekan sesuai target? Melansir tulisan Andi Misbahul Pratiwi berjudul “Mengapa perkawinan anak di Indonesia masih tinggi meski ada kemajuan dalam kebijakan?”  dalam The Conversation, Selasa (4/7/2023) ada beberapa sebab perkawinan anak di Indonesia masih saja terjadi.  

Kehamilan yang tidak diinginkan

Dalam “Pencegahan Perkawinan Anak untuk Perlindungan Berkelanjutan bagi Anak” yang disusun oleh  Kementerian Pemberdayaan  Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bersama Pusat Kajian dan  Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA) dijelaskan, pemerintah masih mendeteksi adanya dispensasi perkawinan anak yang diajukan dan dikabulkan. 

Menurut catatan PUSKAPA UI (2023) 36,36 persen dari total perkawinan anak yang diputus pengadilan Agama sepanjang 2022 dikarenakan anak telah hamil. Jumlah itu setara sepertiga dari pengajuan dispensasi yang ada. 

Pernikahan yang didorong hal ini menjadi perhatian karena anak yang menikah itu kemudian tidak bisa mendapatkan hak-haknya seperti pendidikan, kesehatan, dan pengasuhan yang layak karena belum tersedianya layanan secara komprehensif. 

Budaya

Nilai-nilai budaya menjadi salah satu faktor perkawinan anak masih saja terjadi di Indonesia. Praktik di Nusa Tenggara Barat (NTB), di komunitas adat Sasak misalnya, perkawinan anak terjadi melalui merariq atau lari bersama. Persyaratan yang mesti dipenuhi untuk melakukan merariq adalah kedewasaan. Sementara anak dianggap dewasa apabila telah mampu menenun dan mengolah mutiara, berapapun usianya. 

Kemiskinan

Adapun di Sukabumi, tingginya angka perkawinan anak tidak terlepas dari ketakutan akan zina, pendidikan rendah, dan kemiskinan. Begitu pula yang terjadi di  suku Dayak Mali di Kalimantan Barat. Kemiskinan menjadi faktor perempuan di suku tersebut melakukan perkawinan di usia anak. Tentu ini tidak terlepas dari  ketiadaan akses terhadap pekerjaan dan kehamilan di usia anak. 

Krisis iklim dan bencana alam

Ternyata krisis iklim dan bencana alam meningkatkan kerentanan perempuan untuk menikah di usia anak. Dalam kondisi ini biasanya perempuan mengalami dampak lebih buruk daripada laki-laki. Ini tidak terlepas dari ketidaksetaraan gender yang dialami perempuan dan anak perempuan. Oleh karena itu, menikahkan anak perempuan menjadi salah satu strategi keluarga untuk keluar dari dampak negatif bencana. 

Berbagai alasan di atas sebenarnya punya hulu yang sama, yakni patriarki. patriarki menempatkan perempuan dalam posisi subordinat dalam berbagai aspek, sehingga keadaannya cenderung tidak diuntungkan dan lebih rentah. 

Anak perempuan dari keluarga miskin misalnya, kerap kali dipaksa mengalah dari anak laki-laki untuk mengakses pendidikan. Akibatnya anak perempuan dianggap jadi  beban ekonomi keluarga sehingga perkawinan anak dianggap jadi solusi. Selain itu, pendidikan seksual yang komprehensif memang belum tersedia secara memadai di Indonesia.

Penulis: Kenia Intan
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Ini Daftar ‘Dapil Neraka’ Pemilu 2024! Tempatnya Politisi Nama Besar Saling Sikut

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

 

Exit mobile version