MOJOK.CO – Alih-alih percaya bahwa Reels akan bikin mati TikTok, saya justru kasihan sama Instagram yang mati-matian berevolusi jadi sesuatu yang makin jauh dari identitas awal mereka.
Head of Instagram, Adam Mosseri, seakan menggali kuburannya sendiri ketika bilang, “We’re no longer a photo-sharing app.”
Dalam unggahan video singkat berdurasi 2 menitan, Adam menjelaskan bahwa Instagram akan membawa perubahan masif ke aplikasi tersebut. 4 hal jadi fokus utama yakni Creator, Video, Shopping, dan Messaging.
Sekilas, ini nampak menarik. Di atas kertas, Instagram berupaya jadi super-app yang relevan dengan zaman dan berusaha terlihat wah banget, tapi mereka lupa; sebuah aplikasi yang terus berubah hanya akan kehilangan identitasnya.
Oke pertama, kita mulai dari Reels.
Seorang selebtwit sempat menuliskan dalam sebuah twit ketika dia menyebut dengan percaya diri bahwa Reels akan jadi lonceng kematian bagi TikTok. Setelah Instastories sukses membawa lonceng kematian bagi Snapchat, Reels digadang-gadang melalukan hal serupa ke TikTok. Lucu sekali opini ini, karena terlihat sangat polos dan naif.
Reels di-desain sedemikian rupa supaya mirip dengan TikTok. Instagram seolah membuang harga diri mereka dengan membuat fitur yang plek-ketiplek dengan fitur utama TikTok. Hanya karena Reels mirip TikTok apakah akan membuat TikTok mati? Tentu saja hanya waktu yang bisa menjawab.
Namun, saya yakin, jawabannya untuk saat ini adalah: TIDAK. Setidaknya, TikTok tidak menjual jiwa mereka ke pasar untuk menjadi sesuatu yang bukan identitas mereka. Dari sejak awal di-launching, TikTok adalah platform video pendek dan tidak pernah beranjak dari titik tersebut. Reels? HAHAHA!
Kedua, poin kreator.
Dengan menghapus identitas sebagai photo-sharing app, Instagram justru membuat jarak yang besar sekali dengan para kreator mereka. Harus ke mana para comic artist mengunggah artwork mereka kalau Instagram yang jelas-jelas platform terbaik untuk ini terang-terangan menyebut diri, “Eh, antum nggak bisa share images lagi di sini, yaw!”
Di setiap pengembangan aplikasi, harusnya kreator jadi faktor utama yang tidak boleh diabaikan. Karena selain biasanya jadi opinion leader, mereka juga napas utama aplikasi. Yang membuat aplikasi tak pernah kehilangan ruh mereka di tengah tuntutan pasar digital yang makin kompleks.
Bayangin, di Instagram, dalam 2-3 tahun terakhir, kreator tidak lagi leluasa untuk semakin kreatif berkarya, tapi 90%-nya justru dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan perubahan Instagram yang makin lama makin gak jelas mulai dari perubahan identitas hingga algoritma.
Ketiga, shopping dan messaging.
Ini lebih “wagu” lagi. Instagram Shop sejatinya adalah fitur yang tidak pernah diinginkan oleh users. Dari beberapa forum reddit di Amerika Serikat, tidak ada satu pun yang mengapresiasi kolom Shop di Instagram.
Sudahlah tidak diinginkan, eh, di pembaharuan terbaru, shopping malah dimasukkan sebagai 1 dari 4 poin utama rebranding baru Instagram. Coba dibuka datanya deh, seberapa banyak bisnis UMKM yang terbantu dengan fitur Instagram Shop, pada berani nggak ini?
Akselerasi ekonomi digital memang menggiurkan, tapi pintu masuk users ke e-commerce masih lewat aplikasi sejenis Shopee dan Tokopedia. Meski ceruk ini menguntungkan, nyaris sulit mengubah kebiasaan orang berbelanja di e-commerce lalu digeser ke Instagram Shop. Selain ini sudah jadi pola yang nyaris template, jujur aja deh, ada berapa banyak, sih, orang yang sudi beli barang lewat Instagram Shop ketimbang Shopee atau Tokopedia?
Nah, kalau soal fitur messaging, sih, dari dulu yang memang sudah bobrok pola pikirnya. Sudahlah privasi diobok-obok sama Facebook, eh penyatuan aplikasi Messenger antara Facebook dan Instagram justru bisa bikin random peoples di Facebook bisa tiba-tiba kirim DM ke akun Instagram kita. Saya beberapa kali mendapat DM dari orang di Facebook yang nawarin bisnis MLM sampai nawarin kontrakan bulanan.
Dan terakhir, pesan buat developer Instagram, mbok uwis, leren, tenangno pikirmu.
Di tengah akselerasi digital yang berfokus di konten video, Instagram harusnya tak perlu mencoba relevan dengan zaman. Berani beda itu baik dan tidak perlu mengekor popularitas TikTok.
Lagipula, simpelnya gini, kalau semua aplikasi jadi video-based, apa nggak membosankan nantinya platform media sosial di dunia ini? Sebelum ada Reels, orang datang ke Instagram bukan untuk mencari video ala TikTok dan seharusnya itu alasan yang lebih dari cukup untuk mempertahankan main value Instagram sebaagi sebuah aplikasi.
Jadi ya, alih-alih percaya bahwa Reels akan bikin mati TikTok, saya justru kasihan sama Instagram yang mati-matian berevolusi jadi sesuatu yang makin jauh dari identitas awal mereka. You live long enough to be something that you actually don’t want to be.
BACA JUGA Instagram Reels: Setelah Snapchat dan TikTok, Siapa Lagi yang Mau Direbut Pasarnya, Wahai Instagram? dan kisah bersama aplikasi lainnya di rubrik KONTER.