MOJOK.CO – Berkat rame-rame biaya layanan QRIS ini, kini kita tahu sifat asli orang Indonesia kayak gimana. Ngehek dan cenderungnya bebal, sih.
Saya mulai percaya, utamanya sejak kuliah di jurusan HI (Hubungan Internasional), negara berkembang akan sulit naik kelas. Apalagi kalau mau menjadi negara maju tapi mental rakyatnya memang masih belum siap. Dan, di konteks Indonesia, entah kenapa, ini tuh kerasa banget hahaha!
Semua dimulai dari keputusan Bank Indonesia (BI) memberlakukan biaya layanan QRIS sebesar 0,3%. Aturan ini mulai berlaku sejak seminggu lalu, tepatnya 1 Juli 2023. Sebelumnya, setidaknya hingga 30 Juni 2023, tarif QRIS di penyedia jasa pembayaran memang gratis alias 0%. Tapi siapa sangka, kenaikan 0,3% ini direspons warga Indonesia dengan cara yang… bikin malu.
Saya rangkum beberapa komentar absurd khas netizen lokal terkait keputusan BI ini:
- “Pemerintah yang nggak pernah suka sama gratisan.”
- “Oh ini yang ngebet digitalisasi ujung2nya nyari pemasukan???”
- “Merugikan pedagang atuh pak…mending ga ush pake QRIS…”
Adalah mustahil kalau QRIS selamanya gratis
Entah kenapa, membaca komentar miring terkait keputusan BI ini bikin saya skeptis. Terutama sama gembar-gembor Indonesia Emas 2045. Ini padahal cuma 0,3%, bayangin kalau 1%, apa nggak digeruduk itu kantor BI?
Netizen Indonesia ini memang kadang terlalu reaktif. Sudah begitu cenderung tidak mau melihat dengan perspektif yang berbeda. QRIS, seperti halnya inovasi teknologi, butuh yang namanya server hingga maintenance.
Ia satu gerbang pembayaran yang memungkinkan kita membayar dari berbagai macam jenis dompet digital dari DANA, ShopeePay, dan masih banyak lagi. Mustahil yang namanya teknologi akan selamanya gratis. Ini bukan omong kosong, tapi keniscayaan. Kan orang-orang engineer yang ada di balik layar butuh uang makan juga, pak/bu.
Itu baru alasan pertama kenapa QRIS memang sudah selayaknya ada biaya layanan. Alasan berikutnya tentu saja memahami lebih dalam poin pentingnya; BI melarang pembebanan biaya layanan ini dikenakan ke konsumen.
Potongan yang seharusnya tidak memberatkan
Jadi, BI mewajibkan kepada pedagang untuk menanggung biaya 0,3% dari nilai transaksi ini. Dan saya, meski bukan pedagang besar, dibebankan biaya nggak sampai 0,5% mah enteng banget atuh.
Kami, kaum pedagang yang born and raised di iklim marketplace dengan potongan fee di angka 8,5% hingga 9%. Kalau cuma 0,3%, buat sekelas pedagang warteg yang sehari bisa melayani ratusan piring, tentu saja bukan masalah besar. Ibaratnya mah kalau dipukul pun, pukulannya nggak kerasa karena cuma 0,3%.
Dan dari sisi layanan, QRIS menurut saja, merupakan produk yang jauh dari berita negatif. Kamu bisa menyebutnya punya tone yang positif di kalangan penggunanya. Sejak mulai aktif dipakai pada pertengahan 2019, bahkan QRIS kena biaya layanan 0,7%. Dan, karena relaksasi ekonomi pada masa Covid-19, biaya ini dipukul ke angka 0% alias gratis. Kala itu, semua baik-baik saja. Lalu, kenapa pas merangkak naik ke 0,3% jadi rame dan reaktif lagi, sih?
QRIS itu bagus dan kita seharusnya bangga
Kita harus ada di satu titik pemikiran bahwa di dunia ini memang tidak ada yang benar-benar gratis, apalagi berkaitan dengan layanan. Yang namanya melayani, tentu saja ada fee-nya. Mustahil nggak ada.
Apalagi teknologi, bukan sesuatu yang dibangun dan selesai dalam satu atau dua malam saja. Ia butuh ratusan bahkan ribuan malam untuk jadi sebuah produk yang matang dan siap pakai. Belum soal sosialisasi, hingga implementasi utuh ke sistem. QRIS have come from a very long way untuk ada di titik ini dan kita seharusnya bangga karena produk layanan mereka itu oke.
Tapi, ada satu yang layak kita syukuri dari rame-rame biaya layanan QRIS ini. Kini, kita tahu sifat asli orang Indonesia kayak gimana. Terbiasa disubsidi pemerintah di berbagai lini, banyak dari kita jadi individu yang nggak mau keluar uang untuk sesuatu yang sifatnya memang harus bayar.
Jadilah warga yang baik sebelum menuntut negara
Konon, kita perlu memahami diri kita sendiri, sebelum bisa mengevaluasi untuk jadi lebih baik. Jadi, sebelum menuntut negara ini jadi makin baik, pertama-tama, kita harus jadi warga yang baik dulu. Banyak hal di negara ini memang nggak ideal, tapi seenggaknya, kita jangan ikut-ikutan jadi warga yang nggak ideal pula.
Jadi bro/sis, pahamilah kalau 0,3% itu kecil banget. Kalian beli es kopi susu Rp15 ribuan pun, 0,3%-nya bahkan cuma Rp45 perak. Nggak berasa sama sekali dan nggak dibebankan ke konsumen. Pedagang pun saya rasa juga nggak akan terdorong untuk menaikkan harga barang hanya untuk menutup fee 0,3% ini. Selain potongannya yang nggak berasa, dari sisi seller juga harusnya males sih menaikkan harga yang mana justru berpotensi backstabbing karena akan bikin konsumen kabur.
Jadi, sampai sini sudah paham atau masih mau rewel lagi khas kelas menengah ngehek? Kalau masih ribet, kalian mending nyetok uang cash, deh.
Penulis: Isidorus Rio
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA QRIS Adalah Game Changer dan Masa Depan Ekonomi Digital Indonesia dan analisis menarik lainnya di rubrik KONTER.