MOJOK.CO – Fenomena toxic parents yang kerap terjadi tapi tidak disadari.
Sudah tentu, semua orang ingin jadi orang tua terbaik bagi anaknya. Hal inilah yang menjadi alasan utama kenapa kita menemukan banyak tips parenting dan review cara pengasuhan anak dari teman-teman kita yang baru menikah, yang semuanya mendadak berubah menjadi pakar anak. Jangan diketawain, hal ini justru harus kita acungi jempol, bahkan perlu kita ikuti. Pengaplikasian tips parenting-nya, ya, yang harus diikuti, bukan soal nge-share melulu nggak berenti-berenti.
Terkait soal peran sebagai orang tua dan ilmu parenting yang kian memanas dan populer di dunia media sosial Indonesia, seorang netizen muncul dan “menampar” beberapa pembacanya saat menuliskan perihal sikap orang tua terhadap anaknya yang kerap dilakukan dan, secara tidak langsung, memberi dampak cukup besar (dan kurang baik) bagi anaknya sendiri. Tulisan ini pertama kali diunggah melalui Instagram Story akun Kei Savourie, kemudian dibagikan lebih luas oleh Gabriel Gertruida di Facebook.
Melalui thread ini, Gabriel mengajak calon-calon orang tua di masa depan untuk tidak meneruskan lingkaran setan toxic parents. Tapi sebenarnya, apa yang dimaksud dengan toxic parents?
Topik ini pernah diangkat secara khusus oleh Suzan Forward dalam buku berjudul Toxic Parents: Overcoming Their Hurtful Legacy and Reclaiming Your Life pada tahun 2002. Secara detail, Forward menekankan sikap-sikap orang tua yang justru menjadi toxic bagi anak-anaknya. Termasuk dalam kelompok ini adalah orang tua yang menekankan hukuman fisik berlebihan demi alasan kedisiplinan, melibatkan anak untuk menyelesaikan masalah pribadi, menekan psikis anak, hingga mengancam anak dan mengiming-imingi anak dengan uang. Dalam bukunya, Forward memberi pertanyaan penting bagi pembaca: apakah orang tua Anda membuat Anda merasa bahwa apapun yang Anda lakukan tidak berharga?
Dalam thread yang dibagikan Gabriel, tulisan tersebut bermula dari sebuah pemikiran sederhana: sudahkah orang tua menghargai anaknya sendiri, selagi mereka berharap dihargai?
Tak disangka, tulisan ini menjadi viral dan dibagikan terus menerus oleh pengguna Facebook. Tak sedikit pula yang justru balik curhat dan menggambarkan keadaannya yang tertekan karena orang tuanya sendiri, sementara beberapa yang lain bersyukur karena orang tuanya bersikap sangat supportive.
Nurisa Dara Ginari: Alhamdulillah orang tua saya yg memutus lingkaran ini dari kakek nenek saya. Dan inilah saya sekarang,meskipun orang tua saya tidak pernah minta sepeserpun dari saya,tidak pernah minta ditelepon. Saya selalu berusaha ada untuk mereka, pure karena saya sayang mereka. Sehari saya tidak telpon rasanya ada yg kurang, saya harus sering2 tanya butuh apa hehehe… Jadi bener bgt menurut saya, ngga perlu minta kasih sayang ke anak,klo anda memang pribadi yg layak mereka sayangi.
Dwi Widianto: Case ini agak mirip dengan saya sebagai korban berbagai bullying, jadinya suka temperamen ke anak2. Saya berusaha untuk memutus rantai ini… Jika belum bisa dan sudah punya anak, cepat2 lah peluk si anak jika sehabis memarahi sambil meminta maaf
Gede Bagus Arjuniawan: Terimakasih karena telah menyadarkan saya bahwa saya tidaklah sendiri yang merasakan seperti ini.
Saya Gapapa Kok: Ini nih yang jadi alasan dari dulu kenapa kepengen banget jadi pembicara atau aktivis dibidang parenting atau mental issues yang disebabkan sama masalah internal keluarga. Maybe, you live with your parents. But it feels like you live with dictator.
Fenomena toxic parents ini jelas menjadi PR penting bagi seluruh calon orang tua dan pasangan baru di Indonesia. Menjadi orang tua berarti kita telah memiliki tanggung jawab lebih pada nyawa manusia lain yang sudah dipercayakan Tuhan. Artinya, apapun yang kita lakukan dalam hidup tentu akan memberi dampak tertentu bagi si buah hati.
Menjadi orang tua bukan berarti menjadi satu-satunya pusat atensi bagi si anak—kita pun perlu menghargai anak selayaknya manusia yang memiliki hak utuh. Tapi di sisi lain, jangan pernah lupakan pula betapa orang tua mesti dihormati.
Jadi, calon-calon papa dan mama idola 2018, mulai dari sekarang, aturlah strategi parenting terbaik untuk anak-anakmu di masa depan. Nggak usah mikir yang berat-berat—pikirlah yang ringan-ringan dulu, misalnya: kamu mau nikah sama siapa untuk jadi partner berkeluarga? Hah?