Anda tak punya hati bila tak bergidik menengok seorang pria dibakar sampai tewas di Bekasi karena dituduh mencuri sistem suara sebuah masjid, pekan lalu.
Dia salah atau tidak, itu persoalan lain. Nyatanya, ada kekejian di situ. Pertanyaan yang lebih mendesak, dari mana tindakan itu datang? Apakah ia alamiah sifat bawaan para pembakar dan “golongan” mereka?
Izinkan saya bercerita dulu. Pada satu pagi awal 2010 silam, saya dibangunkan oleh teriakan melengking istri saya. Saat itu kami tinggal mengontrak di Pancoran Barat, Jakarta Selatan. Dia histeris karena sepeda motor kami, Honda Supra Fit keluaran baru yang kami beli kontan, tak ada di tempat dia diparkir semalam.
Alkisah, saya lapor polisi lewat telepon. Mereka datang ke kontrakan, periksa-periksa sebentar, lalu membawa saya ke kantor polisi. Saya diminta cerita panjang lebar untuk berkas laporan. Setelah semua proses pungkas, ini yang petugas bilang, “Biasa di sini, Pak. Sebulan kemarin 70 motor hilang.”
Saya tahu detik itu juga, kendaraan roda dua kami tak bakal pulang ke rumah. Ia akan dimutilasi dan bagian-bagian tubuhnya kemungkinan besar akan disebar di Kalibata atau Jalan Raya Bogor.
Di detik itu pula otak saya yang sebagian berusaha keras menahan bagian lainnya memerintahkan syaraf-syaraf di pita suara dan mulut dari mengucapkan “Terus elu ngapain aja sampai itu puluhan motor bisa ilang, bangke!?”
Itu polisi kemudian meminta STNK dan biaya lapor Rp200 ribu. Saya pulang memikirkan bagaimana pergi bekerja itu hari.
Ini bukan kehilangan pertama saya. Sewaktu kuliah, dua telepon genggam dimaling di kos-kosan. Setelah menjadi wartawan, sewaktu meliput di Polda Metro Jaya, laptop saya dijambret di bus P20 (betapa ironisnya). Dan tak sampai sebulan sebelum motor dimaling, televisi dan Xbox 360 saya (Xbox 360!) telah duluan hilang di kontrakan yang sama.
Semuanya saya laporkan ke pihak kepolisian dan tak ada satu pun yang balik. Pada satu titik, saya pikir demikianlah risiko jadi orang yang kukuh memercayai bahwa manusia pada dasarnya baik.
Tapi, ada yang aneh selepas kehilangan motor itu. Saya jadi kerap sukar tidur karena memikirkan rerupa skenario semisal berhasil memergoki pencuri. Dalam salah satu skenario, saya mengikat sang pencuri, mengambil Al-Quran dan gergaji, kemudian membacakan ayat soal potong tangan. Saya tak akan memotong betulan. Mencontoh Umar ibnu Khattab, saya percaya maling tak perlu dipotong tangan bila negara belum bisa menjamin penghidupan rakyat. Saya hanya mau melihat kepanikan di wajah si pencuri. Itu saja.
Dalam skenario lain, saya mengikat si pencuri di tiang listrik. Ia kemudian saya telanjangi dan sirami dengan air selang semalaman sampai dini hari. Harapan saya sederhana, supaya yang bersangkutan kena masuk angin akut atawa diare parah.
Lain waktu, saya membayangkan mengetahui aksi pencurian di halaman sedang berlangsung, kemudian saya mengendap-endap naik ke lantai dua. Dari atas, saya timpa itu haram jadah dengan pot bunga. Tapi, mengingat itu tindakan berisiko mengakibatkan kematian, pot bunga saya substitusi dengan air panas (banget!).
Banyak lagi skenario lain, beberapa melibatkan airsoft gun dan katana bohong-bohongan. Tapi, tak satu pun skenario-skenario itu melibatkan petugas kepolisian.
Hingga saat ini, saya belum diberi kesempatan, yang amit-amit jabang bayi, untuk mengeksekusi skenario-skenario tersebut. Kalau datang juga paling-paling saya tak berani.
Sayangnya, sepanjang tahun, dalam taraf yang lebih sadis, banyak yang sudah terlaksana dengan orang lain sebagai eksekutornya.
30 April lalu, seorang terduga maling motor ditelanjangi dan dikeroyok hingga tewas di Bogor. Sebelumnya, pada Februrari, ada kejadian serupa di Nganjuk. 10 April, di Bekasi, seorang terduga maling motor tewas dikeroyok massa. Sedangkan pada 14 Mei, dua terduga pencuri pisang tewas diamuk massa. 23 Juni lalu, lagi-lagi dua terduga pencuri motor tewas dikeroyok di Indramayu. Empat hari sebelumnya, kejadian serupa terjadi di Sumenep. Di Lumajang, pada Mei lalu, seorang pencuri sapi tewas dihajar massa.
Maret lalu seorang terduga pencuri sawit tewas dihajar massa di Muarojambi. Bulan selanjutnya, seorang remaja kelas 3 SMP tewas dikeroyok massa di Batam setelah dituding mencuri burung. Di Asahan, Juni lalu, seseorang tanpa identitas diteriaki maling kemudian dikeroyok hingga tewas.
Itu baru sebagian. Belum lagi yang dihajar hingga “cuma” nyaris tewas.
Yang mau saya bilang, barangkali rerupa kejadian itu berakar dari sesuatu yang lebih sistemik.
Begini. Survei Transparency International Indonesia (TII) meluncurkan Global Corruption Barometer (GCB) pada Maret lalu dan menyimpulkan bahwa 39% suara publik menganggap kepolisian adalah lembaga paling korup. Lembaga itu jadi pemuncak, disusul DPR (37%), DPRD (35%), birokrasi (35%), dan kementerian (31%).
Salah satu titik nadir kepercayaan ini bisa kita lihat dari kasus beras kemarin. Alih-alih memercayai penindakan kepolisian, sebagian malah dengan sukaria memborong dua merek beras yang disebut melanggar hukum.
Apa yang menimbulkan ketakpercayaan ini? Jangan-jangan, ratusan tahun dijajah bikin orang-orang Indonesia dari sononya sukar percaya pada otoritas?
Bagaimanapun, dalam satu dan lain hal, ketakpercayaan ini berawal dari kepolisian sendiri. Pengalaman saya, dan tentunya banyak orang lain, dengan polisi tentu subjektif. Tapi, ia tak bisa dibilang unik.
Selama Januari 2016 hingga Januari 2017, Ombudsman RI menerima 10.158 aduan. Dari jumlah itu, instansi yang paling banyak diadukan adalah pemda sebanyak 4.117 aduan, disusul kepolisian sebanyak 1.833 aduan.
Sementara itu, dari Oktober hingga Juli 2017, Satgas Saber Pungli menerima sebanyak 31.110 laporan. Lagi-lagi kepolisian menempati urutan nomor dua yang paling kerap diadukan. Ia hanya kalah dari Kemendikbud. Pengaduan soal hukum di antara puluhan ribu laporan ke Satgas Saber Pungli mencapai 26%.
Belakangan, desas-desus soal penerimaan di kepolisian juga akhirnya mendapat konfirmasi. Bermula dari gerudukan pendaftar yang tak puas, Polda Jabar kemudian mengakui sebanyak 219 pendaftar yang tak memenuhi syarat tetap diluluskan. Mereka yang sempat diluluskan itu kedapatan membayar Rp100 juta hingga Rp300 juta per orang. Itu baru dari satu kepolisian daerah dari 33 provinsi.
Jika kita ingin aksi bunuh dan bakar disudahi, barang-barang macam begini sudah semestinya dimusnahkan dulu. Kepercayaan penuh masyarakat harus dipulihkan sepenuhnya.
Dan itu barang hanya bisa dilakukan kepolisian sendiri semisal mereka punya niat. Bagaimana warga mau percaya kepolisian jika penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan yang jadi sorotan dunia sejauh ini belum jelas ujungnya.
Selama ketakpercayaan seperti saat ini dipelihara, kita hanya bisa berdoa agar skenario penghakiman swasta selepas memergoki maling hanya ada dan tetap hanya ada dalam kepala warga biasa macam saya, tak lagi dan lagi dipraktikkan dalam kenyataan serta mengakibatkan kematian-kematian yang semestinya tak perlu.
Sumber: Fitriyan Zamzami