Setelah Papa Ditahan, Lampu Sorot Jatuh pada Nama-Nama Terduga Penerima Suap e-KTP dan Para Dokter

kartu-koruptor-ektp-mojok

kartu-koruptor-ektp-mojok

[MOJOK.CO] “Setelah Papa ditahan, mulai 17 November hingga 6 Desember 2017,  kemungkinan tahun 2017 akan ditutup dengan kesibukan sejumlah politisi wara-wiri ke KPK.”

Setelah Setya Novanto resmi ditahan di rumah tahanan KPK dini hari tadi, bagaimana kemungkinan lanjutan kasus e-KTP?

Menurut spekulasi netizen, Novanto akan menjadi saksi kunci yang bisa menyeret banyak nama lain. Sebagai informasi, saat ini KPK memang telah memegang puluhan nama penerima aliran dana korupsi e-KTp yang merugikan negara sebanyakRp 2,3 triliun.

Selain kelanjutan kasus korupsi e-KTP, drama Setya Novanto juga membuat sejumlah nama terseret kasus hukum dan menjadi musuh baru publik. Semisal HM, wartawan televisi nasional yang kini telah dipecat dan menjadi sopir Setya Novanto pada saat kecelakaan Fortuner vs tiang listrik terjadi, kini ia menjadi tersangka dengan tuduhan membahayakan nyawa orang lain.

Selain itu ada Fedrich Yunadi, ketua tim kuasa hukum Setya Novanto yang belakangan sering dikutip media sebagai juru bicara Setnov. Menurut netizen, beberapa pernyataan pengacara yang pernah mengikuti seleksi calon komisioner KPK ini dinilai menyembunyikan fakta sebenarnya. Misal, dari pernyataannya bahwa Setnov tengah menjalankan tugas negara ketika ia tengah dicari KPK hingga statement yang terdengar konyol soal benjol sebesar bakpao. Ia juga yang mewakili Setnov melaporkan pembuat meme-meme ketika Setya Novanto sakit.

Berikut sejumlah status netizen seputar drama penahanan Setnov.

Josef H. Wenas: Papa dipindah ke rutan. Slowly but surely this time.

Uang besar, banyak yang terlibat. Ini daftar mereka yang disebut terima uang proyek E-KTP, yang disusun jaksa KPK:

1. Gamawan Fauzi (saat itu Menteri Dalam Negeri) sejumlah 4,5 juta dollar AS dan Rp 50 juta
2. Diah Anggraini (saat itu Sekretaris Jenderal Kemendagri) sejumlah 2,7 juta dollar AS dan Rp 22,5 juta
3. Drajat Wisnu Setyawan (Ketua Panitia Pengadaan e-KTP) sejumlah 615.000 dollar AS dan Rp 25 juta
4. Enam anggota panitia lelang, masing-masing sejumlah 50.000 dollar AS
5. Husni Fahmi sejumlah 150.000 dollar AS dan Rp 30 juta
6. Anas Urbaningrum sejumlah 5,5 juta dollar AS
7. Melcias Marchus Mekeng (saat itu Ketua Banggar DPR) sejumlah 1,4 juta dollar AS
8. Olly Dondokambey sejumlah 1,2 juta dollar AS
9. Tamsil Linrung sejumlah 700.000 dollar AS
10. Mirwan Amir sejumlah 1,2 juta dollar AS
11. Arif Wibowo sejumlah 108.000 dollar AS
12. Chaeruman Harahap sejumlah 584.000 dollar AS dan Rp 26 miliar
13. Ganjar Pranowo sejumlah 520.000 dollar AS
14. Agun Gunandjar Sudarsa selaku anggota Komisi II dan Badan Anggaran DPR RI sejumlah 1,047 juta dollar AS
15. Mustokoweni sejumlah 408.000 dollar AS
16. Ignatius Mulyono sejumlah 258.000 dolla AS
17. Taufiq Effendi sejumlah 103.000 dollar AS
18. Teguh Juwarno sejumlah 167.000 dollar AS
19. Miryam S Haryani sejumlah 23.000 dollar AS
20. Rindoko, Nu’man Abdul Hakim, Abdul Malik Haramain, Djamal Aziz, dan Jazuli Juwaini selaku Kapoksi pada Komisi II DPR RI masing-masing 37.000 dolla AS
21. Markus Nari sejumlah Rp 4 miliar dan 13.000 dollar AS
22. Yasonna Laoly sejumlah 84.000 dollar AS
23. Khatibul Umam Wiranu sejumlah 400.000 dollar AS
24. M Jafar Hafsah sejumlah 100.000 dollar AS
25. Ade Komarudin sejumlah 100.000 dollar AS
26. Abraham Mose, Agus Iswanto, Andra Yastriansyah Agussalam, dan Darman Mappangara selaku direksi PT LEN Industri masing-masing mendapatkan sejumlah Rp 1 miliar
27. Wahyuddin Bagenda selaku Direktur Utama PT LEN Industri sejumlah Rp 2 miliar
28. Marzuki Alie sejumlah Rp 20 miliar
29. Johannes Marliem sejumlah 14.880.000 dollar AS dan Rp 25.242.546.892
30. Sebanyak 37 anggota Komisi II yang seluruhnya berjumlah 556.000 dollar AS. Masing-masing mendapat uang berkisar antara 13.000 hingga 18.000 dollar AS
31. Beberapa anggota tim Fatmawati, yakni Jimmy Iskandar Tedjasusila alias Bobby, Eko Purwoko, Andi Noor, Wahyu Setyo, Benny Akhir, Dudi, dan Kurniawan masing-masing sejumlah Rp 60 juta
32. Manajemen bersama konsorsium PNRI sejumlah Rp 137.989.835.260
33. Perum PNRI sejumlah Rp 107.710.849.102
34. PT Sandipala Artha Putra sejumlah Rp 145.851.156.022
35. PT Mega Lestari Unggul yang merupakan holding company PT Sandipala Artha Putra sejumlah Rp148.863.947.122
36. PT LEN Industri sejumlah Rp 20.925.163.862
37. PT Sucofindo sejumlah Rp 8.231.289.362
38. PT Quadra Solution sejumlah Rp 127.320.213.798,3

Sumber: Kompas 9 Maret 2017

Puthut EA: SN dibawa ke rumah tahanan KPK. Semua tahu, tidak ada yang bisa lolos begitu masuk tempat itu. Orang-orang yang terlibat E-KTP makin stres dan panik. Tapi mereka bingung mau melakukan apa. Mereka tahu kalau SN yang nyengkiwing nama mereka, tak ada yang bisa mengelak. Aduh duh duh…

Haryo Setyo Wibowo: Mungkin Ga Sih, Seorang Dokter Berbohong?

Saya sih punya pendapat kaya Pak JK sudah suwejak dulu. Benar, rumah sakit harus memberikan keterangan resmi, Pak Setya Novanto itu sebenarnya sakit apa. Kecuali, rumah sakit dan tim dokter memang sudah siap memberikan preseden buruk bagi publik.

Itu sih kalau publik mau menjadi pintar dan kritis. Lelucon sah-sah saja, tapi bagaimana “kelucuan” itu bisa terjadi? Transparansi dari institusi medis sangat perlu untuk dikejar.

Dalam tingkat ringan, orang sering memanfaat “jasa” dokter untuk membuat surat ijin sakit atau istirahat untuk sebuah keperluan. Padahal krn sekedar ingin piknik atau tes wawancara kerja. Untuk orang yang sedang terkena kasus, kejadian ini lumayan sering terjadi.

Di luar kesan dagelan yang dimeme-kan oleh publik, rumah sakit atau dokter menjadi institusi yang harus dikejar pertanggungjawabannya secara mendalam saat “membantu” menetapkan status “sakit”, seorang pesakitan.

Dulu ada Nunun Nurbaeti yang dinyatakan sakit “lupa”. Lha jancuk, lupa itu memang manusiawi. Tapi kalau lupanya mendadak dan ngeblank di saat dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya atau jadi saksi kunci, jelas ambyar. Kasus jadi berlarut-larut. Ragu akan sakitnya Nunun, tapi KPK tidak dapat berbuat banyak.

Situasi seperti itu akan membuat energi para penegak hukum terkuras habis.
Dalam kasus kejahatan berat (banyak difilmkan), katakanlah pembunuhan berencana, ada kejadian dimana lawyer bisa saja meminta dokter untuk menyatakan si terdakwa dinyatakan sakit jiwa. Seperti kita tahu, orang gila itu bisa bebas dari segala tuntutan. “Dianggep edan ora popo sik penting bebas!” begitu mungkin pikiran mereka.

KPK itu mungkin harus seperti sebuah SMA di Jogja puluhan tahun silam. Saat melihat seterunya yang kekuatannya tidak imbang berpapasan di jalan dan kocar-kacir. Ada seorang siswa yang tidak memutuskan lari, tetapi memilih pura-pura petik tanaman di pinggir sawah.

Kreatif, tetapi ya tetep dikeplaki. Kebohongan kok tidak sempurna.

Repotnya, seringkali kode etik suatu profesi itu mirip jiwa korsa. KPK memang mempunyai tim dokter independen. Pertinyiinnyi, seberapa independen?

Ronny Agustinus: Menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana korupsi serta melindungi tersangka koruptor itu melanggar hukum tidak sih? Masa tidak ada aturan/UU yang bisa dipakai untuk menangkap/memeriksa pengacara, dokter-dokter, petugas RS, supir dll yang jelas-jelas sedang berkomplot melindungi Setnov?

Exit mobile version