Reformasi Arab Saudi menjadi kabar internasional paling menarik saat ini.
Di Indonesia, bagi khalayak yang sudah terbelah, reformasi Arab Saudi memang dikecilkan sebagai bahan untuk saling mengejek. Reformasi sekuler Arab Saudi yang mengubah ideologi negara dari Wahabi menjadi moderat dijadikan senjata untuk menyerang fans Wahabi di Indonesia yang selama ini memuja Arab. “Indonesia yang moderat mau diubah jadi Wahabi, tuh lihat Arab yang sudah Wahabi malah mau jadi moderat,” kira-kira begitu ejekan dari anti-Wahabi Indonesia.
Lepas dari saling ejek tak berujung itu, yang menarik adalah memperhatikan aksi-aksi terbaru Pangeran Muhammad bin Salman, putra mahkota baru yang sejak penunjukannya terus memperlihatkan aksi mencengangkan.
Sabtu, 4 November 2017, Raja Salman mengumumkan pembentukan KPK baru Arab Saudi dan sang pangeran mahkota ditunjuk sebagai ketuanya. Di hari itu juga, komisi baru tersebut langsung menangkap 6 pangeran dan belasan pejabat tinggi karena tuduhan korupsi.
Penangkapan ini tidak main-main karena nama-nama yang cokok merupakan orang-orang kuat Saudi, salah satunya Pangeran Al Walid bin Talal bin Al Saud (62 tahun), investor, orang terkaya nomor 83 di dunia, sekaligus keponakan Raja Salman.
Selain itu, tersiar kabar bahwa Pangeran Abdul Aziz bin Fahd, putra raja Saudi yang bertakhta sebelum Raja Salman, Raja Fahd, tewas tertembak karena melawan saat hendak ditangkap komisi antikorupsi ini. Hingga saat ini, pemerintah Saudi membantah kabar tersebut. Saat ini, nama-nama yang ditangkap tersebut ditahan di Hotel Ritz-Carlton di Riyadh.
Apakah ini artinya Pangeran Muhammad bin Salman tidak segan-segan memainkan politik tangan besi untuk mencapai visi Arab Saudi 2030?
Berikut sejumlah catatan netizen Facebook tentang dinamika di Arab Saudi.
***
Dinar Zul Akbar: Nama-nama yang dicyduk KPK-nya Saudi, ada beberapa pangeran, petinggi kerajaan, dan pengusaha.
Uniknya Pak Waleed bin Thalal, salah seorang pangeran sekaligus pengusaha yang namanya terkenal bingits, masuk dalam daftar cyduk.
Hal ini membuktikan bahwa papa yang kemaren sakit lebih sakti mandraguna daripada orang khaya sejazirah Arab itu.
Amin Mudzakkir: Terima kasih kepada kapitalisme yang telah membuat rezim Saudi mau tak mau harus melakukan reformasi
Andrea Peresthu: Menantikan Saudi yang Kosmopolit
Dulu waktu masih di TU Delft, saya pernah terlibat dalam penelitian tentang city competitiveness.
Suatu hari saya ke Dubai bertemu dengan salah satu kolega di dunia penelitian. Saya tanya apa sebenarnya strategi UAE membuat Dubai? Dan apa yg membuat Dubai lebih kompetitif di kawasan regional?
Dia menjelaskan sederhana saja: Dubai menawarkan keterbukaan dan cosmopolitanism yang tidak dimiliki negara seperti Saudi.
Cosmopolitanism identik dengan gaya hidup westernized, hyper-consumerism, dan hedonism semua elemen yg membuat Dubai menjadi berkembang dan lebih kompetitif.
Pasarnya ternyata mengagumkan. Mayoritas keluarga kaya di Iran, Saudi, Pakistan, dan negara sekitarnya hijrah ke Dubai. Mayoritas istri dan anak-anak mereka, sementara suami pulang-pergi ke negara asal dan Dubai untuk tetap mengurus bisnis mereka.
Otomatis sektor properti, hiburan, kesehatan, dan konsumsi menjadi hidup dan tumbuh secara pesat di Dubai.
Aglomerasi bisnis dan akumulasi kapital terjadi di UAE dalam hitungan satu dekade. Tak satu pun negara di Eropa yang sudah mapan bisa melakukan kapitalisasi secepat ini. Pemasukan negara pun tidak hanya tergantung dari minyak saja, sektor jasa memberikan porsi yang cukup signifikan.
Beberapa bulan terakhir, kita mendengar Saudi mulai menata diri, keterbukaan ditawarkan supaya orang yang punya uang lebih suka tinggal di Saudi ketimbang di Dubai. Karena lama-lama terlihat juga, bagaimana besarnya uang yang mengalir ke Dubai hanya karena mereka mampu menawarkan gaya hidup yang kosmopolitan, terbuka, dan menyenangkan.
Tidak hidup di bawah aturan sosial yang ortodoks! Menentukan etika dan dosa dalam perspektif yang sempit dan sektarian.
Hal yang sama dan sudah menjadi pemahaman publik soal Singapura. Dulu waktu masih kecil saya masih ingat, kalau belanja, di Singapura lebih murah dan tentu menawarkan westernized cosmopolitanism. Isinya ya sudah pasti kalangan menengah atas Indonesia, Filipina, Vietnam, dan negara lain di sekelilingnya yang belum mampu menawarkan cosmopolitanism, hedonism, dan hyper-consumerism.
Ketiga hal tersebut akan sangat menarik jika kita membaca blueprint “Saudi 2030 Vision”. Saya kaget tapi sekaligus kagum dengan Pangeran Muhammed bin Salman dengan segala visi dan aksinya untuk memajukan Saudi milenial.
Quo vadis Indonesia?