MOJOK.CO – Bus engkel jalur Kulonprogo-Jogja pernah menjadi primadona bagi warga Kulonprogo pada masa lalu. Angkutan yang kerap disebut “bus tuyul” atau ada juga yang menyebut “angkot tuyul” ini jadi andalan para penglaju.
Andri Subekti (28) bercerita kepada saya bahwa bus tuyul seolah telah menjadi “teman” pada masa kuliahnya. Bagaimana tidak, colt ini ia andalkan sebagai moda transportasi utama bolak-balik rumah ke kampus selama 3 tahun dirinya kuliah.
“Baru punya motor sendiri pas tahun ketiga kuliah, sebelumnya gantian sama bapak. Jadi tiap berangkat kuliah selalu pakai bus tuyul,” ujar Andri, Senin (4/9/2023) malam.
Andri sendiri tinggal di Sentolo, Kulonprogo. Sejak 2014-2017 ia mengandalkan moda transportasi ini untuk PP rumah ke kampusnya yang terletak di wilayah Godean. Ia mengaku, saat itu orangtua melarangnya ngekost karena jarak rumah dan kampusnya yang “nanggung”.
“Dibilang jauh kok enggak, dibilang deket ya enggak juga. Jadi mau enggak mau disuruh laju aja, tiga tahun naik bus tuyul ini,” sambungnya bercerita.
Sepanjang tiga tahun “berteman” dengan bus tuyul, ada banyak cerita unik yang ia dapat. Salah satunya betapa seringnya ia dibayarin oleh para pedagang pasar yang juga jadi penumpang setia bus ini.
“Ibu-ibu pedagang pasar itu banyak yang jadi penumpangnya, kadang selama perjalanan kita ngobrol banyak. Mungkin karena akrab kali ya, tiap mau bayar pasti dia yang bayarin. Tahun segitu tarifnya masih Rp5 ribu,” kisahnya.
Sayangnya, sejak 2017 ia tak pernah lagi menaiki bus tuyul. Ia lebih banyak mengandalkan kendaraan pribadi untuk mondar-mandir, terlebih ia kini sudah menetap di Jogja untuk bekerja.
Body ramping tapi kokoh
Bus tuyul pertama kali mengarungi aspal pada 1980-an dan meraih masa jayanya pada 1990-an hingga awal 2000-an. Nama “tuyul” sendiri berasal dari julukan para penumpang mengingat body-nya yang kecil, ramping, selayaknya tuyul.
Mikrobus yang biasanya menggunakan sasis Mitsubishi FE Series bertenaga 110PS ini mudah kita kenali dari body luarnya. Bentuknya cebol, dan hanya memiliki satu pintu geser di bagian penumpang. Sementara rodanya berjumlah empat, berbeda dengan bus medium standar yang punya enam roda.
Adapun kapasitas kursi penumpangnya rata-rata hanya berjumlah 16. Namun, pada realitasnya ini bisa lebih, karena pada awal 2000-an kita masih sering menjumpai penumpang yang duduk di atap bus.
Meskipun berukuran mini, bus tuyul terkenal kokoh. Ia mampu mengarungi jalanan Kulonprogo yang topografisnya banyak perbukitan. Body rampingnya, di sisi lain, juga jadi keuntungan karena bisa dengan mudah berkelok melewati jalanan sempit. Dan yang pasti, bus ini juga kuat untuk perjalanan jarak jauh yang memakan waktu 2-3 jam.
Bus tuyul mulai tersingkir dari jalanan
Kendati jadi primadona, pada 2000-an awal, eksistensi bus tuyul mulai terkikis. Kini, ia mulai sulit kita jumpai. Menurut Kepala Bidang Angkutan dan Perparkiran Dishub Kulonprogo Arif Martono, salah satu faktornya karena kini mulai banyak orang yang punya kendaraan pribadi.
Kata Arif, imbas dari makin banyaknya kendaraan pribadi bikin minat pada bus tuyul jadi turun. Banyak PO Bus pun akhirnya gulung tikar karena omset yang anjlok.
Salah satu PO Bus—pernah kondang di masanya—yang harus gulung tikar adalah PO Bledug Gandum. Pada 1990-an hingga awal 2000-an, PO ini punya 24 bus tuyul yang melayani 1000 penumpang tiap harinya.
Sayangnya, dua fase krisis ekonomi bikin PO ini kelabakan. Krisis pertama adalah krismon 1998-1999 yang bikin sebagian besar armadanya harus dijual. Sementara krisis kedua adalah pandemi Covid-19, di mana omset turun drastis hingga 100 persen. Alhasil, PO yang berdiri sejak 1987 itu pun kini berhenti beroperasi.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Jeritan Sopir Bus Abadi Jogja-Bantul, Primadona yang Makin Tergerus Trans Jogja
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News