Survei: Satu dari Tiga Remaja Indonesia Punya Masalah Kesehatan Mental

survei kesehatan mental mojok.co

Ilustrasi kesehatan mental. (Mojok.co)

MOJOK.COSurvei mencatat, dalam 12 bulan terakhir, satu dari tiga remaja di Indonesia atau sebanyak 15,5 juta remaja memiliki masalah kesehatan mental. Sementara, satu dari 20 remaja atau sebanyak 2,45 juta remaja mengalami gangguan mental.

Survei yang dilakukan oleh Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) itu mengukur angka kejadian gangguan mental pada remaja berusia 10-17 tahun di Indonesia. Diseminasi hasil survei dilakukan pada Kamis (20/10/2022) di Jakarta. Diagnosis yang dilakukan sesuai dengan panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi Kelima (DSM-5) yang menjadi panduan penegakan diagnosis gangguan mental di Indonesia.

“Remaja dengan gangguan mental mengalami gangguan atau kesulitan dalam melakukan kesehariannya yang disebabkan oleh gejala gangguan mental yang ia miliki,” jelas Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM Prof. dr. Siswanto Agus Wilopo, SU, M.Sc., Sc.D., yang merupakan peneliti utama I-NAMHS, seperti dikutip dalam laman resmi ugm.ac.id.

Adapun gangguan mental yang paling banyak dialami remaja adalah gangguan cemas (gabungan antara fobia sosial dan gangguan cemas menyeluruh) sebesar 3,7%. Diikuti oleh gangguan depresi mayor (1,0%), gangguan perilaku (0,9%), gangguan stres pasca-trauma (PTSD), gangguan pemusatan perhatian (0,5%), dan hiperaktivitas/ ADHD (0,5%).

Hasil penelitian juga mencatat, kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan pembatasan kontak sosial selama pandemi Covid-19 menjadi salah satu pemicu masalah kesehatan mental remaja. Sebanyak 1 dari 20 remaja melaporkan merasa lebih depresi, lebih cemas, lebih merasa kesepian. Mereka juga lebih sulit berkonsentrasi dibandingkan dengan sebelum pandemi.

Sayangnya, hanya sedikit remaja yang akhirnya mencari bantuan profesional untuk masalah kesehatan mental mereka. Dalam 12 bulan terakhir, hanya 2,6% remaja yang memiliki masalah kesehatan mental yang menggunakan fasilitas konseling.

“Angka tersebut masih sangat kecil dibandingkan jumlah remaja yang sebenarnya membutuhkan bantuan dalam mengatasi permasalahan mental mereka,” papar Siswanto.

Hasil survei juga menunjukkan, kebanyakan pengasuh remaja lebih memilih untuk mengakses layanan kesehatan mental dari sekolah untuk remaja mereka. Angkanya mencapai 38,2%. Di sisi lain, dari semua pengasuh utama yang menyatakan bahwa remaja mereka membutuhkan bantuan, lebih dari dua perlima (43,8%) melaporkan bahwa mereka tidak mencari bantuan karena lebih memilih untuk menangani sendiri dengan dukungan dari keluarga dan teman-teman.

Siswanto menambahkan, ketersediaan data prevalensi berskala nasional seperti sruvei I-NAMHS sangat diperlukan. Selama ini, data yang dimiliki tidak merepresentasikan Indonesia atau tidak berdasarkan diagnosis sehingga perencanaan program dan advokasi mengenai kesehatan mental remaja menjadi tidak tepat sasaran.

“Harapannya I-NAMHS bisa membantu pemerintah dan pihak lain yang terkait dengan kesehatan mental remaja dalam mendesain program dan advokasi yang lebih baik bagi remaja kita,” ujar dia.

Sekadar informasi, I-NAMHS merupakan bagian dari National Adolescent Mental Health Survey yang juga diselenggarakan di Kenya dan Vietnam. Penelitian ini dikerjakan melalui kerja sama antara Universitas Gadjah Mada, University of Queensland Australia, Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health Amerika Serikat, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Universitas Sumatera Utara, dan Universitas Hasanuddin.

I-NAMHS berfokus untuk menghitung beban penyakit atau prevalensi enam gangguan mental yang paling umum di antara remaja, yaitu fobia sosial, gangguan cemas menyeluruh, gangguan depresi mayor, gangguan perilaku, gangguan stres pasca trauma (PTSD), dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD). I-NAMHS juga mengidentifikasi faktor risiko dan pelindung yang berhubungan dengan gangguan mental remaja seperti perundungan, sekolah dan pendidikan, hubungan teman sebaya dan keluarga, perilaku seks, penggunaan zat, pengalaman masa kecil yang traumatis, dan penggunaan fasilitas kesehatan.

Penulis: Kenia Intan
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Isu Kesehatan Mental, UGM Perkuat Pendampingan Berbasis Komunitas

Exit mobile version