MOJOK.CO – Masjid Syuhada Kotabaru punya sejarah yang panjang. Masjid ini merupakan kenang-kenangan dari pemerintah dan berkembang menjadi rumah bagi aktivisme Islam di Jogja.
Kata sejarawan Kuntowijoyo, masjid itu mirip dengan terminal bus. Ketika sampai di terminal, orang-orang merasa sampai pada tujuan mereka.
Begitu juga dengan masjid: orang-orang yang datang hanya akan duduk, beribadah, kemudian pergi tanpa pernah berbincang dengan orang lain. Inilah yang bikin dia mengkritik umat Islam karena memaknai masjid sekadar tempat ibadah saja.
Namun, apa yang dikritik Kuntowijoyo itu nyatanya tak ditemui di Masjid Syuhada. Sebab, bangunan megah di Kotabaru, Jogja, ini punya sejarah panjang sebagai menjadi simbol politik sekaligus rumah bagi aktivisme Islam di Jogja. Seperti apa itu?
Hadiah dari republik
Kota Jogja pernah menjadi ibukota negara Indonesia. Setelah proklamasi kemerdekaan, Belanda kembali datang yang bikin stabilitas politik tak kondusif. Demi mengamankan kedaulatan yang terancam, Presiden Sukarno pun memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946.
Setelah melewati rangkaian perang dan diplomasi, akhirnya melalui Konferensi Meja Bundar pada 27 Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia—dan harus angkat kaki dari republik. Sebagai konsekuensinya, maka ibu kota kembali dipindah ke Jakarta.
Namun, sebelum meninggalkan Jogja, tokoh-tokoh pemerintahan pusat mengadakan pertemuan dengan tokoh nasionalis dan Islam di Jogja. Dari hasil pertemuan ini, diputuskan bahwa Kota Jogja berhak mendapatkan “kenang-kenangan dari republik yang mencerminkan perlawanan”.
“Sebab mereka semua sepakat bahwa Jogja memiliki kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan dan revolusi nasional mempertahankan kemerdekaan Indonesia,” tulis sejarawan UNY, Yuanda Zara, dalam penelitiannya berjudul “Syuhada Mosque and its Community in Changing Yogyakarta, 1950s-1980s”, dikutip Jumat (18/8/2023).
Akhirnya, masjid pun dipilih sebagai hadiah bagi Kota Jogja. Kata sejarawan lulusan Leiden University itu, ada dua alasan mengapa para tokoh memilih masjid untuk dibangun.
Pertama, kata Yuanda, sebagai kota yang penduduknya mayoritas beragama muslim, Jogja hanya punya dua masjid besar. Antara lain Masjid Kauman dan Masjid Pakualaman.
Sementara alasan kedua, masyarakat Kotabaru—yang mayoritas muslim—membutuhkan masjid besar untuk melaksanakan salat berjamaah, khususnya Jumatan. Sebab, selama ini mereka tidak memilikinya.
“Mereka biasanya melaksanakan salat Jumat di rumah-rumah penduduk, lapangan rumput, atau bahkan meminjam gereja dari umat Protestan,” jelasnya.
Rumah bagi aktivisme Islam
Diresmikan pada 20 September 1952, kegiatan-kegiatan di Masjid Syuhada Kotabaru pada awalnya memang diarahkan untuk pemeliharaan dan peningkatan keimanan. Namun, seiring dengan perubahan dinamika politik yang terjadi, masjid ini bertransformasi menjadi rumah bagi aktivisme Islam di Jogja.
Berkembangnya gerakan “Kembali ke Masjid” yang dipopulerkan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), tak dimungkiri jadi salah satu faktor pendorongnya.
Kala itu, Masjid Syuhada jadi satu di antara masjid-masjid besar nasional lainnya yang remaja masjidnya begitu aktif melakukan dakwah. Strategi dakwah yang mereka pakai mirip dengan metode-metode yang dilakukan masjid-masjid kampus.
Melalui Pendidikan Kader Masjid Syuhada (PKMS), secara aktif mereka merekrut aktivis-aktivis Islam dari kampus-kampus di Jogja untuk dilatih menjadi dai. Upaya ini pun berhasil, karena pada 1960-an Masjid Syuhada berhasil mendapatkan posisi yang dihormati di antara komunitas muslim di Jogja.
Sejak saat itu, Masjid Syuhada pun jadi tempat berkembangnya aktivisme pemuda Islam yang paling berpengaruh di Kota Jogja.
Melawan gerakan komunisme
Pada pertengahan 1950-an, terjadi “perang ideologi” antara Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mewakili komunisme dan Partai Masyumi sebagai representasi Islam. Di Jogja sendiri, PKI begitu gencar mengagitasi masyarakat. Salah satunya melalui sayap intelektualnya yang paling aktif, Universitas Rakyat Mataram (UNRA Mataram)—saat itu lokasinya dekat Pasar Ngasem.
Melihat ancaman, pengurus Masjid Syuhada Kotabaru pun mulai memikirkan cara untuk menangkal paham komunisme. Mereka semakin masif mengadakan kuliah subuh, yang materinya terkait ide-ide antikomunisme.
Tak sampai di situ, pada 10 November 1961 pun dibentuk Universitas Rakyat Pendidikan Tinggi Masjid Syuhada (UNRA PTMS) sebagai tandingan UNRA Mataram.
Menurut Yuanda, program-program UNRA PTMS lebih condong ke arah doktrinisasi ideologi alih-alih produksi pengetahuan.
“Tujuan utama universitas ini adalah untuk memperkuat basis islam dan menentang ideologi komunisme,” kata Yuanda.
Maka, tak heran jika pada akhirnya persyaratan lembaga pendidikan tinggi, struktur, dan kurikulum dikesampingkan. Sebab, misi utamanya adalah menjaring massa—agar jadi antikomunis—sebanyak-banyaknya.
“Ketika seseorang ingin mendaftar kuliah, biasanya harus melampirkan ijazah SMA sebagai persyaratan. Namun, di UNRA PTMS tak demikian; karena syaratnya, menurut seorang narasumber, ‘semangat berjihad untuk membela Islam’.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi