MOJOK.CO – Di jantung Timur Jakarta, berdiri pusat perbelanjaan mungil bernama Arion Mall. Di sana, ingatan akan masa kecil yang indah tertinggal, sebagian yang lain terbawa hingga Jogja.
Saya punya dua kerabat, Mas Gilang (32) dan Mas Rarya (35). Kami bertemu di sebuah kafe kecil bilangan Pandega, Sleman. Kafe tersebut bernama Mol Coffee. Sebelum bekerja di Mojok, hampir tiap Kamis malam saya ke sana bertemu mereka untuk sekadar berbincang tentang apa saja, dari musik, film, kota, hingga hal remeh-temeh lain.
Sampai suatu ketika kami sadar pernah tinggal di daerah yang sama sewaktu kecil: Rawamangun, Jakarta Timur. Masing-masing mulai bertanya akan suatu tempat yang berkesan. Salah satu jawabannya adalah Arion Mall.
Mal kecil sumber kebahagiaan
Mal ini terletak di dekat rumah kami. Tepatnya di Jl. Pemuda No.Kav.3, RT.2/RW.7, Rawamangun, Pulo Gadung. Meski kecil, mal ini jadi sumber kebahagiaan kami –dan bisa jadi warga Rawamangun lain.
Sewaktu bocah, Arion Mall merupakan salah satu tempat untuk mencari kesenangan. Sepulang sekolah, saya biasa ke sana bersama kakak jalan kaki (sekitar 1 km dari rumah) hanya untuk sekadar melihat mainan, membaca komik Dragon Ball, dan menyaksikan segala hal yang tak terbeli. Kegiatan sederhana yang membahagiakan.
Di sana pula saya pertama kali nonton bioskop. Saya lupa diajak bapak atau paklik atau bulik, yang teringat sebatas film-film yang saya tonton: Small Soldier (1998), Godzilla (1998), Petualangan Sherina (2000), dan lain-lain. Film-film tersebut masih suka saya tonton ulang kala senggang.
Ingatan saya pada Arion tak bisa jauh-jauh dari sumber hiburan, begitu pun ingatan Gilang. Arion Mal atau Aplaz (singkatan dari Arion Plaza) merupakan tempat di mana ia menghabiskan akhir pekan. Dahulu keluarganya rutin berkunjung ke sana entah untuk sekadar jalan-jalan atau membeli sesuatu.
“Yang gue inget beli PS 1 di situ. Karena gue sama kakak gue sering ke rental gitu, terus diomelin sama bokap karena nggak pulang-pulang gitu, yaudah mending dibeliin PS aja udah,” ujar Gilang.
Ia masih ingat betul momen itu. Tepatnya saat ia menginjak kelas 4 SD. Arion Mall menjadi mal pertama yang ia satroni karena letaknya yang tidak terlalu jauh dari rumah. Meski demikian, Gilang tak setangguh saya saat kecil.
“Naik angkot, satu angkot itu 02. Zaman itu dua rebu sampe tiga rebu kali,” ujarnya dengan logat Betawi yang kental.
Sebetulnya, ada mal lain di daerah kawasan Jakarta Timur yakni Mal Kelapa Gading. Mal yang berkali lipat lebih besar dari Arion. Namun, karena jaraknya yang lebih jauh, bikin warga Rawamangun urung ke sana. Lagipula, apa yang ditawarkan Arion rasanya cukup. XXI ada, Timezone ada, Toko Gunung Agung ada, supermarket Hero juga ada, lengkap.
“Zaman kecil sama bokap nyokap, pas udah SMP biasanya sama temen-temen karena sekolahku kan deket juga di Trisula,” ujar Rarya.
Baca halaman selanjutnya…
Menyimpan sejuta kenangan
Menyimpan sejuta kenangan
Setali tiga uang dengan Gilang, memori Rarya tentang Arion berkenaan dengan keluarga dan teman-temannya. Kebetulan, sekolahnya berada di belakang mal. Yang menarik, guru olahraganya kerap menjadikan mal sebagai patokan rute lari. Soal ini Anda tak perlu heran. Di Jakarta mencari lapangan sama susahnya seperti mencari pekerjaan.
Perbincangan dengan Rarya membuka tabir baru. Bahwa di luar pusat perbelanjaan kesayangan kami, ada romantisme lain. Yakni keriuhan jalanan di sekitar mal. Jalan yang penuh kendaraan terutama di jam-jam sibuk, yang kanan-kirinya disesaki pedagang kaki lima dan pejalan kaki. Akses jalan yang mau tak mau mesti kami lewati kalau mau ke Arion.
Dulu, jalanan ini termasuk yang saya benci karena macet. Namun, entah mengapa saat dikisahkan ulang seketika muncul rasa kangen. Kenapa ya romantisme masa lalu selalu mampu menerabas batas toleransi manusia akan suatu hal?
“AW (restoran di depan Arion) itu tempat syutingnya Jinny Oh Jinny. Kan zaman kecil itu kalau nonton suka bareng-bareng, terus ketika ini sama dengan ini, kayak ada kebanggaan: aku pernah ke situ.”
Kenangan masa kecil yang dibawa hingga Jogja
Cerita itu menutup perbincangan saya dengan Rarya via telepon. Lalu saya tersadar, masa kecil bagaimana pun sederhananya terasa indah untuk dikenang. Ah, saya mau balik kecil lagi rasanya.
Saya bersinggungan dengan Rawamangun medio 1990-an akhir hingga 2000-an awal, sementara Gilang dan Rarya sebelum itu dengan rentang waktu yang lebih panjang. Rawamangun begitu sulit terlupakan bagi saya yang mesti ikut orang tua pulang kampung ke Pekalongan. Begitu juga Gilang dan Rarya yang harus ikut orang tuanya hijrah ke Jogja.
Cerita Gilang dan Rarya seperti potongan puzzle yang melengkapi ingatan saya yang bolong tertimpa ingatan baru dan tergerus zaman. Menggenapi kenangan sekaligus menyadarkan bahwa ini semua bukan semata tentang mal.
Arion hanyalah medium untuk mengingat Rawamangun, tempat saya tumbuh. Bangunan kecil yang menjelma terminal, tempat orang bertemu dan berpisah dengan waktu lalu, tempat kenangan indah tertambat –sebagian tertinggal, sebagian yang lain terbawa sampai ke Jogja.
Penulis: Iradat Ungkai
Editor: Purnawan Setyo Adi