Siasat Sultan HB IX Merangkul Kaum Komunis di Lingkungan Keraton

sultan hb ix mojok.co

Ilustrasi Sri Sultan HB IX (Ega Fanshuri/Mojok.co)

MOJOK.COSri Sultan HB IX mempunyai siasat untuk memangku kekuatan komunis yang saat itu sedang besar. Strategi ini digunakan untuk menjaga stabiltas politik di Yogyakarta.

Sudah menjadi rahasia umum jika Sri Sultan Hamengkubuwono IX merupakan raja yang cerdas, reformis, dan akomodatif. Bahkan dalam kepemimpinannya, ia sengaja memangku kekuatan komunisme di lingkungan Keraton Jogja untuk menciptakan stabilitas politik.

Sri Sultan Hamengkubuwono IX (selanjutnya disebut HB IX), adalah pemimpin yang piawai bermanuver dalam menyelamatkan stabilitas politik di wilayahnya. Ini terlihat pertama kali sejak pada masa awal kemerdekaan, di mana HB IX memutuskan untuk bergabung dengan Republik Indonesia yang baru saja proklamasi.

Menurut sejarawan Muhidin M. Dahlan, langkah itu bukan tanpa alasan. HB IX, melalui Mandat 5 September 1945 (sertijab Jogja masuk Republik Indonesia), ingin menyelamatkan wibawa Keraton Jogja yang mungkin terancam di masa revolusi.

“Rakyat jajahan ratusan tahun, bangkit dan mengamuk. Tidak hanya menyerang semua yang berbau kolonialisme, tetapi juga segala yang sifatnya feodalistis karena raja-raja, sultan-sultan, pangeran-pangeran, dianggap boneka kolonial dan harus digilas,” ujar Muhidin dalam acara JasMerah yang tayang di kanal Youtube Mojokdotco, dikutip Senin (6/2/2023).

“Amanat 5 September 1945 dari Sri Sultan HB IX membikin Keraton Jogja tetap terjaga wibawanya, dan sekaligus bikin Jogja hari ini tetap diguyur Danais,” sambungnya.

Di masa-masa berikutnya, sikap akomodatif HB X untuk menciptakan stabilitas politik di wilayahnya juga dilakukan dengan upaya yang lebih progresif. Ia, dengan sangat sadar, mewadahi kaum kiri ke lingkungan Keraton karena Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi kekuatan besar di akar rumput Jogja.

Sikap akomodatif

Semua berawal dari Pemilu 1955. Pada momentum ini, Kota Praja Jogja disapu bersih oleh suara PKI. Memang benar saat itu TNI—lawan politik PKI—memenangkan sebagian besar Pemilu di Gunungkidul dan Kulon Progo. Namun, angkatan bersenjata tidak berkutik di pusat Kota Jogja.

“Apalagi di tempat pemungutan suara (TPS) Keraton Timur—wilayah kekuasaan mutlak HB IX—disapu bersih oleh PKI,” ujar Muhidin.

Dengan demikian, mau tidak mau HB IX harus bersikap akomodatif kepada PKI. Mengingat sebagai kekuatan terbesar di wilayah itu, PKI punya peran politis yang besar dalam menggerakkan massa akar rumput. Lantas, apa saja privilese yang diberikan Sri Sultan HB IX kepada PKI pada masa itu?

Muhidin mencatat, salah satu sikap baik HB IX adalah dengan memberikan Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI; underbouw PKI) jatah bangunan berkegiatan di sekitar Keraton. Bahkan, lebih istimewa lagi, Sekretariat IPPI juga dibangun benar-benar dekat dengan Keraton.

Privelese lainnya

Bukti yang memperkuat ini, kata Muhidin, adalah ketika terjadi demonstrasi menentang kapitalisme Barat di Kedutaan Amerika Serikat—saat itu sebelah barat Tugu Jogja. Para pendemo mengambil titik kumpul di alun-alun, lokasi yang istimewa sekaligus “halaman raja”.

“Saya bingung kenapa mereka berangkat dari sana. Oh, ya, sekretariatnya ‘kan ada di alun-alun,” sebutnya.

Selain memfasilitas IPPI ruang berkegiatan, sikap HB IX yang lain, misalnya, adalah dengan secara terbuka memberi organisasi-organisasi seni underbouw PKI bangunan di dekat Keraton sebagai sekretariat mereka.

Badan Kontak Organisasi Ketoprak (Bakoksi) yang dijalankan Lekra, diberikan bangunan yang hari ini jadi Museum Sonobudoyo. Adapun Universitas Rakjat, sekolah tinggi kader-kader PKI, diberi lahan di Kadipaten Wetan (sekarang SD Keputran 2). Sementara Seniman Muda Indonesia (SMI) yang dipimpin Sudjojono, dibuatkan sanggar di pojok timur alun-alun (saat ini jadi Jogja Gallery).

Tak sampai di situ, HB IX juga membuka pintu selebar-lebarnya kepada pimpinan PKI DN Aidit untuk memberikan ceramahnya di Keraton.

“Jika Anda cukup rajin dan sabar mencari, membuka, dan membaca koran Kedaulatan Rakyat maupun Minggu Pagi, nanti pasti ketemu kliping bagaimana Aidit itu sering didengarkan gagasannya di lingkungan Keraton,” jelas Muhidin.

Simbiosis mutualisme

Alhasil, karena PKI begitu “dipangku dan dirumat” oleh Sri Sultan HB IX, aksi-aksi besar PKI untuk menumpas feodalisme di wilayah lain, justru tidak terjadi di Jogja. Aksi ini dikenal dengan “Aksi Sepihak”.

Sebagaimana diketahui, Aksi Sepihak yang terjadi sepanjang 1960-1965 menjadi aksi-aksi yang dilakukan oleh PKI atau underbouw-nya, khususnya Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Pemuda Rakyat, dengan merebut dan menduduki tanah milik negara, orang kaya, dan perkebunan besar, sebagai agenda landreform. Buntutnya, Tuan Tanah jadi korban.

Meski Jogja kental dengan feodalisme—paham yang menjadi sasaran utama Aksi Sepihak—PKI tidak melakukannya di Jogja. Padahal, di Klaten dan Surakarta, aksi ini terjadi begitu masif, tapi sama sekali tidak kelihatan riuhnya di wilayah HB IX.

“Itu karena Sri Sultan HB IX adalah seorang raja yang tahu bagaimana memangku orang-orang merah, memangku orang-orang komunis,” kata Muhidin.

“Ia adalah raja yang mengerti betul bagaimana berselancar di dalam perubahan haluan politik nasional,” pungkasnya.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi

LIHAT JUGA Sultan HB IX: Siasat “Memangku” Orang Kiri dan Komunis di Lingkungan Keraton

Exit mobile version