MOJOK.CO – Sastrawan Remy Sylado meninggal dunia pada Senin (12/12/2022) kemarin. Diketahui, ia memang sudah lama sakit dan dirawat di RSUD Tarakan. Semasa hidup, Remy dikenal sebagai sastrawan yang progresif. Ia berani mendobrak sikap rezim orba melalui gerakannya, “Puisi Mbeling”.
Remy Sylado lahir di Makassar, 22 Juli 1945 dengan nama Asli Yapi Panda Abdiel Tambajong. Kendati demikian, dalam berkarya, ia memiliki banyak nama pena. Seperti Jubal Anak Perang Imanuel, Dova Zila, Alif Danya Munsyi, Juliana C. Panda, dan yang paling familiar, Remy Sylado.
Remy merupakan anak bungsu dari Johannes Hendrik Tambajong, yang wafat setelah ditahan dan disiksa oleh tentara Jepang. Ayahnya ini, merupakan seorang pendeta, yang ditangkap karena dituduh memberikan lampu kepada pesawat yang sedang melewati Malino, Sulawesi Selatan.
“Ayah saya dituduh antek Amerika Serikat karena dia bekerja untuk misi zending dari negara itu. Kakek saya tentara Belanda,” ujar Remy, bercerita bagaimana ayahnya juga disiksa selama di penjara.
Kemudian, seorang tokoh asal Minahasa yang cukup berpengaruh pada saat itu, Sam Ratulangi, melakukan perundingan dengan Jepang untuk membebaskan Johannes. Akhirnya, sang ayah bebas, meski akhirnya ia harus kembali berpisah, untuk selamanya.
“Ayah saya bebas, tapi keluar dari situ dia sudah bongkok. Tidak lama dia meninggal,” sambungnya.
Sebagai bentuk permintaan maaf, tentara Jepang yang dulu menyiksa ayah Remy, Miyahira, memberikan sebuah buku untuknya. Buku yang berisi kumpulan puisi dari dari abad sebelum masehi ini masih tersimpan rapi di rumah Remy. Buku ini pula yang mempertemukan Remy dengan dunia sastra.
Pelopor Puisi Mbeling
Remy Sylado dikenal sebagai pelopor “puisi mbeling”, yakni suatu gerakan yang ia maksudkan untuk mendobrak sikap rezim Orde Baru yang dianggap “feodal dan munafik”. Benih gerakan ini mulai disemaikan oleh Remy Sylado pada tahun 1971, ketika ia mementaskan dramanya yang berjudul Messiah II di Bandung. Namun, waktu itu istilah mbeling belum diperkenalkan.
Irfai Fathurohman, dalam disertasinya berjudul “Eksistensialisme Puisi Mbeling Karya Remy Sylado” (2019) menyebut bahwa Istilah “mbeling” baru dipopulerkan pada tahun 1972, ketika Remy mementaskan dramanya, Genessis II, di Bandung. Dalam undangan pertunjukan drama itu Remy menyebut teaternya sebagai “Teater Mbeling”.
Dalam diskursus Puisi Mbeling, yang hendak ia dobrak adalah pandangan estetika yang menyatakan bahwa bahasa puisi harus diatur dan dipilih-pilih sesuai dengan stilistika yang baku. Pandangan ini, menurut gerakan Puisi Mbeling, cuma bakal menyebabkan kaum muda takut berkreasi secara bebas. Bagi gerakan Puisi Mbeling, bahasa puisi dapat saja diambil dari ungkapan sehari-hari, bahkan yang dianggap jorok sekalipun.
Maka, dalam Puisi Mbeling yang terpenting adalah apakah puisi yang tercipta dapat menggugah kesadaran masyarakat atau tidak, berfaedah bagi masyarakat atau tidak. Pendeknya, dalam kamus gerakan Puisi Mbeling tidak ada istilah major art atau minor art.
Dari gerakan ini pula lah, kemudian muncul banyak karya, terutama puisi yang isinya tak hanya mengedepankan estetika, tetapi juga syarat akan kritik sosial. Utamanya, kritik yang ditujukkan untuk rezim Orde Baru.
Sebagai seorang sastrawan, Remy Sylado telah menulis ratusan puisi dan lebih dari 50 novel, yang 20 di antaranya adalah novel anak-anak serta 30-an novel keluarga. Karya-karya Remy Sylado antara lain kumpulan puisi Kerygma (1999), Puisi Mbeling Remy Sylado (2004), dan Kerygma dan Martryria (2004), serta novel Gali Lobang Gila Lobang (1977), Kita Hidup Hanya Sekali (1977), Orexas (1978), Ca Bau Kan: Hanya Sebuah Dosa (1999), dan masih banyak lagi.
Pada tahun 2002, Remy memperoleh penghargaan Khatulistiwa Award untuk novelnya yang berjudul Kerudung Merah Kirmizi. Sementara pada tahun 2006, ia mendapat penghargaan dari Pusat Bahasa, bersama-sama dengan Sitor Situmorang dan Sitok Srengenge.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi