MOJOK.CO – Organisasi masyarakat (ormas) berperan penting dalam kehidupan demokrasi. Pembubaran ormas bahkan tanpa proses di pengadilan menunjukkan kemunduran demokrasi.
Hal itu mengemuka dalam diskusi bedah buku ‘Pembubaran Ormas dan Keterancaman Demokrasi’ di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Jumat (10/6/2022).
Peneliti Imparsial, Al araf, menulis buku tersebut berdasarkan disertasinya yang berangkat dari pertanyaan soal alasan pemerintah kerap membubarkan ormas tanpa melalui proses pengadilan.
“Padahal ormas itu bagian esensial dari berdirinya republik ini. Ormas mendorong perubahan sosial politik, mendidik masyarakat, dan menjadi kontrol efektif terhadap kekuasaan,” tutur pegiat hak asasi manusia ini.
Apalagi yayasan, perusahaan pailit, serikat buruh, hingga organisasi teroris dapat dibubarkan lewat pengadilan. “Bahkan partai politik bisa dibubarkan lewat MK, tapi kenapa ormas dibubarkan tidak lewat pengadilan?” katanya.
Ia menjelaskan, pembubaran ormas merupakan pilihan terakhir dan mesti dihindari. Kalau pun harus dilakukan syaratnya amat ketat dan melalui proses hukum mengingat Indonesia adalah negara hukum.
“Ini karena dalam organisasi kita bisa menyampaikan aspirasi. Menjadi wujud kebebasan berserikat yang di dalamnya ada ruang-ruang penting seperti kebebasan berbicara bahkan kebebasan beragama,” kata Ketua Badan Pengurus Centra Initiative ini.
Ia menjabarkan pembubaran ormas berlangsung sejak Indonesia merdeka. Misalnya saat Orde Lama, dibubarkan Liga Demokrasi, Gerakan Pemuda Islam Indonesia,dan Badan Pendukung/Penyebar Sukarnoisme.
“Waktu itu pembubaran tidak melalui UU. Alasannya tak mendukung revolusi. Motifnya full politik yang tidak sejalan dengan penguasa,” ujar Al Araf.
Adapun pada masa Orde Baru dibubarkan Pemuda Islam Indonesia dan Gerakan Pemuda Marhaenis, beserta underbow PKI dan PRD.
“Dasarnya UU Nomor 8 Tahun 1985 dengan alasan kontrol masyarakat. Jadi mestinya saat Reformasi UU ini dicabut,” katanya.
Namun pada masa Reformasi terbit UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas yang cakupannnya sangat luas sehingga memicu uji material di MK. Di tengah proses itu, Araf menjelaskan, terbit Perpu Nomor 2 Tahun 2017 yang kemudian menjadi UU Nomor 16 Tahun 2017.
“Pemerintah dan bukan pengadilan bisa membubarkan ormas dengan pasal karet. Ini akan menjadi cambuk rezim sekarang ini atau nanti untuk mencambuk lawan penguasa,” kata dia.
Pada periode ini, pemerintah pun membubarkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI). “Soal ideologi mestinya diselesaikan di ruang pengadilan. Pengadilan yang akan menguji benar atau salah,” katanya.
Menurut Araf, dalil bahwa ormas tersebut menolak pluralisme juga tak terbukti. “Sebab kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah juga tidak dilindungi oleh pemerintah,” katanya.
Araf menegaskan pilihan paling baik adalah mengedepankan dialog. Pembubaran menjadi pilihan akhir dan mesti dihindari. Karena itu, dalam sejarah Indonesia pembubaran ormas selalu bermuatan politik.
“Nalar politik kekuasaan belum berubah dan menganggap kritisnya ormas itu sebagai ancaman. Padahal peran ormas dalam mengkritik itu penting untuk menghidupkan demokrasi,” ujarnya.
Sementara itu, saat membuka diskusi ini, Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM Muhammadiyah Busyro Muqoddas menyatakan pembubaran ormas merupakan bagian dari upaya pemerintah dalam membungkam kritik.
“Saya tidak melihat kasus per kasus seperti kasus (pembubaran) HTI, tapi ini upaya sistemik rezim ketika tidak menghendaki ormas menjadi kekuatan demokrasi yang alami,” ujarnya.
Padahal selain dari ormas dan masyarakat sipil, Busyro meragukan adanya kekuatan demokrasi yang otentik saat ini.
“Kalau parpol, mana parpol yg cerminkan kekuatan demokrasi? Wong ada parpol yang menutup demokrasi sampai 20 tahun dipilih jadi ketua,” katanya.
Menurutnya, selain membubarkan ormas, upaya pemerintah dalam memberangus suara kritis juga ditunjukkan lewat pelemahan lembaga negara warisan Reformasi, terutama KPK.
“Saya hopeless dengan KPK sekarang. KPK dibikin stroke. Sementara ada pemolisian lembaga negara, dari KPK, PSSI, Bulog, sampai Pramuka,” ujarnya.
Dengan situasi itu, Busyro pun melempar pertanyaan apakah ormas-ormas yang eksis saat ini, seperti Muhammadiyah yang akan menggelar muktamar, akan diintervensi. “Kalau tak diintervensi, bukan rezim sekarang,” ujarnya.
Reporter: Arif Hernawan
Editor: Purnawan Setyo Adi