MOJOK.CO – Jogja memiliki banyak sekali bangunan bersejarah yang hingga saat ini masih terawat. Salah satu yang cukup ikonik adalah Plengkung Gading.
Jika kamu masuk ke dalam kawasan Keraton Jogja dari arah selatan, kamu akan melewati bangunan besar bercat putih bernama Plengkung Gading. Plengkung Gading merupakan satu dari lima pintu gerbang masuk Keraton. Empat lainnya adalah; Plengkung Tarunasura, Madyasura, Jagadbaya, dan Jagadsura.
Plengkung Gading memiliki nama lain Plengkung Nirbaya. “Plengkung” berarti bangunan yang bentuknya melengkung, sedangkan “nirbaya” memiliki arti bebas dari bahaya duniawi atau bisa juga berarti sifat yang sederhana. Secara sederhana Plengkung Gading bisa diartikan sebagai bangunan/pintu gerbang yang membebaskan Keraton dari bahaya.
Sejarah
Melansir tribunnewswiki, Plengkung Gading berdiri pertama kali pada zaman pada 1782. Tepatnya di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I atau Pangeran Mangkubumi.
Dulu di sekitar benteng Keraton ada sebuah parit selebar 10 meter dengan kedalaman tiga meter. Parit tersebut termasuk bagian dari infrastruktur pertahanan kerajaan. Namun, kini parit itu sudah tidak ada, berganti menjadi jalan.
Plengkung Gading dan empat plengkung lainnya dulu sempat memiliki jembatan gantung. Saat musuh datang, penjaga benteng menarik jembatan ini dan menjadikannya pintu pelapis ketika ada musuh datang. Namun, jembatan itu kini juga sudah tak bersisa.
Pada 1986, Plengkung Gading mengalami perbaikan untuk menjaga bentuk aslinya.
Menara sirine Plengkung Gading
Di kawasan Plengkung Gading, terdapat menara sirine. Menara ini berdiri pertama kali pada 1930 bersamaan dengan pendirian sirine di Pasar Bringharjo dan sejumlah tempat lainnya. Sirine di Plengkung Gading dulu memiliki fungsi sebagai alat peringatan dini tanda bahaya udara.
Pengoperasian sirine ini berada di bawah pengawasan LBD (Lucht Bescherming Dienst) atau dinas perlindungan bahaya udara di era kolonial Belanda. Dinas yang beranggotakan warga masyarakat non-militer yang dipimpin oleh pejabat sipil.
Menara itu sampai sekarang masih berfungsi, tapi penggunaannya hanya pada dua momen. Pertama, setiap tanggal 17 Agustus sebagai peringatan momen kemerdekaan. Kedua, saat menjelang waktu berbuka puasa pada bulan Ramadan.
Baca halaman selanjutnya…
Sultan hidup tak boleh lewat sini
Sultan hidup tak boleh lewat sini
Sejak pemerintahan Sultan Hamengkubuwono (HB) I terdapat larangan bagi sultan yang masih hidup dan bertahta untuk tidak melewati Plengkung Gading. Hanya sultan yang sudah wafat (jenazahnya) yang boleh melewati bangunan ini.
Larangan ini merupakan tradisi Kerajaan Mataram. Sejak dulu Plengkung Gading atau Nirbaya menjadi pintu keluar raja atau sultan yang wafat. Sampai saat ini, bangunan ini menjadi satu-satunya pintu keluar bagi jenazah raja sebelum bersemayam di Makam Raja-raja di Imogiri, Bantul.
Sebaliknya, jenazah rakyat biasa tak boleh melewati bangunan ini. Mereka yang meninggal di dalam kawasan benteng, rombongan jenazahnya mesti mencari alternatif jalan lain.
Menetralkan ilmu hitam
Ada satu mitos yang warga Jogja percayai terkait Plengkung Gading. Konon, ilmu hitam tidak bisa menembus bangunan ini. Orang-orang yang memiliki ilmu hitam akan hilang ilmunya saat melewati pintu gerbang menuju Keraton ini.
“Pernah ada kejadian nyata, yang ilmu hitamnya benar-benar luntur karena tidak tahu bahwa tidak boleh lewat Plengkung Gading,” papar Tedi, warga yang tinggal di dalam kawasan benteng, dilansir dari Kumparan.
Bangunan Plengkung Gading hingga kini masih berdiri kokoh. Bangunan ini menjadi salah satu tempat yang sering orang kunjungi untuk berfoto.
Penulis: Iradat Ungkai
Editor: Purnawan Setyo Adi