Pesan Sujiwo Tejo Agar Ilmu Komunikasi Tidak Jadi ‘Ilmu Setan’

mahasiswa ilmu komunikasi mojok.co

Ilustrasi mahasiswa (Mojok.co)

MOJOK.CO – Budayawan Sujiwo Tejo mengatakan bahwa disiplin ilmu komunikasi bisa menjadi “ilmu setan” lantaran bisa membuat hal yang buruk menjadi terlihat baik. Hal itu menurutnya biasa dilakukan praktisi komunikasi di berbagai bidang.

“Saya pernah ngobrol dengan senior saya M Sobary. Beliau ahli komunikasi dan bilang kalau komunikasi itu bisa jadi ilmu setan. Ilmu ini bisa membuat setan terlihat bagus. Ya PR (public relation-red) itu,” ujarnya pada peserta “National Symposium of Communication Science” di Auditorium UNY, Selasa (8/11).

“Tapi saya tantang supaya kalian semua bisa membantahnya,” sambungnya tertawa.

Selain itu, sosok yang kerap digelari Presiden Jancukers ini memberikan pandangannya tentang masa depan ilmu komunikasi. Ia melihat bahwa di era digital, komunikasi harus bisa membaca kebutuhan masyarakat secara jeli.

Ia menganalogikan bahwa orang yang bergelut di bidang komunikasi harus pandai melihat dengan stetoskop. Hal itu dimaknai sebagai melihat apa yang orang lain pikirkan dan rasakan agar bisa menjawab kebutuhan di era digital.

“Jadi strategi komunikasi yang sangat penting itu bagaimana kita bisa mendiagnosa dengan tepat kebutuhan yang ada di masyarakat,” ujarnya di hadapan ratusan peserta yang hadir.

Menurut mantan wartawan Harian Kompas ini sekarang para pegiat ilmu komunikasi harus pandai menarasikan segala sesuatu dengan baik. Ia melihat bahwa storytelling menjadi kemampuan yang harus dikuasai untuk bisa menarasikan segala hal di sekitar.

Ia banyak memberikan gambaran bahwa lirik-lirik lagu bisa menjadi medium yang baik untuk menyampaikan suatu pesan. Lirik lagu Meggy Z yang berbunyi lebih baik sakit gigi daripada sakit hati misalnya, bisa menggabarkan besarnya penderitaan orang sakit hati.

“Pertama, sakit gigi itu penuh derita. Tapi sakit gigi tidak ada yang besuk dan kalau minta izin karena sakit gigi juga diketawain. Tapi Meggy Z memberikan gambaran bahwa sakit hati deritanya lebih dari itu,” paparnya dengan semangat.

Sujiwo yang menjadi keynote speaker dalam acara ini banyak membawakan tembang-tembang di sela pemaparannya. Lagu-lagu seperti Ingsun dan Sugih Tanpo Bondo ia lantunkan. Sesekali juga mengajak para peserta untuk menyumbang suara.

Hal seperti itu memang selalu dilakukan Tejo saat mengisi berbagai acara. Ia punya alasan bahwa pesan yang disampaikan lewat alunan nada bisa bertahan lebih lama di benak para hadirin.

“Saya setiap kali ceramah minta pakai musik karena saya yakin itulah yang sampean bawa pulang. Kata-kata ceramahku paling sepuluh hari sudah lupa, tapi nada bisa bertahan lama,” ujarnya.

Pada kesempatan yang sama ia juga menyinggung makna dari kehadiran yang menurutnya berasal dari frasa manjing makahanan yang memiliki arti menyesuikan diri di suatu situasi. Ia menekankan bahwa di era sekarang, keberadaan fisik belum tentu menandakan kehadiran yang sesungguhnya.

“Kadang kita hadir tapi main hp jadi pikirannya ke mana-mana. Dahulu tanpa hp pun pikirannya bisa ke mana-mana saat bertemu seseorang. Tapi intinya, orang kan tidak bisa melihat pikiran, bisanya melihat bagaimana sikap kita,” paparnya.

Selain Sujiwo Tejo, tiga pembicara lain yang dihadirkan di acara ini yakni Prof Dr Heddy Shri Ahimsa Putra, Dr Hendi Pratama Spd MA, dan Prof Dr Suranto MPd Msi. Acara yang mengangkat tema “Peran Komunikasi terhadap Kemanusiaan di Era Digital” ini merupakan bagian dari rangkaian Bulan Komunikasi UNY.

Reporter: Hammam Izzudin
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Tips Melindungi Diri Saat Terjadi Crowd Crush

Exit mobile version