MOJOK.CO – Penyelenggaraan Pasar Malam Tugu Jogja Expo (TJE) yang digelar di Jalan Margo Utomo, Kota Yogyakarta sejak 8 Desember 2022 lalu, terpaksa dihentikan. Pemkot Yogyakarta mengklaim, disetopnya event ini karena alasan perizinan. Kendati demikian, panitia penyelenggara menyebut bahwa keputusan tersebut adalah sepihak dan merugikan banyak orang.
Sebagaimana diketahui, mulai tanggal 16 Desember 2022, Pemda DIY meminta agar TJE dibubarkan. Menurut Pejabat (Pj) Walikota Yogyakarta Sumadi, hal ini karena memang sejak awal otoritas telah melarang segala bentuk penyelenggaraan pasar malam dan kegiatan sejenis di kawasan Sumbu Filosofi.
“Kami sudah dapat rekomendasinya [dari Pemda DIY], intinya untuk kawasan sumbu filosofi tidak boleh ada kegiatan seperti itu,” papar Sumadi, Kamis (15/12/2022)
Lebih lanjut, karena tidak adanya izin, masalah struktural pun dikhawatirkan bakal muncul. Dalam laporan yang diterima, Sumadi mengatakan bahwa banyak terjadi pungutan parkir liar dan kemacetan di sekitar lokasi event.
“[Pasar malam] harus dibongkar. Karena sumbu filosofi yang sekarang baru diverifikasi UNESCO jadi kepentingan bersama, kita harus menjaga itu kita tata bareng lah,” ungkapnya.
Sementara itu, panitia penyelenggara justru mempertanyakan dasar argumen yang digunakan Pemkot untuk menutup acara. Terutama persoalan izin yang dipermasalahkan.
“Pemkot mempertanyakan izin, padahal pemerintah sendiri yang berwenang keluarkan izin. Kok pemerintah pakai nanya? Lucu ya,” ujar Ketua Penyelenggara TJE Widihasto Wasana Putra, dalam keterangan tertulis yang diterima Mojok, Kamis (15/12/2022).
Menurut Hasto, sapaan akrabnya, sejak pihaknya memaparkan rencana kegiatan ke Pemkot pada 28 November lalu, Pj Walikota memberi tanggapan positif. Katanya, saat itu Pemkot akan mendukung kegiatan-kegiatan yang sifatnya membangkitkan perekonomian masyarakat dan menunjang pariwisata, seperti event TJE.
“Dukungan Pj Walikota terhadap TJE saya unggah di hari yang sama di akun instagram @hastoprakosa. Dukungan ini tentu makin menyemangati kami,” tegasnya.
Namun, dalam kelanjutannya, Hasto mengakui bahwa proses birokrasi sangatlah rumit. Pihak Pemkot dan stakeholder yang terkait justru nihil jawaban ketika dimintai konfirmasi lebih lanjut soal pembahasan teknis acara.
Alhasil, agar proses dapat berjalan lancar, panitia berinisiatif menyelenggarakan rapat koordinasi (rakor) untuk membahas teknis acara dengan mengundang Pj Walikota hingga OPD Pemkot terkait. Namun, dalam rakor itu hanya Danramil dan beberapa Ketua RW Jogoyudan yang hadir.
Selanjutnya, pada tanggal 5 Desember panitia juga telah mengajukan permohonan rekomendasi kegiatan ke UPT Pengelola Cagar Budaya Pemkot. Namun, hingga tanggal 8 Desember 2022, surat ini tidak ada tanggapan meski pihaknya telah mendatangi kantor tiap hari.
“Padahal tanggal 8 Desember sudah pembukaan acara,” paparnya.
Akhirnya, panita membuka TJE pada 8 Desember 2022 dengan diawali pawai budaya dari Tugu Jogja. Dalam pembukaan ini, hadir pula perwakilan Polresta Yogyakarta dan Kodim Kota.
Namun, hanya selang sehari, staf UPT Pengelola Cagar Budaya Pemkot Yogya mengantar surat jawaban atas surat permohonan panitia tertanggal 5 Desember 2022 lalu. Surat ini berisi bahwa Balai Kawasan Sumbu Filosofis (BKSF) Disbud DIY tidak merekomdasikan kegiatan TJE karena ada sejumlah potensi, antara lain timbulnya kemacetan, minimnya lahan parkir, dan berpotensi mengancam cagar budaya Hotel Tugu.
“Ketiga hal itu dikatakan berpotensi menjadi preseden dalam proses pengusulan sumbu filosofi sebagai warisan budaya dunia ke UNESCO yang saat ini tengah memasuki tahap penentuan akhir,” jelas Hasto.
Dalam pandangan Hasto, tidak dikeluarkan rekomendasi kegiatan oleh BKSF DIY merupakan hal yang sepihak. Sebab, sejak awal pihaknya tidak pernah dimintai keterangan atau memaparkan mengenai potensi sosial, konsep, atau dampak event TJE.
“Kami sudah mengajak rakor teknis, tapi tidak pernah diagendakan. Manakala kami mengambil inisiatif, jajaran OPD tidak ada yang hadir. Ribet sekali ya urusan koordinasi di kita ini,” kata Hasto.
Bahkan, alasan-alasan yang dipakai Pemkot, seperti pungutan parkir liar atau kemacetan, tidak bisa jadi argumen yang kuat. Sebab, menurut Hasto, parkir liar dan kemacetan sudah jadi masalah menahun alias tidak terjadi ketika ada event TJE saja.
“Faktanya Jogja selalu macet saat musim-musim liburan karena memang pemerintah sejauh ini belum mampu sediakan kantong-kantong parkir. Malioboro, Tugu dan sekitarnya tanpa ada event tiap dari sudah crowded,” tegasnya.
Hasto pun juga menyayangkan, karena dengan disetopnya event ini justru menghambat aktivitas perekonomian masyarakat dan UMKM yang terlibat dalam TJE. Dalam catatannya, ada sebanyak 182 stand dan 30 wahana permainan yang akhirnya kehilangan rezeki.
“Kami berharap pengambil kebijakan dapat arif dan bijaksana melihat bagaimana perjuangan rakyatnya jungkir balik dalam mengais rejeki,” kata Hasto.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi