Zaman Majapahit Pelaku Kekerasan Seksual Dijuluki Babi, Disiksa, dan Dihukum Mati

Pada Zaman Majapahit Pelaku Kekerasan Seksual Dijuluki 'Babi', Disiksa dan Dihukum Mati MOJOK.CO

Ilustrasi Pada Zaman Majapahit Pelaku Kekerasan Seksual Dijuluki 'Babi', Disiksa dan Dihukum Mati. (Mojok.co)

MOJOK.COPada zaman Kerajaan Majapahit, tak ada ampun bagi pelaku kekerasan seksual. Jangankan mendapat pembelaan, mereka malah punya sebutan “babi”. Sanksinya bisa berupa denda, siksaan, bahkan hukuman mati.

Kerajaan Majapahit memang terkenal ketat dalam mengatur masyarakatnya. Jauh sebelum adanya KUHP yang mulai berlaku di masa kolonial Hindia Belanda, konsep hukum serupa sudah ada pada era Kerajaan Majapahit. 

Kejayaan Majapahit juga diikuti oleh terbitnya peraturan terkait hukum pidana yang menjadi pedoman kehidupan masyarakat saat itu. Aturan ini bernama Kutaramanawadharmasastra atau yang juga disebut sebagai Kitab Perundang-undangan Agama.

Dalam kitab perundang-undangan tersebut, secara spesifik juga mengatur soal kekerasan seksual. Antara lain terkait jenis-jenis kekerasan seksual, hingga sanksi yang mereka berikan.

Aturan soal kekerasan seksual di Kerajaan Majapahit

Titi Surti Nastiti dalam bukunya, Perempuan Jawa: Kedudukan dan Peranannya dalam Masyarakat Abad VIII-XV (2016), menjelaskan bahwa Kerajaan Majapahit memang sangat tegas dalam menerapkan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual. Para pelaku ini, mereka sebut sebagai “Strisanggrahana”.

Jenis hukuman bagi para pelaku pun amat beragam, mulai dari denda, potong tangan, hingga hukuman mati. Berbagai macam hukuman ini termaktub dalam Kitab Perundangan-undangan Agama, UU Kerajaan Majapahit yang terdiri dari 19 Bab dan 275 pasal.

Dalam satu bab di kitab tersebut, terdapat istilah “paradara” yang punya makna “istri orang lain” atau “main serong”. Di Kitab Perundang-undangan Agama, pembahasan aturan soal paradara ada dalam 17 pasal.

Ketujuh belas pasal inilah yang mengatur jenis hukuman dan denda yang kepada laki-laki yang mengganggu perempuan. 

Paradara juga mengatur ketentuan hukuman bagi pemerkosa istri orang lain yang dendanya disesuaikan dengan kedudukan sang perempuan dalam sistem kasta kerajaan. 

Misalnya, jika korban berkasta tinggi, yang kategorinya sebagai perempuan utama, jumlah dendanya 2 laksa (1 laksa = 10 ribu keping koin). Jika berasal dari kasta menengah, dendanya selaksa atau 1 laksa. Jika istrinya berkasta rendah, dendanya lima tali (1 tali = 1.000 keping koin).

Dalam hal ini penentu jumlah denda memang raja yang berkuasa, dan penerima denda menjadi hak sang suami. 

Sementara jika terjadi pemerkosaan dan tertangkap basah oleh sang suami, maka suami bisa boleh membunuh sang pemerkosa.

Suami boleh bunuh pemerkosa istrinya

Itu tadi merupakan hukuman yang berhubungan dengan denda uang. Dalam bukunya, Nastiti juga menjelaskan ada sanksi lain yang pelaku kekerasan seksual dapatkan di zaman Majapahit.

Jika sang suami tidak menghendaki denda uang, misalnya, ia halal memotong tangan pelaku dan mengusirnya dari desa. Ia bisa memberi tanda kepada pelaku berupa cap dari besi panas atau yang lainnya, sebagai tanda kalau orang itu pernah memperkosa.

Kalau zaman sekarang, semacam cancel culture kali, ya.

Sementara jika yang diperkosa belum menikah, kemudian ia dirayu, diajak lari, atau ke tempat sepi (semacam dimanipulasi atau love bombing kalau hari ini), laki-laki ini bakal dapat julukan “babi”. Raja akan menghukum mati sang pelaku kalau ada saksi dari pemerkosaan itu.

Kerajaan Majapahit sudah mengatur pelecehan sejenis catcalling

Selain jenis hukuman tadi, raja Majaphit juga bisa memberikan sanksi unik. Seorang laki-laki yang menegur perempuan lain yang bukan istrinya dianggap melakukan pelecehan dengan denda dua laksa

Jenis pelecehan ini mirip-mirip siul-siul sembarangan atau catcalling pada hari ini kali ya.

Lebih jauh, seorang laki-laki juga tidak boleh berbicara empat mata dengan perempuan lain di tempat sepi. Sebab, kata Nastiti, pihak kerajaan khawatir keduanya susah mengendalikan nafsu birahinya.

Bahkan aturan ini juga mengikat pendeta. Jika pendeta tak bisa mematuhinya, status kependetaannya terancam hilang. 

Perbuatan cabul alias strisanggrahana tak sampai pada pelaku saja lho. Orang lain yang membantu, menghasut, atau memfasilitasi perbuatan tersebut pun juga bakal kena sanksi.

Semisal, orang yang menyuruh si laki-laki untuk meniduri atau memperkosa istri orang lain akan kena denda dua laksa. Ia bisa saja kena vonis hukuman mati, yang hanya bisa lolos kalau membayar empat laksa.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Artefak Era Majapahit Ditemukan di Pleret, Kemungkinan Milik Bangsawan

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version