Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Kilas Memori

Sejarah Sekolah Dokter STOVIA yang Ijazahnya Setara Lulusan Eropa

Ahmad Effendi oleh Ahmad Effendi
13 Oktober 2023
0
A A
Sekolah Dokter Jawa STOVIA MOJOK.CO

Murid dan pengajar di STOVIA. (Wikipedia/Kementerian Kesehatan RI/Universitas Indonesia)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Dahulu, tak perlu kuliah untuk bisa menyandang gelar dokter. Cukup sekolah di STOVIA, maka ijazah kelulusanmu sudah setara dengan dokter-dokter Eropa. Bagaimana bisa?

Sebelum abad ke-19, akses kesehatan belum  sepenuhnya masyarakat sipil rasakan di Hindia Belanda. Terutama bagi kaum pribumi, yang kala itu masih sangat tergantung kepada dukun.

Barulah pada awal ke-19, mereka baru mendapatkan layanan kesehatan. Itupun dari pihak militer. Pendeknya, pada periode tersebut keberadaan dokter sipil masih sangat langka.

Namun, semua berubah ketika terjadi epidemi menular di Jawa Tengah pada 1847. Demi keluar dari situasi krisis, Kepala Dinas Kesehatan Hindia Belanda Willem Bosch mendesak agar pemerintah mendidik kaum pribumi untuk menjadi dokter.

Tujuannya adalah para dokter pribumi ini nantinya bisa menjadi tenaga kesehatan dan vaksinator di daerahnya masing-masing. 

Alhasil, ide Bosch pemerintah setujui dan per 1 Januari 1851 mereka membuka School ter Opleiding van Inlandsche Geneeskundigen di Batavia (sekarang Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto). Sekolah ini kemudian terkenal dengan sebutan “Sekolah Dokter Jawa”.

Dari Sekolah Dokter Jawa menjadi STOVIA

Mengutip Liesbeth Hesselink dalam Healers on the Colonial Market: Native Doctors and Midwives in the Dutch East Indies (2011), pada saat itu di Sekolah Dokter Jawa tidak ada kurikulum khusus untuk mempelajari kondisi masyarakat lokal. 

Sebab, kata Hesselink, sebagian besar para pengajarnya memang tak punya pengalaman dengan pasien pribumi. Para siswa hanya mendapatkan pelajaran materia medica, yakni pelajaran soal ramuan obat-obatan herbal asli tanah Hindia.

Meski demikian, nyatanya para lulusan Sekolah Dokter Jawa berandil besar dalam mengatasi dan mencegah wabah. Selama 1851-1863, sudah ada 76 lulusan yang sebagian besar bekerja sebagai tenaga vaksinator dan bekerja di klinik.

Atas kesuksesan ini, pemerintah Hindia Belanda terus mengembangkan kurikulum Sekolah Dokter Jawa. Mulai 1870-an, masa studi mereka mengalami perpanjangan. Dari yang dua tahun menjadi tiga tahun, kemudian naik lagi jadi tujuh tahun. Jumlah siswa yang diterima juga meningkat, dari 50 menjadi 100.

Akhirnya, pada 1902–bersamaan dengan gaung Politik Etis–pemerintah mereformasi kurikulum pendidikan dokter. Imbasnya, School ter Opleiding van Inlandsche Geneeskundigen berubah nama menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA).

Istilah “dokter Jawa” juga berubah menjadi Inlandsche Arts alias dokter Bumiputra (pada 1913 gelar kembali berubah jadi Indische Arts atau dokter Hindia atas dasar kesetaraan).

Lulusannya setara sarjana Eropa

STOVIA segera menjelma menjadi lembaga pendidikan pertama yang menjadi tempat berkumpulnya para pelajar dari berbagai wilayah. Saya katakan demikian, sebab pemerintah memang memberi kesempatan yang sama untuk menjadi pelajar STOVIA, tak tergantung kelas sosial maupun ras.

Para pelajar STOVIA juga dikenal memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Ini karena persyaratan untuk masuk menjadi pelajar STOVIA harus melalui proses yang sangat ketat dan selektif. Di STOVIA juga, para siswanya harus tinggal dalam asrama yang dipimpin oleh seorang pengawas Indo-Belanda yang punya sebutan dengan suppoost. 

Secara kurikulum, pendidikan di STOVIA menyesuaikan dengan School Voor Officieren van gezondeid di Utrech, Belanda. Sehingga, para lulusannya sama dengan lulusan sekolah serupa di Eropa. Masa belajarnya juga lebih lama ketimbang Sekolah Dokter Jawa, yakni selama sembilan tahun.

Lulusan STOVIA, mayoritas akan menjadi pegawai pemerintah dan mendapat tugas di daerah-daerah terpencil untuk mengatasi berbagai macam penyakit menular. Dokter-dokter muda ini, akan dibekali dengan tas kulit yang berisi alat-alat kedokteran dan uang saku untuk perjalanan menuju lokasi tugas.

Di kemudian hari, STOVIA juga melahirkan dokter-dokter progresif yang ikut andil dalam sejarah pergerakan maupun kemerdekaan Indonesia. Antara lain Ketua Kongres Pertama Boedi Oetomo Wahidin Soedirohusodo, Ketua BPUPK Radjiman Wedyodiningrat, hingga Cipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara, dan masih banyak lagi.

Bahkan, Bapak Pers Nasional, Tirto Adie Soerjo, juga pernah mengenyam pendidikan di STOVIA. Sebelum akhirnya ia memilih jalan jurnalisme.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA UGM Pernah Buka Cabang di Surabaya, Kini Menyatu dengan Unair

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Terakhir diperbarui pada 13 Oktober 2023 oleh

Tags: doktersejarahsekolah dokter jawaStovia
Iklan
Ahmad Effendi

Ahmad Effendi

Reporter Mojok.co

Artikel Terkait

Mohammad Hatta : Mudur dari Kursi Wapres Bukan Karena Kalah
Movi

Sebab-Sebab Mohammad Hatta Mundur dari Kursi Wapres, Bukan Karena Kalah

28 Juni 2025
Dwifungsi ABRI dan Ambisi Kuasa di Luar Barak
Movi

Dwifungsi ABRI dan Ambisi Kuasa di Luar Barak

10 Mei 2025
Dr. Sri Margana: Menelusuri Jejak Literasi, Sejarah, dan Perlawanan Kolonial dalam Sastra Jawa
Movi

Dr. Sri Margana: Menelusuri Jejak Literasi, Sejarah, dan Perlawanan Kolonial dalam Sastra Jawa

6 Mei 2025
Ketika Negara Membungkam: Fakta Kelam Peristiwa Genosida Papua 1977
Movi

Ketika Negara Membungkam: Fakta Kelam Peristiwa Genosida Papua 1977

3 Mei 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

5 Kuliner Magelang yang Jarang Disantap dan Dihindari Warga Lokal

5 Kuliner Magelang yang Jarang Disantap dan Dihindari Warga Lokal

9 Juli 2025
Honda Vario 125 Pilihan Orang Waras, Tua tapi Kuat MOJOK.CO

Honda Vario 125 Pilihan Orang Waras, Warisan Rangka Tua yang Nggak Menyedihkan Seperti Warisan Rangka ESAF Honda

10 Juli 2025
Iseng jadi pengamen liar di Jogja: sehari bisa Rp300 ribu-Rp500 ribu, bantu bertahan hidup saat puluhan lamaran kerja tidak ada yang tembus MOJOK.CO

Iseng Jadi Pengamen Liar di Jogja: Sehari Dapat Cuan Menggiurkan, Tolong Saya saat Luntang-lantung karena Puluhan Kali Gagal Kerja

11 Juli 2025
Festival Dolanan di Borobudur: Komitman Pemprov Jateng libatkan anak dalam pembangunan MOJOK.CO

Komitmen Pemorov Jateng: Suara Anak-anak Jadi Pertimbangan Kebijakan untuk Pembangunan Ramah Anak

13 Juli 2025
4 Dosa Warmindo yang Bikin Tempat Ini Nggak (Perlu) Lagi Jadi Top of Mind Tempat Makan Mahasiswa, Mending Penyetan!

4 Dosa Warmindo yang Bikin Tempat Ini Nggak (Perlu) Lagi Jadi Top of Mind Tempat Makan Mahasiswa, Mending Penyetan!

14 Juli 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.