Sejarah Sanatorium Pakem: Tempat TBC di Yogyakarta Diberantas, Kini Jadi Panti Asuhan dan SLB

Peresmian Sanatorium Pakem, Sleman yang dihadiri Sultan HB VIII MOJOK.CO

Peresmian Sanatorium Pakem, Sleman yang dihadiri Sultan HB VIII. (Instagra Roemah Toea)

MOJOK.CO Saat melintas di sekitaran Jalan Kaliurang KM 21, kita bakal menjumpai bangunan luas, asri, tapi sangat sunyi. Panti Asuhan Panti Asih Pakem namanya. Dulunya adalah Sanatorium Pakem, tempat TBC diberantas.

Ketika mau berjalan arah selatan, tak jauh dari bangunan tersebut Taman Lansia Bethesda. Kondisinya terlihat lebih terawat. Sementara jika berjalan ke arah selatan lagi, kita bakal menemui SLB C1 Panti Asih Pakem, tempat puluhan anak berkebutuhan khusus menimba ilmu.

Bangunan-bangunan yang saya sebutkan tadi, di beberapa sudut kondisinya cukup memprihatinkan. Meski masih difungsikan, bangunan terlihat tak terurus: rerumputan liar menjulang tinggi, bagian dinding banyak retakan, dan beberapa besi penyangga mulai berkarat.

Padahal, jika kalian mau menggali sisi historisnya, di kompleks bangunan ini wabah tuberculosis (TBC) yang mengganas di Yogyakarta berhasil diatasi. Bangunan ini dulunya bernama Sanatorium Pakem.

Wabah TBC landa Hindia Belanda

Sepanjang abad ke-19 dan ke-20, TBC menjadi momok menakutkan di Benua Eropa. Bahkan, terkena TBC ibarat “kena hukuman mati” lantaran angka kematian yang sangat tinggi.

Memasuki awal abad ke-20, wabah TBC mulai memasuki Hindia Belanda. Pada 1921, dokter STOVIA Cornelis de Langen menghimpun informasi dari dokter-dokter Jawa di seluruh pelosok negeri terkait maraknya suspek TBC.

Berdasarkan informasi yang ia kumpulkan, Langen berkesimpulan bahwa TBC sangat mematikan, khususnya bagi warga pribumi. Mereka menamainya dengan “batoek kring” atau “batoek darah”. Rata-rata warga yang meninggal akibat TBC adalah masyarakat pedesaan, pekerja perkebunan, guru, hingga anak-anak.

Akibatnya, banyak rumah sakit menjadi sesak oleh pasien TBC. Khususnya di Surakarta, Klaten, Yogyakarta, Purworejo, Kebumen, di mana angka kasus sangat tinggi. 

Bagi yang punya gejala batuk kering atau batuk darah, mereka segera dirujuk ke rumah sakit di Wonosobo karena udaranya bersih. Namun, karena jaraknya yang jauh, banyak yang memilih merawat diri mereka sendiri di rumah.

Bagi pasien tajir, ini tak menjadi masalah, karena mereka bisa menyewa hotel di tempat sejuk seperti Kaliurang atau Tawangmangu. Akan tetapi, bagi warga miskin, ini menjadi bumerang karena selain meninggal, penyakit mereka juga bisa menular ke orang lain.

Atas pertimbangan itu, akhirnya muncullah ide untuk membuat sanatorium. Kalau boleh bilang, sanatorium itu mirip-mirip tempat karantina seperti Wisma Atlet di Jakarta selama pandemi Covid-19 kemarin. 

Intinya, ia merupakan tempat perawatan dan karantina bagi para pasien TBC.

Sanatorium Pakem di tempat sejuk dan jauh dari keramaian

Manajemen RS Zending Petronella (RS Bethesda) memutuskan untuk membuka sanatorium di Pakem. Lokasi ini jadi pilihan karena hawanya yang sejuk dan jauh dari keramaian kota. Sebelum antibiotik ditemukan, para pasien memang harus jauh dengan permukiman dan masyarakat lain yang sehat.

Proses pembangunannya pun terkesan cepat. Pembangunan mulai pertengahan 1935, sanatorium pun rampung pada April 1936 dengan menelan biaya 25 ribu gulden.

Pada 23 Juni 1936 Sanatorium Pakem resmi beroperasi. Hadir dalam upacara gunting pita antara lain Sri Sultan HB VIII, Kepala Residen Yogyakarta J. Bijleveld, dan Direktur RS Petronella KP Groot.

Berdasarkan sejumlah laporan, Asosiasi Pusat Untuk Pemberantasan TBC (SCVT) mengucurkan dana 1.200 gulden per tahun untuk operasional Sanatorium Pakem. Sementara Keraton Yogyakarta memberi suntikan dana 1.500 gulden per tahun sebagai bantuan.

Apa saja fasilitasnya?

Saat Sanatorium Pakem beroperasi, baru ada tiga sanatorium di Hindia Belanda; duanya lagi di Salatiga. Sebagaimana bangunan untuk karantina, Sanatorium Pakem menggunakan rancangan sistem paviliun. Antara bangsal perawatan dan bangunan pelayanan mereka tempatkan secara terpisah.

Saat awal berdiri, sanatorium ini baru memiliki dua bangsal. Masing-masing bangsal bisa menampung 48 ranjang pasien. Namun, seiring berjalannya waktu, pada 1937 bangunan diperluas dan bisa muat 98 ranjang per bangsal.

Suasana di sanatorium juga dibuat seteduh mungkin. Terdapat banyak pepohonan rindang di pekarangan untuk para pasien cari angin. Di dalam lingkungan sanatorium juga terdapat gereja kecil (yang masih ada hingga sekarang) untuk menjamin kebutuhan rohani para pasiennya.

Para dokter yang bekerja di sini pun merupakan para spesialis paru-paru. Segala macam alat penunjang, seperti alat sinar X-ray juga sudah tersedia. Para dokter juga diberi rumah dinas di dalam lingkungan sanatorium.

Pada 1944, antibiotik ditemukan dan mereka mulai memasifkan proses vaksinasi. Hasilnya, TBC bukan lagi jadi penyakit yang serius. Seiring dengan itu, maka berbagai sanatorium, termasuk yang di Pakem, akhirnya tutup.

Sempat berfungsi sebagai Rumah Sakit Paru-Paru setelah proklamasi kemerdekaan, sanatorium di Pakem benar-benar tutup pada 1967. Kini, kompleks bangunannya berfungsi sebagai Panti Asuhan Panti Asih, Taman Lansia Bethesda, dan SLB C1 Panti Asih Pakem.

Penulis: Ahmad Effendi”
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Sejarah Sekolah Dokter STOVIA yang Ijazahnya Setara Lulusan Eropa

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version