MOJOK.CO – Berbicara soal perusahaan otobus atau PO bus tertua di Indonesia, pasti kita akan menyebut nama-nama legend seperti PO Coyo, PMTOH, hingga PO Medal Sekarwangi.
Namun, jauh sebelum PO tersebut eksis, sudah ada perusahaan serupa yang hadir di Kota Salatiga. PO ini jadi andalan pada masa kolonialisme, tapi sayangnya harus berhenti beroperasi karena mengalami masalah finansial.
Seperti apa perjalanannya?
Sebelum angkutan bus muncul di Salatiga
Mungkin sebagian besar dari kalian bertanya-tanya, mengapa PO Bus ini pertama kali muncul di Salatiga? Dan bukan di kota-kota besar lain seperti Batavia, Semarang, ataupun Surabaya.
Sebagai informasi, pada masa kolonial Hindia Belanda, Salatiga merupakan kota penting bagi pemerintah. Kala itu, kota ini berfungsi sebagai tempat bermukim warga Belanda, kota perkebunan–dengan ditetapkannya afdeeling untuk mendukung sistem cultuurstelsel (tanam paksa), dan “kota militer”.
Mengutip penelitian Eny Setyowati berjudul “Sejarah Transportasi Bus ESTO dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Kota Salatiga Tahun 1923-1942” (2017), pada 1926 pemerintah menetapkan Salatiga sebagai Gemeente (kotapraja dengan otonomi penuh). Sebelumnya, ia merupakan kotapraja dengan otonomi terbatas.
Imbas penetapan itu, pemerintah kemudian merencanakan transformasi Salatiga menjadi kota modern mengikuti pola pembangunan di Eropa. Salah satu yang diperbaiki adalah akses transportasi publik.
Eny Setyowati menulis, sebelum kendaraan bermesin banyak di Salatiga, pedati (gerobak sapi) untuk angkutan barang dan dokar (kereta kuda) untuk angkutan penumpang menjadi andalan utama masyarakat setempat.
Sebagai gambaran, seseorang yang akan bepergian dari Salatiga ke Surakarta, misalnya, harus naik dokar trayek Salatiga-Boyolali. Kemudian, mereka harus transit untuk pindah moda dokar trayek Boyolali-Surakarta.
Dari persewaan mobil jadi PO Bus
Kebutuhan akan akses transportasi mesin menjadi hal penting di Salatiga. Seperti Endah Sri Hartatik catat dalam bukunya Dua Abad Jalan Raya Pantura (2018), memasuki 1920 ada impor sebanyak 1.502 unit mobil ke Jawa.
Pengusaha keturunan Cina-Jawa asal Kudus, Kwa Tjwan Ing melihat ini sebagai peluang. Bersama istrinya, Siauw King Nio, ia bikin usaha Autoverhuurder atau persewaan mobil.
Saat awal merintis, ia melayani jasa sewa unit mobil kecil pada 1921. Kala itu, deretan mobil yang ia sewakan berjejer di sepanjang ruas Solo Scheweg (sekarang Jalan Jenderal Sudirman). Warga setempat sangat meminati usaha ini, khususnya warga negara Belanda.
Akhirnya, Kwa Tjwan Ing makin melebarkan sayap usahanya. Setahun berselang, ia menambah unit truk untuk keperluan angkut barang sekaligus angkutan massal. Barulah pada 1923, ia memberanikan diri menutup usaha rental mobil dan membuka usaha angkutan umum berupa bus kota.
Baca halaman selanjutnya…
Kelahiran PO Bus Esto di tahun 1923
PO Bus ESTO lahir pada 1923
Pada 1923, Kwa Tjwan Ing resmi membuka PO Bus yang ia namai “Eerste Salatigasche Transport Onderneming” atau ESTO. Jika diterjemahkan, kata ESTO berarti “perusahaan transportasi pertama Salatiga”–penegasan atas usahanya yang merupakan perusahaan bus perintis pertama di Salatiga.
Karena resmi buka tahun 1923, PO ESTO tergolong sebagai bus tertua di Indonesia. Pemilihan nama berbahasa Belanda sekaligus menjadi penegasan bahwa tatanan sosial dan target konsumen yang dituju kala itu adalah orang-orang Eropa.
Dalam penelitian Eny Setyowati (2017), menyebutkan bahwa pada awal merintis usaha, karoseri atau badan bus dibangun dengan bahan kayu dan besi berwarna hijau tua. Sehingga, ESTO dikenal dengan julukan “Kodhok Ijo” atau katak hijau.
Generasi perintis bus menggunakan sasis merek Ford, sedangkan generasi kedua bus ESTO teridentifikasi menggunakan sasis merk Chevrolet yang berasal dari Amerika Serikat.
Bagian kaca kendaraan, lanjut Eny, hanya terletak di sisi depan. Sedangkan pintu serta jendela di sisi samping dan belakang tanpa kaca. Ruangan bus terbagi atas tiga bagian, bagian depan tepat di belakang mesin, bagian tengah, dan bagian belakang, dengan kapasitas 16-18 orang.
Adapun untuk rute, ESTO membuka trayek jalur Salatiga-Tuntang. Melalui trayek ini, ia melayani warga Salatiga yang akan melanjutkan perjalannya menggunakan moda kereta api melalui Stasiun Tuntang
Untuk harga sendiri terdiri atas dua kelas. Yakni 10 sen untuk kelas dua (kursi yang menghadap belakang dengan kursi rotan) dan 20 sen untuk kelas satu (menghadap depan dengan tambahan kursi busa).
ESTO Kodhok Ijo Ambyar karena terlilit utang
ESTO mencapai masa kejayaannya pada 1925. Mereka bahkan bisa menambah armadanya menjadi 100 unit sekaligus membuka bengkel sendiri di Julianalaan (sekarang Jalan Langensuko) pada 1929.
Trayek bus ini juga ditambah menjadi antarkota, yakni dari Kutoarjo, Kendal, Bringin, Semarang, Solo, Magelang, Suruh, Ambarawa, Sragen, Purworejo, Kudus dan Pati.
Sayangnya, ketika Kwa Tjwan Ing menyerahkan bisnis ke anaknya, Kwa Hong Po, usaha ini melesu. Saat itu, dunia memang sedang dilanda krisis ekonomi global atau malaise.
Utang ESTO di mana-mana. Untuk menutup kerugian, mereka harus menjual satu per satu armadanya pada periode 1930-1935. Pada 1938, bahkan yang tersisa tinggal 20 bus.
Selanjutnya, meskipun banyak mengalami gejolak selama masa Perang Dunia II (1942-1945), ESTO berhasil melewatinya. Lambat laun, setelah Indonesia merdeka, ia bisa mengembalikan eksistensinya hingga 70 tahun setelahnya.
Sayangnya, pada 2016 lalu ESTO gulung tikar. Padahal, jika masih bertahan, pada 2023 ini PO bus tertua di Indonesia asal Salatiga ini usianya menginjak 100 tahun.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Sepak Terjang PO Tjipto Raja Jalanan Jawa Timur, Lawan Sepadan PO AKAS Pada Masanya
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News