MOJOK.CO – Di Yogyakarta, sebagian kekuatan militer mendukung Gerakan 30 September 1965 (G 30 S). Bahkan mereka menculik dan membunuh komandan mereka sendiri. Militer dan massa pendukung PKI sempat mengepung Gedung Kepatihan, tempat Gubernur DIY Sri Sultan HB IX berkantor.
Kota Yogyakarta punya sejarah panjang dengan komunisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada Pemilu 1955, misalnya, partai kiri ini berhasil menang mutlak di kota gudeg.
Bahkan, sejak akhir 1950-an, Keraton Yogyakarta juga cukup akomodatif dengan PKI. Hal ini, misalnya terlihat dari organisasi dan sayap muda PKI yang mendapat “tempat spesial” di lingkungan keraton.
Seperti pendirian kampus PKI yakni Universitas Rakjat (UNRA) Mataram di lingkungan dalam keraton; Seniman Indonesia Muda (SIM) yang dikasih sanggar di pojok timur Alun-Alun Utara; hingga Pemuda Rakjat yang juga diberikan bangunan sekretariat tepat di sebelah keraton.
Lebih dari itu, ternyata pada Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) pun, banyak masyarakat Yogyakarta yang mendukung aksi ini. Tak tanggung-tanggung, perwira menengah di militer menjadi garda terdepan sebagai pendukung gerakan tersebut.
Aksi saling bunuh pun tak terhindarkan.
Militer Yogyakarta mendukung G 30 S
Saat pengumuman peristiwa G 30 S melalui siaran radio, dua wilayah yang militernya memberi dukungan adalah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di dua wilayah ini, pemberontakan terjadi secara meluas.
Seperti yang John Roosa catat dalam bukunya, Dalih Pembunuhan Massal (2008), di Yogyakarta Mayor Mulyono memimpin pasukan pemberontak.
Aksinya ia mulai dengan menggerebek rumah komandan mereka, Brigjen Katamso. Selain Katamso, pasukan Mulyono juga menculik staf lain, Letnan Kolonel Sugiyono, yang kebetulan ada di rumah itu ketika para pemberontak datang.
Kemudian, mereka membawa dua perwira itu ke sebuah kota kecil di utara Yogyakarta, Kentungan, dan menahan mereka di tangsi batalyon militer di sana.
Setelah sempat menyiksa, pasukan ini selanjutnya membunuh kedua perwira tersebut dan menguburnya di areal tanah kosong dekat Korem 072. Berikut hari, tempat kedua perwira ini terkubur kemudian diabadikan sebagai Museum Monumen Pahlawan Pancasila dan mendapat julukan “Lubang Buaya Jogja”.
Baca halaman selanjutnya…
Kantor Sri Sultan dikepung
Kendati demikian, Roosa juga mencatat, aksi para perwira militer yang berada di belakang gerakan Yogyakarta berbeda dengan yang di Semarang. Di Yogyakarta, militer pendukung G30S bekerja dalam koordinasi dengan penduduk sipil setempat.
Lekas setelah PKI mengumumkan G30S, massa melakukan aksi demonstrasi dan menduduki jalanan untuk mendukung gerakan tersebut.
Menurut Roosa, Mayor Mulyono sebagai perwira yang bertanggung jawab atas urusan pertahanan sipil, telah berhasil menjalin hubungan erat dengan organisasi-organisasi sipil, seperti PKI. Sehingga, ketika pemberontakan terjadi, ia mendapat dukungan.
Alhasil, ketika para prajurit menculik Brigjen Katamso dan Letkol Sugiyono, massa pemuda dari berbagai organisasi yang berafiliasi dengan PKI ikut melakukan aksi serupa. Mereka mengepung kantor Sultan Yogyakarta, Kepatihan, sebagai tempat kedudukan penguasa sipil.
Meski Sri Sultan HB IX selamat dari kepungan ini, para pemberontak berhasil mengambil alih pemancar RRI Yogyakarta. Mereka pun mulai menyiarkan pernyataan-pernyataan dukungan terhadap G30S pada sekitar pukul delapan malam.
Namun, cerita berbalik begitu cepat. G30S berakhir dalam hitungan jam. Pagi harinya, gerakan ini berhasil tumpas. Di Jogja tentara yang kontra PKI bersama masyarakat melakukan aksi yang kemudian menjadi cerita sejarah. Di mana banyak orang yang dianggap berafiliasi dengan PKI dibunuh dalam skala besar-besaran.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Mengunjungi Lubang Buaya Jogja di Condongcatur, Tempat Dua Jenazah Tentara Ditemukan