MOJOK.CO – Babon ANIEM yang terletak di simpul Jalan Mataram acap kali diabaikan orang. Padahal bangunan ini menyimpan sejarah penting bagi Jogja.
Babon ANIEM merupakan bangunan yang pasti orang temui saat hendak ke Malioboro, baik dari Jalan Mataram atau Kotabaru. Letaknya persis di lampu merah sebelum masuk kawasan Malioboro atau tepat di depan Taman Parkir Abu Ali Bakar Ali.
Bangunan berbentuk balok ini bukan bangunan biasa, melainkan cagar budaya yang menyimpan sejarah penting Kota Jogja. Jasanya begitu besar di masa lalu. Bangunan ini merupakan sumber penerangan listrik pertama di Kota Gudeg.
Sejarah listrik Jogja
Pada 1911, masyarakat Jogja masih mengandalkan minyak jarak sebagai bahan bakar penerangan. Sedangkan Keraton Jogja sudah mulai menggunakan gas. Berkembangnya dunia industri di Jogja membuat Sultan Hamengku Buwono VII dan Barend Leonardus van Bijlevelt mempertimbangkan adanya jaringan instalasi kelistrikan.
Sumber penerangan listrik kemudian masuk lewat perusahaan kelistrikan swasta ANIEM (Algemeene Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij). Tepatnya pada Februari 1914, ANIEM mendapatkan hak untuk menyediakan jaringan listrik untuk Jogja.
ANIEM merupakan anak perusahaan dari NV Handelsvennootschap yang sebelumnya bernama Maintz & Co yang berdiri pada 1897. Pada awal abad 19, ANIEM tergolong perusahaan sukses dan terbesar di Hindia Belanda. Induk perusahaan ini berkedudukan di Kota Amsterdam, Belanda.
Baca halaman selanjutnya …
Pembangunan infrastruktur listrik di Jogja
Pembangunan infrastruktur listrik di Jogja
Pasokan listrik di Jogja kala itu berasal dari pembangkit yang ada di Tuntang, Semarang. Sejarah listrik Jogja bermula dari proyek menghubungkan jaringan listrik dari Semarang. Proyek tersebut sejatinya sudah mulai diusahakan sejak 1904, namun baru selesai pada 1918.
Selepas itu, infrastruktur jaringan dibangun. Kurang lebih memakan waktu empat tahun. Infrastruktur kelistrikan pertama yang berdiri ialah gedung pabrik ANIEM di Wirobrajan. Kemudian transformator atau Babon ANIEM menyusul berdiri di sejumlah daerah di Jogja.
Pada 1919, wilayah jeron benteng, Malioboro, dan Kotabaru sudah teraliri listrik. Pada 1922, seluruh wilayah Jogja sudah bisa menggunakan listrik. Berlanjut pada seluruh wilayah Karesidenan pada 1939.
Listrik tidak hanya mengaliri di wilayah pemukiman, melainkan juga untuk kepentingan penerangan jalan umum. Keraton menanggung seluruh biaya penerangan tersebut. Sebab saat itu biaya pengadaan listrik terbilang mahal untuk kalangan umum. Pada 1938 saja, tagihan bulanan untuk dua buah lampu berukuran 10 watt setara dengan harga 15 kg beras kala itu.
Sekilas Babon ANIEM dan fungsinya
Fungsi Babon ANIEM adalah transformator pendistribusian jaringan listrik. Bentuk bangunannya seperti balok dan berdinding batu bata. Terdapat perlubangan dinding yang berbentuk jendela dan pintu berbahan besi, ventilasi dan cantilever.
Pada dinding sisi depan, terdapat angka 29 dan tulisan peringatan berbahasa Indonesia ‘awas elestrik’, tulisan Jawa ‘sing ngemek mati’ yang berarati yang menyentuh meninggal, dan tulisan latin Bahasa Belanda berbunyi ‘Levensgesvaar‘. Tulisan berbahasa Belanda sudah hilang, kendati demikian bekasnya masih terlihat. Tulisan tersebut tercetak pada sebuah plat yang menempel di daun pintu.
Babon ANIEM berdiri di beberapa daerah di Jogja. Peletakannya berada di tempat-tempat strategis, baik di titik simpul jalur maupun di pinggir jalan utama. Keberadaan bangunan ini tentu menjadi bagian penanda momentum hadirnya kelistrikan di Jogja.
Kini, bangunan gardu ANIEM hanya sedikit yang tersisa. Beberapa yang masih dapat ditemui adalah di Danurejan Malioboro atau simpul Jalan Mataram, Kotabaru, dan Kotagede (hasil rekostruksi pascagempa bumi 2006).
Penulis: Iradat Ungkai
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Prawirotaman, Kampung Prajurit Keraton Jogja yang Menjelma Jadi Surganya Para Turis
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News