Lapor LBH Jogja, Orang Tua Siswa SMAN 1 Wates Mengaku Disekap

Karena kritik jual beli seragam sekolah.

penyekapan karena kritik seragam mojok.co

Ilustrasi seragam (Mojok.co)

MOJOK.COKasus penyekapan wali murid di sekolah SMA 1 Negeri Wates menyeruak setelah korban melapor ke LBH Jogja. Namun, kepala sekolah sekolah menolak adanya penyekapan seperti yang dilaporkan.

Seorang wali murid di SMA Negeri 1 Wates mengalami tindak intimidasi dan penyekapan oleh sejumlah orang, Kamis (29/9/2022) pekan lalu. Pelaku penyekapan diduga merupakan orang yang masih terkait dengan pihak sekolah menengah di Kabupaten Kulon Progo tersebut.

Dugaan ini menyeruak setelah Agung Purnomo (41) melaporkan tindakan ini ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jogja beberapa hari setelah penyekapan terjadi. Ia mengaku, disekap setelah sebelumnya melayangkan kritik ke SMA Negeri 1 Wates terkait adanya praktik jual beli seragam sekolah.

Dalam pengakuannya, Agung yang merupakan pejabat ASN di Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Kulon Progo ini berkisah, bahwa insiden tersebut bermula dengan adanya panggilan telepon dari salah satu personel Satpol PP Kulonprogo, Kamis sore. Anggota Satop PP meminta Agung agar datang ke kantornya.

“Teleponnya kira-kira begini: ‘Pak Agung silakan ke kantor ke ruangan Kasatpol PP’,” jelas Agung, tatkala menjalani Konferensi Pers di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jogja, Senin (3/9/2022) kemarin.

“Saya ini seorang penyidik di dinas. Lantas [setelah dapat panggilan], saya datang ke sana, saya pikir berkaitan dengan pekerjaan karena masih dalam jam kerja,” sambungnya.

Agung melanjutkan, sesampainya di kantor polisi pamong praja, ia disambut oleh sembilan orang. Di antaranya dua petugas Satpol PP, tiga orang dari pihak sekolah, dua anggota Paguyuban Orang Tua (POT), dan seorang dari Komite Sekolah.

Di lokasi, lanjutnya, ia disodori banyak pertanyaan intimidatif. Kebanyakan mempertanyakan motif Agung mengkritik pengadaan seragam sekolah.

“Kamu alumni SMAN 2 Wates, ngapain bikin gaduh SMAN 1 Wates” ujarnya, menirukan ucapan orang yang menginterogasinya di ruangan tersebut.

Selama dalam ruangan tertutup itu, Agung mengaku dibentak-bentak dan diancam untuk tidak melaporkan praktik jual beli seragam. Sontak, nyalinya pun jadi ciut bahkan sampai menangis. Hingga pada akhirnya seorang Komite Sekolah meminta untuk menyudahi dan membiarkan Agung pergi.

“Sekarang, saya beserta keluarga telah meninggalkan rumah dan pergi mengungsi,” pungkasnya, sembari bercerita bahwa dirinya masih dicari-cari pasca-insiden tersebut.

Dalam beberapa bulan terakhir, praktik jual beli seragam sekolah di DIY memang menjadi marak dan dapat banyak sorotan. Dugaan “bisnis” ini mencuat setelah Ombudsman RI (ORI) DIY menerbitkan laporan yang menyatakan sejumlah sekolah di DIY yang untung hingga Rp10 miliar dari jual beli seragam.

Padahal, jika merujuk regulasi, praktik ini jelas dilarang. Larangan soal Jual beli seragam sendiri tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan.

Terkait dugaan penyekapan ini, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY akan menyerahkan penanganan perkara kepada pihak berwajib. Polisi, menurut Disdikpora DIY, disebut akan segera melakukan pemanggilan terhadap sejumlah saksi, maupun pihak yang terlibat dalam perkara ini.

“Kalau itu kejadiannya bukan di sekolah dan ini bukan ranah kami,” ujar Kepala Disdikpora DIY, Didik Wardaya, Senin (3/10/2022) seperti dikutip dari jogja.tribunnews.com.

“Saya kira untuk apakah benar ada intimidasi atau tidak bukan ranah kami untuk memberi komentar. Nanti kita mengikuti saja perkembangannya.”

Sementara itu, Kepala SMA Negeri 1 Wates Aris Suwasana, menegaskan bahwa sama sekali tidak ada unsur intimidasi maupun penyekapan sebagaimana yang dilaporkan.

Bahkan jika yang dipersoalkan pelapor adalah terkait jual beli seragam sekolah, kata Aris, pengadaanya itu dikoordinir oleh paguyuban orang tua (POT), bukan pihak sekolah. Aturan ini mengacu pada mengacu Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 dan SE Disdikpora DIY nomor 421/06537 2022 tentang Kebijakan Seragam Sekolah Tahun Ajaran 2022/2020.

“Di situ [Permendikbud dan SE Disdikpora DIY] muncul tentang seragam sekolah bagaimana. Akhirnya kami membentuk sebuah paguyuban yang dikoordinir orang tua siswa semua,” jelas Aris, Senin (3/10/2022) dikutip dari detik.com.

“Disampaikan bahwa pengadaan seragam ‘disetujui’ atau ‘tidak’, dan tidak ada yang usul tidak setuju. Artinya semua setuju. Dari POT langsung mencari rekanan [pengadaan seragam]. POT kemudian tanya sama pihak sekolah, ‘yang kemarin-kemarin di mana?’, akhirnya kami menunjuk toko yang sering melayani [pengadaan seragam],” imbuhnya.

Aris juga menegaskan, bahwa terkait pembelian seragam di POT bersifat tidak wajib. Artinya, dapat tidak memesan, bisa beli di tempat lain, bahkan sekolah juga memperbolehkan siswanya memakai seragam kakak tingkat yang sudah lulus.

Namun, karena isu penyekapan ini kadung menyebar dan pihaknya telah dijadikan terlapor, Aris memastikan bahwa dirinya bakal tetap mengikuti prosedur hukum yang berlaku.

“Kita ikuti alurnya saja,” ujar Aris.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Praktik Jual Beli Seragam di DIY Capai 10 Miliar Lebih, Sultan Tegaskan Larang Lakukan Pungutan

Exit mobile version