MOJOK.CO – Kedutan yang terjadi di mata seringkali tak diperhatikan. Padahal kondisi tersebut bisa menjadi awal dari gangguan saraf Hemifacial Spasm (wajah merot). Bila tidak ditangani secara dini bisa menurunkan kualitas hidup penderita secara berkelanjutan.
Wajah merot pada penderita wajah perot dikarenakan terjadi perlengketan antara saraf nomor tujuh yang berfungsi mengatur gerakan wajah dengan pembuluh darah pada otak. Akibatnya gerakan pada wajah menjadi tidak terkendali, wajah pasien menjadi merot.
“Kedutan yang semakin sering, menyebabkan otot-otot wajah menjadi tegang atau spasme. Keadaan ini sering dikenal dengan istilah Hemifacial Spasm karena pembuluh darah yang lengket dengan saraf ketujuh dari dua belas saraf,” ungkap dokter ahli bedah saraf tergabung dalam Kortex Physician Network, Dian Prasetyo disela live surgery Hemifacial Spasm di JIH, Sabtu, (03/12/2022).
Berdasarkan data Kortex Brain Spine, kasus muka perot dan saraf lain sudah ditemukan pada 4.825 orang di Indonesia. Dari angka tersebut, baru sekitar 1.425 kasus yang mendapatkan tindakan operasi.
Di Jawa Tengah (jateng) misalnya, dari kurun waktu 2017-2022, angka pasien muka perot mencapai 867 kasus. Sedangkan di DKI Jakarta sebanyak 966 kasus. Sementara di DIY belum ditemukan data riil dari kasus tersebut meski diperkirakan juga cukup tinggi.
Angka ini diperkirakan jauh lebih besar dari yang ada saat ini dan bahkan menjadi fenomena gunung es bila dibiarkan. Sebab kesadaran untuk memeriksakan gangguan saraf tersebut masih minim di masyarakat.
“Kasus muka perot yang disebabkan pembuluh darah yang menekan atau melekat pada saraf ketujuh ini bisa menimpa siapa saja dengan rentang usia yang beragam, namun kasus lebih tinggi terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki,” ungkapnya.
Dian menambahkan, selain menurunkan kualitas hidup, gangguan saraf yang tidak diketahui penyebabnya tersebut bisa menimbulkan rasa yang tidak nyaman. Oleh karena itu perlu ditangani sejak dini agar tidak merembet ke saraf lainnya.
“Masyarakat perlu diedukasi agar bisa sejak dini memeriksakan indikasi muka perot ini,” jelasnya.
Sementara dokter ahli saraf lainnya, Rachmat Andi Hartanto mengungkapkan untuk memulihkan gerakan wajah normal kembali, operasi di area batang otak Herlina perlu dilakukan. Operasi menggunakan proses medis microvascular decompression (MVD) dengan teknik operasi lubang kunci atau keyhole surgery.
“Operasi dilakukan dengan bantuan mikroskop khusus dan alat-alat monitoring di kamar operasi,” ungkapnya.
Rachmat menambahkan, tindakan operasi sebenarnya cukup mudah dan hanya membutuhkan waktu sekitar 70 menit. Hal ini akan memperpendek waktu rawat inap di rumah sakit.
Dengan demikian, dalam proses operasi saraf ini tidak diperlukan lagi melakukan pembukaan batok kepala. Dokter cukup membuat lubang kecil diameter satu sentimeter di belakang telinga pasien.
Melalui lubang kecil seukuran lubang kunci inilah, dokter bisa memisahkan saraf nomor tujuh dengan memasang serabut teflon agar tidak lengket dengan pembuluh darah. Operasi bedah saraf ini memiliki risiko sangat minim.
“Operasi ini bisa dilihat langsung oleh keluarga melalui layar televisi untuk menghilangkan kesan di masyarakat bahwa melakukan operasi saraf itu sangat berbahaya,” paparnya.
Salah seorang mantan pasien muka perot sekaligus ketua komunitas Brain and Spine, Lilih Dwi Priyanto menjelaskan, saat ini ada lebih dari 45 ribu anggota komunitas yang pernah mendapatkan perawatan saraf di Indonesia.
Komunitas ini terdiri dari mantan pasien Trigeminal Neuralgia (nyeri gigi dan separuh wajah), Hemifacial Spasm (wajah merot), Spondylosis Leher (saraf terjepit leher), Spondylosis Pinggang (saraf terjepit pinggang), tumor otak, stroke dan lainnya. Mereka saling memberikan dukungan bagi penderita.
“Jadi kami tidak hanya memberikan edukasi pentingnya penanganan gangguan saraf namun saling mendukung untuk open donasi bagi penderita gangguan saraf di indonesia,” imbuhnya.
Reporter: Yevsta Ayu
Editor: Purnawan Setyo Adi