MOJOK.CO – Pemerintah mulai mewujudkan ide mengganti PNS dengan teknologi AI. Beberapa layanan publik nantinya akan dikerjakan oleh robot. Imbasnya jumlah PNS akan berkurang.
Rencana pemerintah untuk mengganti pegawai negeri sipil (PNS) dengan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) perlahan mulai direalisasikan. Wacana ini sebetulnya sering dilontarkan oleh Presiden Jokowi. Ia mengatakan bahwa PNS Eselon III dan IV akan diganti dengan artificial intelligence untuk mempercepat birokrasi.
Satya Pratama, Kabiro Hubungan Masyarakat, Hukum Dan Kerja Sama Badan Kepegawaian Negara (BKN) dikutip dari Detik.com menjelaskan bahwa ke depannya pemerintah akan lebih banyak menggunakan teknologi digital dalam memberikan pelayanan kepada publik. Sehingga jumlah Jumlah PNS tidak akan gemuk dan akan dikurangi secara bertahap.
Pun dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Tjahjo Kumolo yang mengatakan bahwa adanya digitalisasi ini tak akan merugikan PNS yang ada. “Yang sudah ada dilatih untuk lebih profesional,” katanya, Selasa (30/11), dikutip dari IDXChannel.com.
Ihwal rencana ini, Mojok kemudian berbicang dengan Satria Aji Imawan, peneliti di Magister dan Doktor Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan (MDKIK) UGM. Menurutnya ada dua anggapan mengenai hal ini.
Pertama, ada yang melihat hal ini sebagai upaya untuk memberantas inefisiensi birokrasi. Karena selama ini birokrasi dianggap terlalu gemuk, tidak efisien, dan tidak efektif. Sehingga tidak sesuai dengan semangat zaman. Masyarakat kini juga menuntut agar pelayanan publik bisa lebih cepat. Pandangan ini melihat bahwa harus ada perubahan struktur dan cara main dalam birokrasi.
Kedua, ada yang beranggapan bahwa kalau manusia itu pakai rasa di dalam pelayanan publik sehingga terkadang lama karena membutuhkan intervensi empati dan simpati dalam pelayanan publik. Contohnya yang butuh pelayanan itu lansia otomatis pelayanan tersebut akan lebih lambat karena harus clear secara komunikasi karena harus mendirect seseorang yang sudah tidak prima dalam memahami pelayanan publik.
“Menggunakan AI dalam pelayanan publik itu feasible. Cuma yang harus ditekankan bukan mengganti tapi berkolaborasi dan transformasi,” tegas Aji, yang ditemui Mojok di Bulaksumur, Senin (29/11).
Karena menurutnya kalau bicara revolusi berarti mengganti secara langsung. Tapi kalau transformasi itu prosesnya pelan-pelan. Kalau revolusi nantinya akan ada problem tenaga kerja. Ada banyak orang yang mungkin sudah merasa nyaman selama bertahun-tahun tiba-tiba harus bekerja di luar struktur atau fungsional. Ini yang harus dipikirkan, kalau tidak kita akan punya problem unemployment di umur produktif.
“Sebetulnya tidak perlu konteks pandemi dan pembatasan sosial, kita pasti akan mengarah ke sana (digitalisasi pelayanan publik). Hanya wacana yang digulirkan bukan ‘mengganti’ tapi pelan-pelan akan bertransformasi,” ucapnya.
Jika AI digunakan dalam pelayanan publik menurut Aji jelas ada sisi positifnya. Tingkat kepuasan masyarakat akan lebih optimal. Namun, ini hanya untuk layanan tertentu. Semisal pembuatan KTP, paspor, termasuk pengurusan pajak kendaraan, yang sifatnya bisa digantikan oleh AI.
Kecerdasan buatan akan mampu membuat prediksi-prediksi pola dan tren yang orang biasa inginkan dalam pelayanan publik. Ketika orang meminta sesuatu itu sudah ada respon dari AI tersebut. Respon ini cepat karena berdasarkan algoritma.
Tetapi untuk bidang pendidikan dan kesehatan yang masih membutuhkan ‘rasa’ itu agak sulit. Karena hubungannya langsung kepada kesejahteraan masyarakat.
“Secara menyeluruh narasi ‘mengganti’ itu jangan terus didengungkan karena ini akan mengancam orang. Tangkapan yang diterima itu ancaman, otoriter, dan bikin khawatir,” pungkas Aji.
BACA JUGA Bens Leo Tutup Usia, Ia Dikenal Sebagai Pengamat dan Jurnalis Musik dan kabar terbaru lainnya di KILAS.