Jembatan Kewek, Jembatan Ikonik Tempat Mural Kritis Dibungkam

Jembatan Kewek, Jembatan Ikonik Tempat Mural Kritis Dibungkam MOJOK.CO

Jembatan Kewek, Jembatan Ikonik Tempat Mural Kritis Dibungkam (Wikipedia)

MOJOK.COJembatan Kewek salah satu jembatan ikonik di Jogja. Selain letaknya yang berada di pusat kota, Jembatan Kewek kerap menjadi tempat mural-mural kritis. 

Warga Jogja yang tinggal di pusat kota pasti pernah melewati jembatan yang satu ini. Jembatan Kewek meliputi jembatan kereta api dan jembatan jalan raya yang menghubungkan kawasan Kotabaru dan Malioboro. Kedua jembatan itu merupakan peninggalan Belanda yang sudah berusia ratusan tahun.

Jembatan Kewek yang terletak di dekat pusat Kota Jogja itu sering menyita perhatian. Di salah satu sisinya menjadi tempat menyuarakan suara dalam bentuk mural. Sudah berkali-kali dinding kosong antara jembatan kereta api dan jembatan jalan raya itu menjadi tempat mural dengan berbagai pesan kritis.

Mural-mural kian menyita perhatian setelah masuk pemberitaan karena dihapus oleh Satpol PP. Pada 2021 misalnya, Satpol PP menghapus grafiti karya pemuda yang menamakan dirinya Bamsuck. Grafiti bertuliskan “Dibungkam dan Stop Represi” itu dibuat sebagai bentuk ekspresi kegelisahan dirinya. Belum genap 24 jam, mural itu sudah tidak ada lagi.

Geram, Bamsuck kemudian membuat grafiti lagi yang bertuliskan “Bangkit Melawan atau Tunduk Ditindas!” Dinding di dekat jembatan Kewek selama ini memang terkenal menjadi media seniman jalanan tau street art. Ia tidak memahami kenapa Satpol PP menghapus karyanya.  

Bukan kali pertama, penghapusan mural juga sempat ramai pada 2014. Mural itu bertulisan “Jogja Asat”. Mural itu sebagai bentuk kegelisahan seniman atas sumur-sumur warga yang keruing karena pembangunan hotel. 

Jembatan Kewek memang tempat strategis untuk menyampaikan mural dengan pesan-pesan kritis karena tiap harinya banyak kendaraan melintas. Jembatan ini menjadi akses paling dekat dari kawasan Kotabaru ke Malioboro. Adapun cikal bakal pembangunan jembatan ini pada era Belanda memang untuk memudahkan akses ke Malioboro dari Kotabaru. Pada saat itu memang sudah ada Jembatan Gowongan, tetapi jalannya terlalu memutar.

Sejarah Jembatan Kewek

Sebenarnya, sebutan Jembatan Kewek merujuk pada jembatan jalan raya yang menghubungkan kawasan Kotabaru dan Malioboro dan jembatan kereta api yang berada di atasnya. Keduanya sama-sama ada sejak zaman Belanda.

Jembatan kereta api itu sudah ada sejak pembangunannya  jaringan rel kereta api dan Stasiun Lempuyangan  pada 1872. Jembatan itu dibangun oleh Nederlands-Indische Spoorwegmaatshappelijk (NIS). Sementara, jembatan untuk jalan raya yang menghubungkan Kawasan Kotabaru hingga Malioboro sudah ada sejak 1924.

Nama Kewek berasal dari Bahasa Belanda “Kerk Weg” artinya jalan menuju gereja. Namun, nama itu mengalami penyesuaian karena orang Indonesia pengucapannya yang sulit. Akhirnya, jembatan ini lebih terkenal dengan sebutan Jembatan Kewek.

Kehadiran jembatan jalan raya Kewek tidak lepas dari pengembangan kawasan Kotabaru pada sekitar 1920. Pemerintah Belanda membuat jembatan untuk mempermudah akses dari Kotabaru menuju Malioboro. Asal tahu saja, pada saat itu akses ke Malioboro baru ada jembatan Gondolayu. Melewati jembatan ini lebih jauh.

Akhirnya sebuah jembatan dibuat melintasi di bawah jembatan kereta api dibangun. Jembatan dari kota baru itu melintasi bawa jembatan kemudian berbelok ke barat hingga sampai ke Malioboro. Jembatan itu dibangun di bawah jalur kereta api agar tidak menimbulkan kemacetan atau penumpukan kendaraan akibat perlintasan kereta api.

Sebenarnya jalan tersebut bernama Jalan Abu Bakar Ali saat ini. Penamaan itu berasal nama pahlawan yang gugur dalam pertempuran Kotabaru pada 1949. Walau sudah berubah menjadi Jalan Abu Bakar Ali, masih banyak masyarakat yang menyebutnya sebagai Jembatan Kewek hingga saat ini.

Adapun jembatan itu menjadi bagian inti dari kawasan pusaka Kotabaru. Keputusan itu tertuang dalam Keputusan Gubernur DIY No 186/KEP/2011 tanggal 15 Agustus 2011 tentang Penetapan Kawasan Cagar Budaya. Jembatan itu sekaligus menjadi menjadi batas antara Kemantren Jetis, Gondokusuman, dan Danurejan.

Penulis: Kenia Intan
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Sejarah Jalan Kaliurang, Jalan Terpadat di Jogja yang Semakin Menyebalkan
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version