MOJOK.CO – Ratusan penambang pasir Sungai Progo yang tergabung dalam Kelompok Penambang Progo (KPP) berunjukrasa di kantor DPRD DIY di Jalan Malioboro, Rabu (09/11/2022). Mengendarai truk pasir yang mereka gunakan sehari-hari untuk menambang, mereka mengadukan nasibnya kepada wakil rakyat.
Ketua Kelompok Penambang Pasir (KPP), Yunianto disela aksi mengungkapkan, nasib mereka tak jelas saat ini. Sebab pemerintah lambat dalam menerbitkan izin usaha.
Puluhan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang mereka ajukan tak kunjung turun. Bahkan perizinan tersebut berhenti sejak tiga tahun terakhir.
“Bagaimana nasib warga Progo yang harus menambang untuk hidup sekarang tidak jelas karena izinnya mandeg. Kami yang warga bantaran Progo malah tidak bisa nambang, padahal kami yang bisa menjaga sungai ini,” paparnya.
Yunianto menyebutkan, warga tidak mengetahui di tingkat mana proses perizinan usaha IPR berhenti. Yang menyakitkan para penambang, mereka mengetahui adanya izin menambang perusahaan di luar DIY melalui Online Single Submission (OSS) di Sungai Progo.
Bahkan mereka melihat izin usaha yang didapat perusahaan terbit di lokasi yang menjadi tambang rakyat. Apalagi izin usaha tersebut didapat perusahaan dari luar DIY.
“Ini yang membuat kami sakit, mengurus izin sudah lama tidak turun-turun. Tahu-tahu lewat sistem OSS, pusat memberikan izin perusahaan dari luar kota yang malah tempatnya di lokasi tambang rakyat. Kami menambang bukan mau punya istri banyak atau beli mobil mewah, tapi untuk makan,” ungkapnya.
Untuk itu KPP meminta Pemda DIY segera mengatasi masalah yang mereka hadapi. Sebab sampai saat ini tidak ada kejelasan yang mereka peroleh.
Warga juga meminta DPRD DIY untuk mendesak pemerintah melakukan percepatan ijin tambang warga. Alih-alih tak dapat atensi, para penambang berharap ada pembinaan penambang warga di Progo dari pihak-pihak terkait.
“Kami berharap wakil rakyat kami mendengar dan merespon,” tandasnya.
Sementara Wakil Ketua DPRD DIY, Huda Tri Yudiana yang menerima pendemo mengatakan tidak mempermasalahkan adanya aktivitas penambangan. Sebab penambangan tidak hanya dibutuhkan masyarakat Yogyakarta namun juga digunakan pemerintah dalam proyek pembangunan infrastruktur.
“Karenanya jika ada izin yang berbelit-belit, saya termasuk yang minta izin bisa dilakukan percepatan. Jangan sampai mengantre di mana, lalu ngantre di mana lagi, itu tidak substansial,” paparnya.
Huda mengungkapkan, terbitnya UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 menjadi salah satu alasan lambatnya IPR. Kebijakan yang mengejutkan banyak pihak tersebut membuat IPR yang kecil disamaratakan dengan Wilayah Pertambangan (WP) perusahaan yang luasnya berhektar-hektar. Rakyat kecil harus bersaing dengan perusahaan besar untuk mendapatkan izin usaha menambang.
Pengurusan izin dari warga yang tak besar dimungkinkan akan kalah dari penambangan besar yang dilakukan perusahaan-perusahaan di Jakarta. Apalagi saat ini kewenangan daerah untuk mengatur perizinan usaha penambangan pun dicabut.
“Jadi ketika ditanya kenapa dua tahun izin tidak selesai, ini karena daerah tidak ada kewenangan. Pemda tidak boleh mengeluarkan izin,” ungkapnya.
Reporter: Yvesta Ayu
Editor: Purnawan Setyo Adi