Desakan untuk menolak Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (R-Permenkes) oleh Kemenkes tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik (di dalamnya ada aturan bungkus rokok polos) makin menguat. Desakan penolakan tidak hanya muncul dari suara-suara pelaku Industri Hasil Tembakau (IHT), melainkan juga beberapa kementerian.
Juru Bicara Komunitas Kretek, Khoirul Atfifudin (23) mengungkapkan, adanya desakan penolakan dari berbagai elemen, termasuk beberapa kementerian, menandakan ada cara pandang yang keliru dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
“Ketika ada beberapa kementerian seperti Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) ikut mengeluh soal R-Permenkes ini, berarti Kemenkes terkesan ingin berjalan sendiri,” ujar Khoirul dalam keterangan persnya.
“Bahkan, yang mengejutkan adalah Kemenperin sampai mengatakan bahwa mereka tidak diajak dan dilibatkan dalam R-Permenkes tersebut. Ini, kan, ngawur,” lanjutnya.
Kemenkes yang serampangan susun R-Permenkes
Melalui R-Permenkes, Kemenkes berusaha mengatur semuanya. Mulai dari aspek penyiaran, aspek perdagangan hingga aspek standarisasi kemasan. Khusus yang terakhir, penolakan tersebut semakin kencang.
Hal ini disebabkan standarisasi yang dimaksud adalah mengubah bungkus rokok menjadi kemasan atau bungkus polos (plain packaging) tidak diatur dalam UU ataupun PP. Seharusnya pejabat tidak boleh membuat aturan yang bertolak belakang dengan UU ataupun PP.
“R-Permenkes jatuhnya malah bikin norma baru. Kan nggak boleh seperti itu. Maka bisa dibilang pola pikir Menteri Kesehatan sangat kacau dalam merumuskan R-Permenkes ini,” tegas Khoirul.
Jika kemasan polos diberlakukan, Kemenkes tidak mempertimbangkan dampak dari iklim usaha. Potensi permintaan produk legal akan turun sebesar 42%.
Hal ini belum lagi ditambah dengan penerimaan negara yang berkurang sebesar Rp95,6 Triliun. Kemudian dampak kepada 1,22 juta yang bekerja di industri terkait. Dengan angka sebesar itu maka menjadi wajar apabila Kemenperin berteriak lantang menyuarakan penolakan terhadap R-Permenkes ini.
Risiko yang tak dihitung Kemenkes
“Kemenkes tampaknya juga hilang ingatan bahwa adanya bungkus rokok polos justru meningkatkan peredaran rokok ilegal. Buktinya tampak nyata di beberapa negara seperti Prancis, Kanada, dan bahkan tetangga kita, Thailand,” tambah Khoirul.
Pada 2023, peredaran rokok ilegal sudah mencapai angka 7%. Ketika harga rokok naik, bungkus polos diberlakukan, potensi peningkatan peredaran rokok ilegal cukup tinggi pada tahun depan dan seterusnya.
“Pertanyaannya, apakah Kemenkes memikirkan hal tersebut? Apakah Kemenkes tahu bahwa jika seluruh skenario dalam R-Permenkes diberlakukan, potensi penerimaan negara yang hilang mencapai Rp308 Triliun,” lanjut Khoirul.
Jika dampak ekonomi mencapai angka Rp308 Triliun, ini sama saja target pertumbuhan ekonomi tidak bisa mencapai 5%. Ketika angka pertumbuhan ekonomi benar-benar tidak mencapai target, Kemenkes ingin menenggelamkan perekonomian Indonesia di kerak yang paling dalam.
Oleh karena itu, suara-suara penolakan terhadap R-Permenkes harus terus dilantangkan. Tidak hanya penggiat IHT dan beberapa kementerian seperti Kemenperin, Kemendag, dan Kemenparekraf melainkan juga kelompok tani dan kelompok buruh.
“Kita mesti bersatu untuk menyuarakan penolakan terhadap R-Permenkes. Sebab, ada instansi yang ingin berusaha membenamkan Industri Hasil Tembakau ke jurang,” tandas Khoirul.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Hammam Izzuddin
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News