MOJOK.CO – Sekitar 44 ribu atau 90 persen koleksi Museum Sonobudoyo hingga saat ini belum terindentifikasi asal usul dan usianya. Padahal saat ini ada sekitar 63 ribu koleksi yang tersimpan di museum tersebut.
“Memang sampai saat ini ada lebih dari 90 persen koleksi kami yang belum diketahui asal usulnya, tertua dari jaman prasejarah,” ujar Kasie Koleksi, Konservasi dan Dokumentasi Museum Sonobudoyo, Ery Sustiyadi di sela Lokakarya Analisis Koleksi Menggunakan XRF di Museum Sonobudoyo Yogyakarta, Selasa (04/10/2022).
Sementara untuk mendatangkan ahli dalam mengidentifikasi koleksi bukan hal yang mudah. Karenanya museum tersebut mendatangkan teknologi x-ray flouresence dengan alat Elio untuk mengidentifikasi dan mengintepretasikan koleksi-koleksi yang dimiliki.
Selama ini identifikasi baru bisa dilakukan oleh arkeolog. Namun, prosesnya membutuhkan waktu yang lama sehingga identifikasi tidak bisa dilakukan secara optimal.
“Karenanya dengan teknologi x-ray flouresence bisa mempercepat dan memudahkan identifikasi asal-usul koleksi museum,” ujarnya.
Sementara Product Specialists XRF System, Alfred Wirasasmita menjelaskan, sistem x-ray untuk mengidentifikasi koleksi Museum Sonobudoyo didatangkan langsung dari Eropa. Alat seharga Rp5 Miliar itu digunakan untuk mengetahui unsur-unsur atom yang terdapat di dalam koleksi, seperti keris, arca, logam, tekstil, hingga manuskrip.
Selain material yang dianalisis, unsur-unsur tambahan seperti pewarna alam maupun warna-warna kimia yang terdapat koleksi juga bisa dideteksi. Penyebaran unsur atom secara kimia yang dihasilkan oleh alat tersebut bisa mengidentifikasi secara signifikan koleksi yang dimiliki Museum Sonobudoyo.
“Cara kerjanya menggunakan x-ray yang dipantulkan atau diarahkan ke koleksi dan ditangkap detector menggunakan spectrum. Dari spectrum itu muncul angka dan penyebaran unsurnya,” jelasnya.
Alfred menambahkan, penggunaan teknologi tersebut merupakan yang pertama di Indonesia karena memiliki tingkat keakuratan tinggi. Hasil kerja dari alat tersebut dapat muncul saat itu juga karena terkalibrasi dan dapat dipertanggungjawabkan.
Saat ini salah satu objek yang sudah diteliti dengan alat tersebut adalah koleksi keris dan topeng. Contohnya, keris milik Pangeran Diponegoro yang dikembalikan ke Indonesia.
“Namun, hal itu belum bisa dibuktikan keasliannya. Di koleksi museum yang ada kita ingin identifikasi dan diidentitaskan sehingga pada saat diduplikasi kita bisa mengetahui asli atau palsu,” paparnya.
Alfred menambahkan, alat tersebut nantinya bisa digunakan Museum Sonobudoyo untuk membantu museum lain dalam mengidentifikasi koleksinya. Sistem x-ray flouresence dengan alat Elio saat ini juga sudah digunakan di museum-museum besar negara Eropa.
“Kalau di dunia seperti Italia, Inggris, Jerman, Perancis dan terutama di Belanda sudah menggunakan alat ini,” jelasnya.
Kepala Museum Sonobudoyo Yogyakarta, Setyawan Sahli menambahkan, x-ray flouresence sebenarnya sudah mereka miliki sejak 2021 lalu. Alat tersebut sangat penting untuk mengetahui koleksi Museum Sonobudoyo yang memiliki ribuan koleksi belum teridentifikasi.
“Identifikasi ini termasuk cara yang aman untuk mengetahui komposisi satu elemen atau kedalaman satu koleksi. Alat ini non distruktif. Bisa untuk menambal koleksi yang sudah tergerus atau rusak. Lewat x-ray flouresence kan bisa mendeteksi komposisinya apa saja sehingga kalau kita perbaiki komposisinya sama dengan benda aslinya,” paparnya.
Sahli mengatakan, Museum Sonobudoyo memfasilitasi museum lain maupun pihak yang berkaitan dengan cagar budaya di Indonesia untuk belajar bersama dalam menggunakan teknologi tersebut. Sebab Museum Sonobudoyo sebagai salah satu lembaga pengelola koleksi, ruang interaksi, dan ruang rujukan riset bagi mahasiswa berupaya mengedepankan kajian-kajian mutakhir.
“Melalui kegiatan ini, diharapkan studi tentang koleksi dan museum semakin dilirik dan dikembangkan, serta dikolaborasikan dengan berbagai lini pengetahuan,” imbuhnya.
Reporter: Yvesta Ayu
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Empal Bu Warno, Pilihan Kuliner di Pasar Beringharjo