Namanya Ainun Jamilah. Sehari-hari, dia memakai baju gamis dengan cadar penutup di wajahnya. Tapi, bukan cadar hitam-hitam yang kini langsung muncul dalam bayangan kepala kalian.
Gamis Nun, begitu kita memanggilnya, berwarna-warni dengan aneka mode. Kain penutup wajahnya pun senada menyesuaikan warna pakaian yang dia kenakan.
Akun Instagram Nun tidak tipikal akun relijius yang hanya berisikan post teks agama dan kutipan bijak pemandu hidup yang ruwet. Nun hadir dan eksis sebagai manusia pribadi dan manusia sosial di akun personalnya. Tidak blur dan tidak tertutup emotikon.
Dengan cadarnya, Nun tampak berfoto bersama pohon natal, juga bersama Romo dan Suster di gereja. Minggu lalu, ketika bom meledak di gereja Katedral Makassar jelang paskah, Nun membawa bunga ke gereja dan tampak bekerja untuk membangun solidaritas bersama komunitas lintas iman untuk menggelar doa bersama.
Lebih menarik lagi, Nun menginisiasi gerakan @cadargarislucu. Dari spirit konten unggahan akun ini, tampak spirit yang diusung ialah untuk menyetop stigmatisasi cadar.
Seolah, member gerakan cadar garis lucu ingin berkata bahwa kami bukan pencadar yang ada dalam pikiran arus utama, atau stereotipe yang tergambarkan oleh media-media barat. Para pencadar dalam komunitas ini jauh dari kekerasan, bahkan tidak berbeda dari kalian semua.
Nun pernah mampir komentar di post Instagram saya. Dia menyebut dirinya sebagai pencadar yang berjuang di jalur kemanusiaan. Sebuah pernyataan yang sangat bertenaga.
Pencadar lain, @ashinpra bahkan menulis: “saya bercadar dan saya menolak ide-ide konservatif, diskriminasi dan segala bentuk opresi. Cadar saya adalah salah satu bentuk dobrakan stigma-stigma dan stereotypes orang-orang tentang cadar. Saya bercadar dan saya feminis.”
Nun dan gerbong cadar garis lucu ini saya sebut sebagai generasi cadar nusantara. Sebab, apa yang tidak mungkin membaur dengan menyenangkan di alam tradisi Indonesia ini?
Sejak dulu, Islam kita bersosialisasi dengan sawah, sungai, hutan, gunung, bukit dan lautan. Semua bentang alam itu melahirkan budaya komunal yang lekat tanpa mendiskriminasi gender tertentu.
Jika hari ini kawan-kawan melihat masih berseliweran foto pelaku bom bunuh diri dalam berita lalu menemukan perempuan bercadar sebagai pelaku tindak teror, saya ingin mengingatkan bahwa cadarnya tidak terkait dengan ideologi ekstrem dan kekerasan yang ada dalam kepalanya.
Saya punya banyak kawan bercadar seperti Nun. Pembaca buku-buku saya juga banyak kawan muslimah bercadar.
Beberapa tahun belakangan, ragam muslimah bercadar di Indonesia semakin menarik. Mungkin kawan-kawan tahu muslimah bercadar viral yang gemar memelihara anjing jalanan. Juga, muslimah bercadar yang datang ke konser musik metal.
Di Indonesia, beberapa tahun terakhir ini, muslimah bercadar tampil dengan cadar beragam warna. Saya menduga fenomena ini tentu terkait dengan industri fesyen kelas menengah muslim yang semakin subur.
Selain berbagai jenis “hijab” trendi yang membuat anak muda muslimah tertarik menjadi hijaber, ternyata pasar juga merepons selera keindahan para niqaber.
Pencadar di Indonesia bermain skate board, pergi naik gunung, dan travelling. Muslimah bercadar di Indonesia juga menjadi pengusaha, fotografer, dokter dan beragam pekerjaan lain.
Sebagaimana bentuk tradisi lain khas Indonesia, ternyata cadar di Indonesia pun menemukan ke-Indonesiaan-nya, setidaknya dengan keberaniannya untuk mendaulat diri sebagai cadar garis lucu.
Para muslimah bercadar ini bergaul seperti biasa, bicara dan tertawa bersama-sama dengan kawan setara. Terkadang, kalian bisa menemui ibu dengan cadar menjemput anaknya di sekolah PAUD.
Tentu saja ibu bercadar ini naik motor dengan mandiri dan tanpa suami. Ingat, di Indonesia tidak ada state law tentang male-guardianship. Di tempat lain, mungkin kalian akan bertemu ibu bercadar sedang memilih belanjaan di tukang sayur keliling bersama ibu lain di perumahan.
Banyak muslimah bercadar yang menolak ide konservatif perempuan di rumah saja atau larangan perempuan menjadi pemimpin. Bagi saya, diskusi ini memang sangat sangat menarik. Meskipun, masih banyak juga dominasi tema pengajian yang konservatif semacam itu dalam komunitas pencadar.
Tapi, sekali lagi, sudah semakin banyak diimbangi dengan diskursus yang lebih berperspektif pengalaman dan realitas sosial perempuan khas Indonesia.
Apapun pilihan pakaian perempuan, pikiran dan keputusan-keputusannya tak boleh terdiskriminasi. Apapun pilihan perempuan, ia mesti selalu berada dalam kesadaran progresif untuk memperjuangkan hak hidup yang paling asasi.
Sebagaimana saya percaya kerudung saya bisa jadi simbol pembebasan, saya juga selalu percaya cadar bisa jadi simbol pembebasan.
Sebab nilai pembebasan yang membuat perempuan bebas punya pilihan ada dalam kepala/pikiran perempuan, dan pikiran itu tidak bisa dibatasi oleh selembar kain di kepala atau selembar kain penutup wajah.
Kamu bisa baca kolom Kelas-Kalis lainnya di sini. Rutin diisi oleh Kalis Mardiasih, tayang saban hari Minggu.