Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Otomojok

Wimcycle yang Tidak Heboh dan Kenangan Nelangsa Masa ABG

Ivan Aji Kuntar oleh Ivan Aji Kuntar
28 November 2017
A A
sepeda-wimcycle-mojok.co

sepeda-wimcycle-mojok.co

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

[MOJOK.CO] “Di hadapan sepeda Family, Wimcycle masih bisa mengaku ‘heboh’, tapi tidak di hadapan Ninja, Satria, dan Vixion.”

Cerita ini dimulai pada sore hari sewaktu saya masih kelas 5 SD. Tanpa angin, hujan, maupun pengumuman di toa masjid terlebih dahulu, sehabis Asar Emak memanggil saya.

“Van, kamu mau sepeda baru nggak? Itu sepedamu yang sekarang sudah sering copot rantainya. Mandi sana, habis itu ke Toko Merdeka,” demikian kata Emak dalam bahasa Jawa.

Tanpa babibu, langsung saya mandi, ganti baju, dan berangkat ke Toko Merdeka dengan berboncengan motor sama Emak.

Sesampainya di sana, bingunglah saya mau pilih sepeda yang mana. Merek Polygon yang sekarang di-endorse Pak Jokowi dulu harganya paling mahal. Sedangkan sepeda China, murah-murah memang, tapi gear-nya gampang rusak. Akhirnya, karena keluarga saya keluarga moderat, saya memilih Wimcycle Vulcan merah yang harganya tengah-tengah. Tidak begitu mahal, tapi kualitasnya cukup baik untuk zaman itu. tidak ada pertimbangan lain karena yang memilih Emak. Soalnya dia yang bayar.

Begitulah awal perjumpaan saya dengan dia, sepeda yang biasa saja sebenarnya, punya roda cuma dua, rem tangan depan dan belakang, tingkat kecepatan 3 x 6, skok tengah yang bisa diputar untuk mengatur tingkat kelenturannya, jok asli yang sangat keras dan kemudian saya ganti, serta kemudian saya tambahkan aksesori selebor untuk menghalangi cipratan air dari ban depan dan belakang yang selebor lamanya sering patah karena tidak sengaja tertendan suatu kali.

Untuk menambah kejantanan si Merah, saya juga mengasih tanduk di kedua ujung setang. Tak ketinggalan pula stiker-stiker, yang kalau saya pikir sekarang kok tak jelas maksudnya, yang mungkin kelihatan keren bagi anak kecil saat itu.

Saat SD hingga SMP saya masih bangga menggunakan si Merah ini karena di Rembang, kota tinggal saya, masih banyak siswa-siswi yang bersepeda untuk pergi ke sekolah. Itulah masa ketika saya mengasah keahlian cul tangan alias naik sepeda lepas tangan. Saya masih ingat rekor pribadi itu: lepas tangan terjauh yakni dari SMP ke rumah sejauh 3 kilometer. Untung jalannya cuma lurus saja.

Masa bulan madu saya dan Wimcycle berganti dengan masa goyah bertepatan ketika saya masuk SMA. Di kota kecil ini, sudah lumrah bagi anak baru gede (ABG) untuk menuntut orang tuanya membelikan sepeda motor baru. Kalau tidak dibelikan, ancamannya mogok sekolah.

Inilah saat-saat banyak sales motor mempraktikkan strategi mereka yang bukan main: menjajakan selebaran motor kredit kepada lulusan SMP yang unyu-unyu. Saya, sebagai anak yang tahu diri, diam saja meski sebenarnya ya kepengin juga. Orang tua sendiri sepertinya kewalahan karena di adik saya juga masuk SMP dan butuh biaya untuk daftar ulang, uang gedung, SPP, beli bahan seragam, dan buku baru. Memang jer basuki mawa beya betul.

Di rumah saya memang ada motor, tetapi hanya satu dan untuk bapak ngantor. Dengan ikhlas saya memutuskan untuk ke sekolah dengan tetap menunggangi si Merah. Siapa tahu bertemu kawan bernasib sama.

Di awal-awal hari MOS (Masa Orientasi Siswa), ada beberapa kawan SMA yang naik sepeda, namun yang naik motor tentu banyak sekali. Apakah semuanya sudah punya SIM? Kenapa tidak ada tilangan polisi di hari pertama masuk sekolah ? Saya yakin di sini pasti ada konspirasi antara sales motor dan pak polisi, hahaha.

Dan konspirasi masih berlanjut. Di SMA saya tidak ada parkiran sepeda, adanya hanya parkir sepeda motor. Akhirnya terpaksa saya pakirkan si Merah berdampingan dengan motor-motor keren yang masih kinyis-kinyis. Pemandangan yang ironis.

Namun, rupanya penderitaan masih berlanjut. Saat sekolah mulai berjalan normal, tetiba banyak pengendara sepeda yang beralih ke angkot dan bus tanpa saya tahu apa sebabnya. Pelan-pelan populasi sepeda yang parkir di antara motor-motor baru itu berkurang hingga akhirnya hanya tiga yang tersisa: dua sepeda jengki biru dan si Merah.

Hari-hari di SMA dengan si Merah sungguh berat kalau dikenang. Yang pertama adalah medan rute ke sekolah. Meski berjarak hanya 2 kilometer, tapi banyak bagian naik turun dan karena harus lewat jalan pantura, jangan lupa sesekali menengok ke belakang. Bukan untuk melihat masa lalu, tapi melihat kalau ada kendaraan yang motong jalan atau menyalip dari kiri. Jika itu yang terjadi, si Merah harus siap-siap buat ngebut.

Iklan

Kedua, mental. Rute saya saat SMA berbarengan dengan siswa SD dan SMP. Jadi, saya harus bersiap tiap pagi menjadi tontonan mereka.

Ketiga, status. Namanya juga anak ABG, SMA pula, inilah periode saya tertarik dengan lawan jenis. Dan konon, punya motor cowok seperti Vixion, Ninja, atau Satria akan lebih memudahkan menggaet cewek, sedangkan yang memakai Supra X atau Vega harus berjuang lebih keras. Untuk yang naik sepeda? Tidak usah ditanya, saya bahkan sudah ikhlas. Apalagi ketika guru saya sampai ngomong begini di depan kelas,

“Masa-masa SMA itu menyenangkan buat para cowok. Sudah seharusnya bisalah (punya pacar), apalagi zaman sekarang ini banyak ceweknya. Di kelas ini aja cowoknya cuma sepuluh, si SN (bukan nama sebenarnya) udah bisa dapat cewek. Lha kamu, Van, jangankan pacar, jadi tukang ojek saja nggak bisa.”

Sungguh terpaku nan terpukau saya mendengar kata-kata guru itu, yang diiringi dengan keriuhan tawa teman-teman sekelas. Saya tahu itu cuma bercanda, guru tersebut pun sering berpapasan dengan saya waktu pulang sekolah karena satu rute. Saya tak merasa dipermalukan atau sejenisnya. Saya cuma baru sadar kalau saya ini mengenaskan.

Sebenarnya, ada banyak kisah-kisah lain yang bahagia, sedikit bahagia, nggak bahagia, bahkan tragis dan memilukan dengan si Merah ini, tapi tak mungkin saya utarakan semua karena nanti malah jadi novel. Yang jelas, kini saya sudah putus dengan si Merah. Ia dijual oleh Emak di awal saya kuliah tanpa sepengetahuan saya. Inilah bagian yang sebenar-benarnya tragis.

Terakhir diperbarui pada 28 November 2017 oleh

Tags: abgkenanganreviewsepedasepeda motorwimcycle vulcan
Ivan Aji Kuntar

Ivan Aji Kuntar

Artikel Terkait

Naik Sepeda Jogja Lamongan demi Menunaikan Rindu pada Ibu MOJOK.CO
Esai

Menuntaskan 640 Kilometer Jogja Lamongan Bersepeda demi Ziarah Batin dan Menunaikan Rindu pada Ibu

12 September 2025
Rasanya Ditipu Suami Naik Sepeda Lewat Jalur Biadab MOJOK.CO
Esai

Rasanya Ditipu Berkali-kali sama Suami Saat Naik Sepeda Jarak Jauh, Menempuh 55 Kilometer via Jalur Biadab Menuju Waduk Sermo

18 Juli 2025
Keluh Kesah Jadi Pesepeda di Cilacap. MOJOK.CO
Kilas

Keluh Kesah Jadi Pesepeda di Cilacap

11 Juni 2023
Tips Berkendara Sepeda Motor Saat Musim Pancaroba. MOJOK.CO
Kilas

Tips Berkendara Sepeda Motor Saat Musim Pancaroba

1 Juni 2023
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Gowes Ke-Bike-An Maybank Indonesia Mojok.co

Maybank Indonesia Perkuat Komitmen Keberlanjutan Lewat Program Gowes Ke-BIKE-an

29 November 2025
Para penyandang disabilitas jebolan SLB punya kesempatan kerja setara sebagai karyawan Alfamart berkat Alfability Menyapa MOJOK.CO

Disabilitas Jebolan SLB Bisa Kerja Setara di Alfamart, Merasa Diterima dan Dihargai Potensinya

2 Desember 2025
Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.