Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Otomojok

Mengendarai Honda Grand 1997 dengan Jiwa Harakiri

Halim Ramdani oleh Halim Ramdani
6 Februari 2018
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

[MOJOK.CO] “Diperlukan jiwa harakiri untuk bisa mengendarai Honda Grand saya ini.”

Keakraban saya dengan si Honda  Grand 1997 dimulai pada tahun 2014, ketika masih menjadi mahasiwa-aktivis-unyu-lusuh, pun kere.

Honda Grand warna hitam yang dibeli cuma 2 juta rupiah oleh almarhum simbah memang bukan diperuntukan buat gaya-gayaan oleh seorang mahasiswa untuk menaikan gengsi. Blas enggak cocok.

Saat itu, entah siapa yang menjadi pembisik, penghasut, dan penjerumus, yang sakses membujuk almarhum simbah membeli motor reot, mangkrak, kusam, dan tak pernah dipakai itu. Apalagi setelah mendengar pilunya kisah masa lalu dan proses jual-beli Honda Grand lehendaris ini.

Banderol awal Honda Grand ini adalah 2,5 juta rupiah. Surat-surat, STNK dan BPKB, lengkap. Namun, di tengah proses negosiasi yang embuh itu, almarhum simbang tiba-tiba dicukupkan membayar 2 juta euro, eh rupiah, saja. Emangnya transaksi pemain sepak bola pakai mata uang euro.

Kenapa banderol motor itu turun 500 ribu rupiah? Konon, kata penjualannya, BPKB ketinggalan di rumah si penjual. Jika nanti BPKB sudah diantarkan, maka sisa 500 ribu rupiah baru dibayarkan.

Namun, nampaknya, rumah penjual ada di Gurun Gobi sana. Sudah tiga tahun, sekai lagi: tiga tahun, BPKB tak kunjung diantarkan. Si Honda Grand dan saya sudah berkelana selama tiga tahun tanpa kejelasan, tanpa status kepemilikan. Pedihnya digantung. Pun hanya ada selembar STNK yang saya kantongi. Itupun dengan status pajak sudah habis. Tembeleq!

Mengendarai motor bodong terasa seperti warga ilegal yang tidak diakui negara sendiri. Konsekuensinya, mata ini harus jeli melihat sudut-sudut jalan, waspada akan kehadiran polisi lalu-lintas yang tiba-tiba bisa njedul tanpa peringatan. Apalagi kalau ada cegatan di tikungan jalan yang tak tertangkap oleh panca indera.

Usut punya usut, ternyata sang penjual sudah mendekam di dalam penjara dengan tuduhan penipuan. Mungkin dipenjara di Gurun Gobi tadi sampai tiada kabar terdengar. Nahas memang nasib saya, mengendarai motor dengan bekas kejahatan. Penuh drama. Apa boleh bikin, saya hanya bisa pasrah dan berserah diri kepada Allah.

Saya sendiri tak menyesal mengendarai Honda Grand ini. Meski mengendarai sepeda motor bodong, saya tetap bahagia. Uhuk. Saya anggap ini sebagai batu loncatan menuju tangga kesuksesan.

Pertama, sukses akademik karena menjadi alat perjuangan beraktivitas selama perkuliahan. Kedua, sukses dalam karier aktivis dan menjadi oli pergerakan mahasiswa. Ketiga, sukses dalam asmara dengan harapan mendapat pacar yang bisa diajak boncengan keliling kota pas sore-sore. Syahdu, ndess!

Namun, harapan dan rasa bahagia itu perlahan memudar seiring si motor yang kehilangan “jiwa kemotorannya”.

Kata orang-orang bengkel, Honda Grand saya ini termasuk motor yang canggih pada masanya. Motor ini sudah menawarkan transmisi 4 gigi ketika sepeda motor bebek Honda lainnya masih mengandalkan 3 transmisi.

Maka tidak heran, melihat kualitas “pada masanya”, Honda Grand ini disebut-sebut termasuk sepeda motor yang bandel. Mesinnya awet, suspensinya empuk, dan ditunjang body yang ramping. Sudah pasti bakal lincah dan gesit di jalanan. Namun, penilaian itu tidak berlaku bagi Honda Grand milik saya ini.

Iklan

Jadi, pemilik terdahulu ini membuat si Honda Grand ini menjadi kelewat bandel. Nampaknya, mereka berdua sudah menghabiskan masa muda yang kelewat batas, di jalanan yang keras. Astagfirulah!

Ya hasilnya gini. Seperti orang tua sakit-sakitan. Suspensi depan bengkok, mesin merembes, shock breaker belakang pecah, lampu-lampu mati semua. Alhasil, ketika mengendarai motor ini, saya harus menyiapkan mental Harakiri.

Perasaan ingin ganti motor tentu meletup-letup. Namun, mengingat kisah dan drama yang mengiringi, maka saya bertekad untuk merestorasi Honda Grand saya ini.

Langkah ini saya lalukan bertahap. Mulai dari turun mesin, mengganti suspensi, hingga memasang kelistrikan. Modal yang saya keluarkan, jika dihitung-hitung, sudah sepadan dengan harga motornya sendiri.

Alhamdulillah. Sekarang si Honda Grand sudah lebih ramah terhadap manusia.

Proses restorasi saya sesuaikan dengan kondisi pabrikan semula. Suspensinya menjadi empuk, punya tenaga yang mayan mantep walau cuma dengan kapasitas mesin 100 cc.

Terbukti, si Honda Grand cukup percaya dirinya saya bawa menyalip truk di tanjakan Nagreg dengan membawa beban 2 orang yang masing-masing memiliki berat badan 50 kiloan, walaupun dengan kondisi padat merayap. Sedangkan di jalan lurus, performa si Honda Grand jangan dipandang sebelah mata. Tarikan gasnya masih sedaaap untuk dinikmati.

Jika dilihat dari konsumsi bensin, motor saya jelas sangat irit. Bahkan saya sering lupa untuk isi bensin. Motor yang sadar peribahasa: irit pangkal kaya raya, lur!

Jika isi bensin 10 ribu rupiah saja, saya bisa menggeber motor ini selama 3 hari dengan pemakaian kurang lebih 12 km per hari. Sedikit tips supaya si Honda Grand ini tetap sehat, kata mamang bengkel, jangan sampai telat ganti oli. Namanya juga motor tua. Yang tua-tua biasanya butuh asupan minya ikan dan Entrasol Gold, biar terus (cik) Prima.

Walaupun dengan kondisi yang sudah lebih baik, namun tidak lantas hati ini nyaman. Ingat, tiada BPKB dan STNK mati membuat hati ini selalu semelang, harus selalu mencari cara agar tidak kena tilang. Terakhir kena tilang sekitar satu tahun yang lalu ketika saya dalam perjalanan hendak mengisi kajian mahasiswa. Beruntung, dengan diplomasi ala aktivis, hanya STNK saja yang digaruk polisi.

Si Honda Grand memang teman perjuangan yang cocok mengantarkan saya menjadi sarjana. Tapi sayang, tiada sangat cocok untuk mencari calon istri idaman.

Terakhir diperbarui pada 6 Februari 2018 oleh

Tags: AktivisHarakirihondaHonda Grandotomojokperjuangansarjana
Halim Ramdani

Halim Ramdani

Artikel Terkait

Adik rela berkorban memupus mimpi kuliah dan jadi sarjana PTN gara-gara kakak sendiri MOJOK.CO
Ragam

Wong Liyo Ngerti Opo: Adik Korbankan Mimpi Kuliah PTN, Biar Kakak Saja yang Jadi Sarjana sementara Adik Urus Orang Tua

25 November 2025
Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) nyaris drop out usai ibu tiada. MOJOK.CO
Kampus

Kisah Wisudawan UNJ Nyaris Drop Out Kuliah karena Fakta Mengejutkan dari Sang Ayah soal Ibu yang Sudah Tiada

3 November 2025
Kisah mahassiwa beasiswa KIP Kuliah Aliya Eka Lestiyanti, ibu meninggal kala ia masih berjuang, sampai akhirnya jadi harapan keluarga usai jadi sarjana cumlaude MOJOK.CO
Kampus

Ibu Meninggal kala Saya Masih Berjuang, Jadi Titik Terendah Hidup tapi Bangkit demi Jadi Sarjana Pertama Keluarga

3 November 2025
Megapro, Motor Honda Paling Mengenaskan Sepanjang Sejarah
Otomojok

Megapro Adalah Motor Honda yang Nasibnya Paling Mengenaskan: Kisah Sang Legenda Dipaksa Mati demi Adik yang Nggak Lebih Baik

3 November 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
Gowes Ke-Bike-An Maybank Indonesia Mojok.co

Maybank Indonesia Perkuat Komitmen Keberlanjutan Lewat Program Gowes Ke-BIKE-an

29 November 2025
S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.