MOJOK.CO – Sekjen PSI ajak masyarakat untuk bergabung dalam barisan nasional tolak figur populis menuju Pemilu 2024. Siapa? Haya tentu saja Anies Baswedan.
Sebagai partai politik yang digawangi banyak anak muda progresif, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) memang tidak henti-hentinya jadi sorotan. Sikap kader dan partai politik mereka yang terkenal konsisten untuk tidak konsisten itu harus diakui selalu menarik untuk ditunggu dan dikomentari.
Mulai dari inkonsisten dalam kasus menolak atau mendukung Perda Syariah, lalu komitmen dalam menolak politik dinasti, hingga yang terbaru ajakan untuk mengadang figur populis dalam Pemilu 2024 mendatang.
Sungguh partai politik yang visioner. Belum genap setahun pemilu 2019 dilaksanakan, mereka sudah ancang-ancang mengadang lawan di pemilu selanjutnya.
Kalau diibaratkan, ini kayak Sergio Ramos yang udah nyiapin rencana buat nekel Mohamed Salah di Piala Dunia edisi selanjutnya. Padahal, Spanyol dan Mesir juga belum tentu bisa ketemu. Jangankan ketemu, ikut Piala Dunia aja belum tentu.
Lagian, sehebat dan seberbahaya apa sih figur populis yang PSI maksud? Hingga mereka merasa perlu untuk membendung jauh-jauh hari? Kayak nggak ada kerjaan lain aja.
Sekretaris Jenderal PSI, Raja Juli Antoni secara blak-blakan menyatakan hendak membendung Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan maju dalam pemilihan calon presiden 2024 mendatang.
Raja Juli menjelaskan bahwa PSI tidak ingin sosok yang sering membawa isu primordial dan retorika keagamaan kelak menjadi pemimpin Indonesia.
Pernyataan ini keluar menyusul dengan adanya hasil survei Indo Barometer yang menempatkan Anies Baswedan sebagai salah satu calon presiden terkuat, hanya berada di bawah Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto.
Barangkali, teman-teman PSI melihat hasil survei ini sebagai ancaman. Anies Baswedan dipandang PSI sebagai simbol populisme.
Karenanya, “Saya ingin mengajak kepada teman-teman partai maupun masyarakat yang masih pro terhadap nasionalisme, saya kira harus ada barisan nasional yang secara serius mengadang figur yang fokus pada isu populisme ini,” ujar Raja Juli.
Melihat rekam jejak PSI yang lolos ke Senayan saja belum, saya rasa rencana adangan ini terlalu berlebihan dan—bahkan—cenderung kontra-produktif.
Mengapa?
Pertama, tentu saja karena kinerja Gubernur Anies Baswedan pun belum moncer-moncer amat di Jakarta.
Hasil survei Indo Barometer pun menunjukkan bahwa menurunnya elektabilitas Anies Baswedan ini terjadi karena blio dianggap belum berhasil mengatasi masalah banjir dan macet Ibukota. Padahal, kedua masalah inilah yang bakal paling disorot kalau kamu menjabat sebagai seorang Gubernur Jakarta.
Bahkan dibandingkan pendahulunya, hanya sedikit prestasi-prestasi Anies Baswedan yang lebih unggul. Ini bukan cuma saya yang ngomong begitu, Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetyo Edi Marsudi, saja sampai mengeluhkan kinerja Anies. Wabilkhusus soal penanganan dan antisipasi banjir yang melanda Jakarta.
“Sekarang kampung per kampung yang ada semua udah aspal bagus, tetapi gorong-gorong ini mana? Pasukan PPSU mana? Pasukan biru? Udah nggak ada. Dikurang-kurangin terus tiap tahun. Itu yang sangat saya sesalkan pada Pak Anies,” kata Prasetyo.
Ini belum dengan telanjurnya pemugaran kawasan Monas yang jebul belum ada izinnya, sampai dugaan pemalsuan izin dari Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) yang diakui pihak Pemkot DKI cuma salah ketik.
(((CUMA SALAH KETIK)))
Dari segitu krusial masalah-masalah Anies Baswedan, apa perlu PSI beserta kawan-kawan nasionalis-nya sampai melakukan pengadangan kayak gitu sejak dari sekarang?
Kedua, kalau pun memang PSI meyakini bahwa populisme digerakkan oleh dorongan emosional—bukan rasional—kenapa situ justru menabuh genderang perang melawan mereka?
Menempatkan “kami” yang nasionalis, melawan “mereka” yang populis agamis-primordial cuma bakal bikin tembok yang memisahkan kalian makin tinggi menembus langit. Kenapa tidak coba dirangkul sedari sekarang tapi malah dimusuhi dari sekarang? Bukankah seribu sahabat terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak, Bro and Sis?
Populisme atau narasi “us” vs “them” itu nggak melulu membutuhkan munculnya tokoh kharismatik atau pun pengaruh ideologi tertentu. Pengalaman pada pilkada 2017 dan pemilu 2019 harusnya udah cukup memberi kita pelajaran bahwa narasi “yang penting bukan si Anu, yang penting bukan si Itu” juga bisa bikin masyarakat kita terpolarisasi.
Bahasa keren dan ilmiahnya: negative partisanship.
Menurut Alan Abramowitz, salah seorang profesor Ilmu Politik di Universitas Emory, negative partisanship ini merujuk pada perilaku mendukung/memilih yang berlandaskan pada ketakutan atas hal buruk yang akan terjadi jika oposisi menang, bukan berdasarkan hal baik apa yang kubu/pihak mereka tawarkan.
Dalam kalimat yang lebih familiar: memilih yang paling sedikit mudaratnya.
Namun sayang, masyarakat kita tidak pernah berhenti pada titik “memilih yang paling sedikit mudaratnya”. Entah kenapa dorongan untuk menjelek-jelekkan pihak lawan seolah selalu berjalan beriringan dengan tidak ada atau kurangnya nilai baik pada calon yang didukungnya sendiri.
Akhirnya, narasi “yang penting bukan dia, nggak peduli calon saya kurang kompeten” pun langgeng dalam dinamika politik kita belakangan.
Hal ini bahkan tercermin melalui pernyataan Raja Juli Antoni lainnya, “Saya kira dari kubu Pak Jokowi harus bisa mendorong tokoh-tokoh ini (Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, Risma, dll.) sekaligus untuk melakukan delegitimasi terhadap Pak Anies yang memang kerap menggunakan isu-isu populisme ini”.
Duh, piyé toh, pengen mengadang politisi yang doyan mainan isu populisme, tapi caranya pake menghimpun partai dan masyarakat—yang pro-nasionalis—buat mengadang, bahkan mendelegitimasi lawan politiknya?
Gimana nggak makin solid dan militan itu pendukung Anies Baswedan denger pernyataan dan seruan semacam itu?
Harusnya PSI dan kawan-kawan (yang ngerasa paling) nasionalis-nya ini paham, negative partisanship inilah yang justru berkontribusi besar pada polarisasi masyarakat dan kuatnya populisme agamis-primordial yang (katanya) hendak mereka lawan.
Kecuali, “Bro” dan “Sis” PSI ini bukan hendak melawan populisme, melainkan sama-sama memanfaatkan populisme, hanya dengan “kemasan” yang lain bernama nasionalisme.
Oh, iya, dukungan untuk tokoh populis Gibran Rakabuming Raka di bursa cawalkot Solo gimana nih? Masih lanjut kaaan?
BACA JUGA 5 Alasan Anies Baswedan adalah Seorang Intelektual Visioner atau tulisan Fachrial Kautsar lainnya.