Sudah tiga kali saya membaca buku Filep Karma, Seakan Kitorang Setengah Binatang. Buku yang menceritakan ketidakadilan di tanah Papua dan perlakuan keji aparat penegak hukum kepada warga Papua, seakan-akan mereka bukan sepenuhnya manusia. Jauh-jauh hari saya membantah apa yang ditulis Filep Karma, dan kejadian di Kampung Oneibo baru-baru ini menguatkan bantahan saya.
Tidak, Filep Karma. Sama sekali tidak. Perlakuan yang kalian terima bukan perlakuan untuk setengah manusia setengah binatang. Sekali lagi tidak, Filep. Apa yang kalian terima itu murni perlakuan terhadap binatang.
1 Agustus 2017, warga Kampung Oneibo memprotes PT Putra Dewa Paniai (PDP) yang mengabaikan permintaan mereka meminjam kendaraan milik perusahaan untuk mengantar salah seorang warga yang kritis karena tenggelam di sungai. Korban akhirnya meninggal dunia setibanya di rumah sakit. Warga marah, bentrok antara warga dan pegawai perusahaan terjadi.
Aparat kepolisian, sebagai pihak paling berwenang dalam menjaga keamanan dan ketenteraman datang menenangkan suasana. Caranya sungguh sangat elegan dan berwibawa: menembaki warga yang protes dengan peluru tajam. Empat orang luka-luka dan satu orang meninggal dunia.
30 Agustus 2017, sembilan anggota kepolisian yang terlibat penembakan di Kampung Oneibo, Kabupaten Deiyai, menjalani sidang etik. Hasilnya: lima orang dinyatakan tidak bersalah, empat lainnya dinyatakan bersalah dengan sanksi dipindahtugaskan dan diwajibkan untuk minta maaf.
Lawakan macam apa ini?
Untuk kejahatan yang sampai mengorbankan nyawa seorang manusia, keputusan sidang tersebut sama sekali tidak lucu.
Melindungi, Mengayomi, dan Melayani Masyarakat. Hahaha. Aparat kepolisian Deiyai begitu fasih mempraktikkan slogan ini. Senjata beserta amunisi milik aparat tentu saja dibeli dengan pajak rakyat. Mereka, para aparat, mengembalikan uang pajak itu kontan, tanpa tedeng aling-aling: Dar-der-dor, satu nyawa melayang.
Tiga tahun yang lalu, di salah satu warung makan di Timika, Papua, saya berbincang dengan seorang polisi. Saat saya bertanya tindakan aparat meredam kerusuhan di Timika saat itu (beberapa hari sebelum saya datang terjadi kerusuhan antar suku di Timika yang dipicu sengketa penerima bantuan PT Freeport), ia menjawab dengan tegas, “Harus dikerasin, Mas. Kalau tidak begitu, rusuh terus. Kelakuan mereka itu persis binatang!”
Nah, Bung Filep Karma, sekali lagi anda salah.
Keputusan hukuman meminta maaf atas kejahatan yang tidak main-main di tanah Papua bukan kali ini saja terjadi. Menurut John NR Gobay, Sekretaris II Dewan Adat Papua, hukuman kasus di Deiyai persis di Sugapa, permintaan maaf untuk sebuah pembunuhan. Bedanya, untuk kasus di Sugapa ditambah hukuman tujuh hari penjara. Tujuh hari! Sedap betul.
Ketidakadilan, sepertinya memang menjadi menu sehari-hari yang mesti dikunyah masyarakat Papua. Mereka harus menelan mentah-mentah semua itu. Protes sedikit, ketidakadilan lainnya akan datang. Selalu begitu.
Sumber daya alam melimpah, keindahan lanskap tiada tara, dan keragaman budaya yang kaya raya justru menjadi kutukan bagi Papua. Semua hal yang seharusnya mendatangkan surga itu justru menjadikannya neraka. Dan neraka itu datang dari laku aparat yang katanya melindungi dan mengayomi.
Fakta lain yang kian menjengkelkan sekaligus memuakkan dari kasus di Kampung Oneibo: aparat kepolisian yang bertugas ‘mengamankan’ bentrok itu mendapat dana santunan dari pemerintah daerah. Iya, betulan, ini bukan omong kosong.
Saya kutipkan pernyataan Alfret Pakage, Ketua Pansus DPRD Deiyai, “Saya tegaskan, pemberian uang santunan dari Pemda Deiyai bukan hanya diberikan kepada keluarga duka, tapi juga diberikan kepada pihak aparat keamanan dan itu disaksikan langsung oleh Kapolres Paniai, Pak Supriyagung.” Luar biasa.
“Uang yang diberikan untuk aparat keamanan itu untuk pengamanan dan ongkos pulang bagi satuan Brimob dari Deiyai.” Lapan anam, Pak Alfret!
Sudah membunuh, dihukum berat berupa kewajiban meminta maaf, aparat yang mulia tersebut mendapat dana santunan pula. Sungguh keajaiban yang hanya bisa terjadi di Papua.
Untuk semua lawakan ini, hanya ada dua kata: tai ledig!