MOJOK.CO – Jadi, tolong, pemerintah Yogyakarta. Sudah wilayahmu sempit, banyak jalan rusak. Katanya istimewa. Mbok yang sigap, gitu lho.
Yogyakarta memang istimewa. Daerah Istimewa. Daerah Istimewa… galian pipa yang nggak habis-habis dan jalan rusak sebagai kompensasinya. Kata orang, kota ini terbuat dari angkringan, rindu, dan wasweswoshashprek. Nggak, kota ini adalah kota galian yang seperti nggak pernah singset.
Nggak tahu, ya. Rasa-rasanya, lewat mana saja selalu aja ketemu proyek galian pipa. Seakan-akan, kalau nggak ada galian pipa, Yogyakarta ini rasanya kurang greget. Kurang nrimo ing pandum. Kurang istimewa.
Bukan. Saya bukannya anti sama perbaikan drainase. Salah satu tujuannya, kan, biar nggak terjadi banjir kalau intensitas hujan semakin tinggi. Meski yah, tetap saja makin banyak daerah di Yogyakarta ini yang berubah jadi kolam renang ketika hujan turun dengan lebatnya. Jadi, seakan-akan, galian pipa itu nggak ada gunanya. Malah nambah jumlah jalan rusak.
Selain itu, panitia galian pipa di Yogyakarta seharusnya belajar dari Bandung Bondowoso. Sat set, cak cek, cancut tali wanda, bikin candi. Sewengi wae wis dadi! Nah, galian pipa dan perbaikan jalan rusak di Yogyakarta tuh seperti dibuat dalam tempo selambat-lambatnya.
Ini kalau dhemit anak buahnya Bandung Bondowoso lihat pasti udah gregetan pengin ikut bantu proyek galian pipa. Meski honor nggak seberapa, asal ada Kuku Bima dan gorengan, semua pasti lancar.
Saya itu takut. Pengendara jalan itu kan nggak semuanya punya level konsentrasi yang sama. Sangat mungkin terjadi, ada ibu-ibu bakul sayur yang kejeglong, jatuh karena menghantam lubang di jalan. Kasihan, to. Sayur-mayur harus kehilangan kesegarannya karena terpapar debu jalanan bekas galian pipa….
Parahnya lagi, aspal bekas galian pipa itu nggak dikembalikan seperti sedia kala. Ya syukur kalau aspalnya jadi lebih bagus. Ha ini nggak, e. Aspal di pinggir bekas galian pipa itu jadi lebih tinggi dari aspal di tengah jalan. Sudah jalan rusak, tambah nggronjal karena aspalnya jadi jelek nan bahaya.
Mungkin, kalau yang di daerah Kota Yogyakarta nggak begitu terasa. Namun, coba kalian perhatikan kalau mulai main ke daerah selatan. Misalnya nih, Jalan Imogiri Barat yang mengarah ke Sewon, jadi “korban” galian pipa. Jalan rusak jadi sebuah keniscayaan. Nggak rata itu biasa, tapi ini udah kategori rusak. Hanya orang-orang pilihan yang mampu melewatinya.
Sepanjang jalan tersebut, aspalnya cuma ditambal lalu ditinggal begitu saja. Sama seperti berharap kepada dirinya. Ketika dirimu sudah jadi badut, tapi dia tetap disleding kancamu dewe. Hatimu rusak, tak dikembalikan lagi seperti semula.
Contoh lainnya adalah Jalan Parangtritis yang mengarah ke Sewon, Bantul. Saran saya, jangan pernah berani melewati jalan itu ketika malam hari. Sudah gelap, memprihatinkan pula. Saya yakin, itu bocil-bocil klitih aja nggak berani lewat jalan itu saking bahayanya.
Atau, jangan-jangan, jalan rusak di Jalan Parangtritis memang sengaja nggak diperbaiki biar nggak ada klitih di sana. Atau, bisa saja gara-gara namanya Jalan Parangtritis, jadi memang sengaja dibuat sesuai identitasnya. Bergelombang.
Saya sendiri udah lupa berapa kali jadi korban bekas galian pipa di jalan rusak di Yogyakarta. Yakin, Valentino Rossi kalau naik motor Honda Beat di sini pasti kena mental. Nggak mau balapan lagi.
Dia pasti akan minder melihat atraksi zig-zag lincah simbok-simbok tangguh yang baru pulang dari Pasar Ngoto ngelewatin jalan rusak bekas galian pipa. Saking lincah dan tangguh, saya yakin simbok-simbok Pasar Ngoto ini bisa menang kompetisi Ninja Warrior mewakili Yogyakarta.
Semua horor ini bakal makin terasa menyeramkan ketika jalanan di dekat rumahmu jadi lokasi galian pipa. Kebetulan, rumah saya berada di jalan rusak di perbatasan dua kampung. Gara-gara galian pipa, sepanjang jalan rumah saya seperti area balap motocross. Mirip banget sama jalanan ke arah Kopi Merapi yang selalu meminta tumbal ban motor gembos.
Gara-gara itu, motor Honda Beat saya yang manja itu makin rewel. Apa perlu saya ganti Honda Beat ini jadi Kawasaki KLX? Ahh, jangan-jangan, KLX saja nggak cukup tangguh, sehingga saya memilih numpak jaran wae.
Pantas saja, dari dulu, Bapak saya bercita-cita ingin memelihara kuda. Mungkin ini salah satu sebabnya.
Saya rasa sudah menjadi hal yang biasa di negara-negara maju ketika warga negaranya menuntut pemerintah, terlebih masalah jalan rusa. Di Indonesia sendiri sudah ada Undang-Undang yang mengatur, yaitu UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, lebih rincinya di pasal 24 ayat satu:
“Penyelenggara jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan kecelakaan lalu lintas.”
UU tersebut sudah jelas menyebutkan bahwa penyelenggaran jalan harus memperbaiki jalan rusak. Halo, pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Mau digugat sama rakyat sendiri kalau ada yang celaka karena jalan rusak?
Saran saya, Humas Yogyakarta itu, setidaknya, jalan-jalan ke Jalan Godean, deh. Katanya itu jalan provinsi, kan. Status yang bikin Pemkab Sleman nggak bisa gitu aja memperbaiki jeglongan di Jalan Godean. Sudah jalannya sempit, padat kendaraan, penuh lubang lagi. Combo celaka banget.
Saya dengar, rakyat menggugat pemerintah karena jalan rusak itu bukan hal yang “biasa”. Entah kenapa. Padahal, jauh lebih asik ketimbang pengadilan itu ramai karena gugatan rakyat kepada pemerintah ketimbang ramai karena gugatan cerai warganya. Ya, to?
Jadi, tolong, pemerintah Yogyakarta. Sudah wilayahmu sempit, banyak jalan rusak. Katanya istimewa. Apa ya mau disebut sebagai Daerah Istimewa Jalan Rusak dan Galian Pipa?
BACA JUGA Dosa dan Pahala Kampus Swasta di Jogja dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI.