MOJOK.CO – Mereka yang sentimen ketika lihat Gus Miftah pidato di gereja itu, kalau lihat kami yang suka bikin salat jamaah di gereja, gimana ya?
Belakangan ini ramai sekali komentar, lebih banyaknya hujatan sih tepatnya, terhadap ceramah Gus Miftah di Gereja Bethel Indonesia Amanat Agung di Penjaringan, Jakarta Utara.
Potongan-potongan orasi disandingkan dengan ucapan dari tokoh agama Islam lainnya, entah betul-betul komentar atas kejadian itu atau sekadar ada kemiripan topik, intinya banyak beredar.
Sebagaimana klarifikasi Gus Miftah selanjutnya, yang dia sampaikan adalah orasi kebangsaan dalam rangka pembukaan gereja tersebut.
Sambutan sekitar 10 menit di hadapan jemaat dan tamu undangan, termasuk Gubernur Anies Baswedan, jelas bukan bagian dari peribadatan. Lagipula, apa yang disampaikan Gus Miftah, dalam pandangan saya, lebih pada ajakan untuk bersatu sebagai warga bangsa terlepas dari perbedaan agama.
Tanggapan buruk dan hujatan macam begini gampang sekali tersulut, apalagi jika ditambahi pelabelan macam sekulerisme, liberalisme, dan pluralisme.
Tentu saja ini bukan fenomena baru. Kita ingat bagaimana di awal tahun 2000-an Ulil Abshar Abdalla, cendekiawan dan pegiat Muslim yang dihalalkan darahnya oleh Forum Ulama Umat Islam.
Bahkan, terhadap tiga -isme di atas (di banyak forum disingkat SEPILIS) Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa pada 2005 tentang keharaman bagi muslim untuk mengikuti ketiganya. Tapi soal ini saya tak akan bahas lebih lanjut di sini.
Dari kejadian yang menimpa Gus Miftah di atas, saya jadi mikir kira-kira para penghujat Gus Miftah itu akan melakukan apa jika saja mereka melihat apa yang terjadi di tempat saya tinggal sekarang, Australia Barat: salat jumat di gereja.
Islam bukan barang baru di Australia. Selain dibawa oleh para nelayan Nusantara, ia berkembang bersama para cameleer, pengendara unta yang dibawa dari British-India sejak pertengahan 1800-an. Masjid tertua yang masih ada bangunannya, meskipun sudah tidak difungsikan, didirikan di Maree, Australia Selatan pada antara 1861-1882 oleh komunitas ini.
Mereka dengan untanya dibawa ke Australia untuk membuka wilayah pedalaman yang susah dijangkau. Berbagai material untuk membangun jalur kereta mereka bawa, menembus bagian-bagian tersulit dan terjauh di negeri benua itu.
Terlepas dari sejarah yang panjang dan migrasi yang cukup besar pada tahun 1980-1990-an, Muslim adalah minoritas di Australia.
Menurut Sensus 2016, warga Muslim tak sampai tiga persen dari keseluruhan populasi. Itu pun tak semua mengaku sebagai practising Muslims. Ada yang terlahir dari keluarga Muslim dan mengidentifikasi diri sebagai Muslim tetapi dia tidak menjalankan peribadahan macam salat dan puasa, misalnya.
Jumlah yang sedikit ini mengakibatkan menemukan masjid itu perkara yang agak tricky. Semakin jarang penduduknya, semakin kecil peluang akan adanya masjid atau musala. Di perkotaan dan pinggiran kota tentu lebih mudah.
Selain itu, Australia sangat ketat mengatur tata ruang dan wilayah. Jadi, untuk mendirikan bangungan izinnya berlapis dan syaratnya banyak. Bangunan untuk keperluan tertentu mesti memenuhi syarat tertentu.
Masjid yang dipakai jumatan harus punya tempat parkir umum atau dekat dari parkir umum. Di sini nggak boleh parkir sembarangan, bwuosss. Dendanya berat, bisa buat belanja makan untuk seminggu.
Di suatu kawasan industri di Australia Barat pernah dilaksanakan salat jumat, untuk mengakomodir para pekerja muslim yang cukup banyak di sana dan masjid terdekat terlalu jauh untuk ditempuh dalam rentang istirahat makan siang.
Pada tahun 2009 pengadilan melarangnya, karena tidak berkesesuaian dengan fungsi tempat yang digunakan dan aturan yang mengikatnya. Bangunan yang dibuat sebagai tempat untuk peribadatan umum tidak diperbolehkan berada di kawasan industri tertentu.
Kalau pelarangan ini terjadi di Indonesia, saya nggak tahu celoteh macam apa yang akan muncul di sosial media.
Membangun masjid di Australia sini tentu saja mahal. Biaya pembangunan akan terasa lebih berat kalau komunitas yang mesti menanggungnya terlampau kecil jumlah anggotanya. Makanya, banyak dari komunitas ini mencari alternatif.
Ada jumatan diselenggarakan di tempat seperti community centre (semacam balai warga) atau tempat lain yang tidak didesain sebagai masjid atau musala.
Di University of Western Australia, misalnya, karena musalanya kecil sekali, biasanya jumatan dilaksanakan di bagian lain di kampus yang lebih luas: kadang di gym, kadang di balai pertemuan. Malah sesekali di taman, bikin jumatan rasa darmawisata.
Di Perth, sejauh pengetahuan saya setidaknya ada dua gereja yang digunakan untuk salat Jumat. Gereja-gereja ini masih berfungsi. St. Paul’s Anglican Church di kota pelabuhan Fremantle membukakan pintunya untuk warga muslim menyelenggarakan Jumatan di sana sejak 2011. Tahun 2020 lalu masih ada.
Saya kurang tahu apakah saat pandemi kayak gini jumatan masih diselenggarakan di sana.
Di tengah kota, Uniting Church sempat lama dipakai sebagai tempat jumatan. Baru-baru ini tempat itu tidak bisa dipakai lagi dan jumatan pindah ke sebuah studio foto yang tak jauh dari situ. Karena keterbatasan ruang, di satu lokasi kadang dilaksanakan jumatan dalam dua shift. Di studio ini salat jumat pertama dilaksanakan jam 12.30 dan yang kedua jam 13.00.
Praktik seperti ini juga dijalankan di tempat lain. Masjid Al-Taqwa di Mirrabooka di sebelah utara Perth adalah salah satu contohnya. Jumatan pertama dimulai jam 12.45 dan jumatan kedua dimulai jam 13.45. Udah kayak buruh pabrik ya, pakai shift-shift-an segala. Hehe.
Mengingat bahwa muslim yang ada di Australia berasal dari berbagai aliran, maka tidak heran praktik jumatannya juga mengandung banyak “penyimpangan”. Selain jumatan dua shift tadi, ada satu praktik yang saya dapati cukup mencengangkan. Kontroversi orasi Gus Miftah di gereja mah nggak ada apa-apanya.
Di Masjid Omar Bin Alkhattab di Adelaide, atau yang lebih tenar disebut Masjid Marion karena letaknya di bilangan Marion Road, saya dibikin kaget oleh satu “rukun” tambahan.
Khotbah pertama dan khotbah kedua disampaikan dalam Bahasa Arab oleh khatib yang juga imam masjid. Yang mengejutkan adalah sebelum khatib menutup khotbah kedua seorang pemuda tiba-tiba berdiri di depan majelis.
Dia membawa selembar kertas, membacakan ringkasan khotbah tadi dalam Bahasa Inggris. Dalam hati saya bertanya-tanya, ini bid’ah bukan, ya? Eh.
Kalau di Indonesia, hal beginian mungkin bakal jadi perdebatan berhari-hari. Gus Miftah pidato di gereja aja yang pada geram masih belum redam sampai hari ini, apalagi kami yang melakukan beragam “penyimpangan” di Australia begini.
Sungguh nggak terbayang apa yang kira-kira akan diperbuat oleh orang-orang macam Ustaz Abdurrohman ZR dan teman-temannya yang tempo hari melarang orang salat pakai masker di masjid Kampung Tanah Apit Bekasi itu seandainya mereka lihat pemandangan orang salat di gereja di depan mata mereka.
Ya maklum, ngamuk perkara agama itu sudah jadi nama tengah bagi segelintir orang Indonesia yang mainnya kurang jauh. Kaget dulu aja, stempel sesat kan banyak stok-nya.
BACA JUGA Takmir Masjid Harusnya Lebih Jago Nyanyi ketimbang Penyanyi Gereja dan tulisan Sugiyanto lainnya.