MOJOK.CO – Whoosh adalah proyek kereta cepat yang sudah busuk sejak sebelum mulai. Sejak awal sudah bikin celaka dan sengsara rakyat.
Masuk pertengahan 2018, umur saya baru 15 tahun. Saat itu, saya belum mengenal banyak perasaan selain kebahagiaan. Uniknya, kebahagiaan yang saya kenal waktu itu tidak lahir dari kemewahan, melainkan dari kemilau hangat sebuah perkampungan.
Dulu, saya pernah tinggal di sebuah perkampungan di daerah timur Jakarta. Sebuah tempat di mana saya tumbuh sebagai seorang balita, anak-anak, sampai kemudian remaja. Perkampungan itu, hingga saat ini, terus mengundang kerinduan selepas semuanya tinggal kenangan.
Itu dahulu, saat sebelum sebuah mega proyek mentah (belakangan saya ketahui datanya) Jokowi datang. Proyek bernama Kereta Cepat Whoosh yang menggilas kampung kami. Proyek yang katanya menjadi kebanggaan nasional. Simbol kemajuan bangsa. Tapi bagi saya, proyek itu justru menjadi awal dari kehilangan paling besar sepanjang hidup saya.
Proyek mentah yang menghancurkan kehidupan
Tujuh tahun telat lewat setelah Kereta Cepat Whoosh menggilas kampung saya. Sudah tujuh tahun, tapi rasa kehilangan itu masih ada. Seolah menetap di satu sudut hati yang tak pernah sempat terobati. Di sanalah, saya merasakan kehangatan keluarga, keramahan tetangga, dan pekik tawa di setiap sudut gang yang kini tinggal samar dalam ingatan.
Di teras sempit itulah saya dulu belajar mengayuh sepeda roda tiga. Beranjak masa kanak-kanak, saya dan kawan-kawan mulai lihai memainkan egrang, gobak sodor, atau sekadar berlarian di gang kecil. Kami tidak punya taman bermain, tapi seluruh gang adalah dunia kami.
Bagi kami, sore hari menjadi waktu yang paling istimewa. Seperti ritual tak tertulis, jika menjelang sore, para orang tua menyempatkan waktu untuk sekadar duduk-duduk bersama tetangga. Anak-anak terus bermain ria tanpa tahu bahwa esok lusa, semua itu akan hilang karena kedatangan Kereta Cepat Whoosh. Bukan hanya masanya, tapi juga tempatnya.
Maka, saya katakan bahwa proyek Kereta Cepat Whoosh adalah dosa paling sulit saya maafkan dari seorang bernama Jokowi. Berikut saya jelaskan alasannya.
Ganti rugi Kereta Cepat Whoosh yang tak pernah setimpal
Seakan lenyap begitu saja. Perkampungan saya rata oleh Kereta Cepat Whoosh. Sebuah proyek yang kata mereka adalah simbol pembangunan dan kemajuan bangsa. Ah, omong kosong.
Mereka “menyumpal” semua mulut orang di perkampungan kami dengan dalih sebagai bentuk keadilan. Tapi bagi kami, nominal yang diberikan tidak pernah cukup untuk membeli kembali kedamaian ekosistem yang kami bangun puluhan tahun lamanya.
Kereta Cepat Whoosh, proyek yang konon akan menjadi simbol kemajuan, bagi saya, justru merenggut segenap kebahagiaan masa kecil. Darinya, justru lahir kehilangan paling dalam yang tak siapapun sanggup menyembuhkan. Sekalipun kehidupan baru setelah penggusuran.
Sudah merenggut kebahagiaan, tak pula membawa kemajuan
Kegagalan semakin nampak saat Jokowi mengingkari janjinya. Pada mulanya, dalam perpres 107 tahun 2015, Jokowi meyakinkan negara bahwa Kereta Cepat Whoosh ini tidak akan mengambil sepeser pun dana APBN, serta tidak mendapat jaminan pemerintah. Jokowi lebih memilih proyek itu diserahkan kepada BUMN untuk dikelola secara business to business.
Akan tetapi, per tahun 2021, melalui perpres nomor 93, Jokowi mengingkari janjinya dengan menutup kerugian proyek tersebut melalui APBN negara. Artinya, pemerintah (jelasnya, rakyat) ikut kena getah dan harus bertanggung jawab atas proyek mentah Jokowi ini. Keputusan jokowi ini diambil dengan dalih menjaga keberlanjutan pelaksanaan proyek strategis nasional. Pembual.
Melansir CNN Indonesia, berdasarkan laporan komisi VI DPR RI, menyebut bahwa kerugian proyek Kereta Cepat Whoosh di paruh pertama 2025 tercatat mencapai Rp1,6 triliun. Sedangkan tahun sebelumnya, kerugian bahkan mencapai Rp2,69 triliun. Sehingga, beban keuangan dari kerugian Kereta Cepat Whoosh bisa diperkirakan mencapai lebih dari Rp4 triliun di 2025.
Kereta Cepat Whoosh, moda transportasi yang tidak memihak rakyat
Menurut KAI, kerugian terbesar masih bersumber dari proyek Kereta Cepat Whoosh ini. Kerugian ini muncul sebab operasional Whoosh belum optimal. Sejak 2023 hingga akhir juli 2025, jumlah kenaikan penumpang baru mencapai 10,7 juta orang. Terhitung tidak signifikan.
Ya bagaimana pertumbuhan penumpang tidak signifikan? Bayangkan saja. Tiket yang di banderol saat ini berkisar Rp150 ribu-Rp600 ribu. Itu saja hanya satu rute perjalanan, yakni Jakarta-Bandung. Jelas ini kelewat mahal dengan notabene Jakarta-Bandung yang tidak terlalu jauh.
Jelas, moda transportasi ini tidak bisa dirasakan oleh semua kalangan. Pasalnya, harga tiket yang dipasang tidak masuk akal. Bagi saya, sebuah harga mahal untuk proyek yang tidak bisa kami rasakan sebagai rakyat yang paling pertama dikorbankan.
Mana tanggung jawabnya?
Kalau sudah seperti ini, Bagaimana? Siapa yang paling bertanggung jawab atas Kereta Cepat Whoosh? Menurut saya, pembengkakan kerugian yang kian meningkat adalah respons alami yang lahir dari sebuah proyek yang sejak awal mentah secara perencanaan.
Bagi rakyat biasa, perbuatan merugikan negara adalah hal yang pasti berujung penuntutan. Tapi bagaimana jika yang merugikan justru mereka yang berada di lingkar kekuasaan? Apakah hukum hanya berlaku ke bawah? Ah, sok tidak tahu saja.
Saya rasa, proyek apa saja yang diinisiasi oleh pemerintah seharusnya bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, komersial, dan moral. Tujuannya jelas, agar pemerintah tidak gampang melahirkan proyek-proyek hasil fomo para birokrat yang ujungnya merugikan rakyat.
Sampai sini, saya berusaha husnudzon pada niat baik pemerintah. Sebaik apapun niat, memang tak selalu melahirkan kebaikan. Tapi, jika niat baik itu justru berujung pada kerusakan dan kerugian kolektif, maka tetap ada tanggung jawab yang harus ditegakkan.
Dokter saja, kalau melakukan kesalahan bisa dituntut dan disebut malpraktik. Lalu bagaimana dengan pemerintah yang salah urus proyek bernilai triliunan? Apakah bisa disebut “malpraktik pembangungan” dan dituntut atas kerugian? Entahlah. Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang.
Saat nasi sudah menjadi bubur, saya belajar memaksa diri untuk menerima yang tersisa
Bertahun-tahun setelah penggusuran itu, semua warga, termasuk teman-teman masa kecil saya hilang berpencar. Saya memang pindah ke rumah yang sedikit lebih besar, tapi anehnya saya tidak menemukan kehangatan dilingkungan yang baru. Tidak satu saja yang bisa menghadirkan rasa “pulang” seperti tempat tinggal saya dulu. Rasanya seperti ada yang hilang. Hampa.
Jadi, kalau ditanya mengapa proyek Kereta Cepat Whoosh adalah dosa Jokowi yang tidak bisa saya maafkan, jelas, jawabannya ialah proyek itu menggusur kampung kami demi janji kemajuan yang justru berujung pada kerugian besar.
Penulis: Ifana Dewi
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Kereta Cepat Jakarta Bandung Sumber Petaka Masa Depan: Indonesia Dicaplok, Cina Menang Banyak dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.
