MOJOK.CO – Dikejar aparat hingga masuk gang kecil, seorang warga Sapen menyelamatkan teman saya. Memang, Sapen adalah hal terbaik di Jogja ini.
Warga Sapen adalah warga terbaik yang pernah saya temui selama tinggal di Jogja. Tentu baik atau tidak merupakan hal yang cukup subjektif. Setidaknya itu persepsi saya selama hampir 10 tahun saya tinggal di Jogja.
Pada awal 2015, saya hijrah ke Jogja untuk kuliah. Saya menumpang tinggal dengan seorang teman di bilangan Sapen. Kami tinggal di sebuah kontrakan kecil berisi dua kamar dekat SD Muhammadiyah.
Sebagai seorang perantau pemula, saya beruntung mendapatkan tempat tinggal pertama di lingkungan tersebut. Bagaimana tidak, biaya makan dan biaya sehari-hari sungguh ramah di kantong. Ini jelas nasib baik bagi mahasiswa rantau ekonomi kempis macam saya.
Sapen adalah miniatur jogja paling presisi menurut saya
Ya, menurut saya, Sapen adalah miniatur Jogja paling presisi. Ini bukan tanpa alasan. Sapen adalah sebuah daerah dekat kampus dengan masyarakat yang beragam.
Kalau Anda ingin melihat kesenjangan Jogja, cukup datang saja ke sekitaran SD Sapen. Jalan kecil bernama Bimo Kurdo harus berjibaku menopang mobil-mobil mewah berderet macet menunggu bubaran murid SD saban hari.
Anda dengan mudah menemukan Tan Malaka, Che Guevara, atau tokoh revolusioner lainnya dalam mulut mahasiswa yang berdiskusi di kedai-kedai kopi hingga pagi tiba. Kalau beruntung, minimal bisa melihat ban terbakar di “pertigaan revolusi” Sapen.
Sekitar pertengahan 2018, saya turut dalam aksi demonstrasi. Ini jenis aktivitas yang tidak asing lagi bagi mahasiswa seperti saya. Beberapa kali saya turut dalam demonstrasi di pertigaan UIN Sunan Kalijaga. Namun, pengalaman sore itu adalah pengalaman paling magis nan komikal.
Dipukul mundur aparat
Bersama teman-teman kontrakan, saya menuju Jalan Adi Sucipto. Sore itu, Jalan Adi Sucipto menjadi “medan perang” paling megah dan gegap gempita.
Sekonyong-konyong, jalanan berubah menjadi wahana demokrasi yang trengginas. Asap hitam berasal dari ban yang dibakar di tengah jalan membumbung tinggi. Pos polisi remuk oleh amarah, kemudian demonstran dipukul mundur.
Sore semakin menggelayut di Sapen. Saya dan teman berlari menyelamatkan diri karena situasi tidak kondusif. Awalnya, kami berniat menyelamatkan diri dengan masuk ke gerban timur UIN Suka.
Namun nahas, aparat menyisir hingga masuk ke dalam kampus. Tidak hilang akal, Dhatu (bukan nama sebenarnya) mengajak saya berlari ke permukiman Sapen. Dari sini pengalaman paling komikal saya dimulai.
Baca halaman selanjutnya: Panjang umur Warga Sapen!
Warga Sapen menyelamatkan saya dari kejaran aparat
Saya dan Dhatu terus berlari tanpa tahu harus menyelamatkan diri ke mana. Saat otak saya sibuk mencari jalan keluar dan beradu dengan suara motor aparat yang menderu. Tiba-tiba, Dhatu berseru, “Deb, aku kepeseng!!!” Orang gila macam apa yang saat terdesak malah kebelet ngising. Sontak saya kaget bukan kepalang.
Kata orang, keberanian akan muncul saat terdesak. Inilah yang disebut insting bertahan hidup. Dhatu membanting arah larinya masuk gang kecil. Dari kejauhan terlihat seorang perempuan paruh baya yang sedang sibuk mencuci piring.
“Bu, saya boleh menumpang kamar mandinya?” Kata Dhatu dengan logat Jawa Mataraman. Tanpa banyak bertanya, si ibu mengizinkan.
Samar-samar saya melihat aparat menunggang motor semakin mendekat. Tanpa aba-aba, saya meneruskan pelarian menuju bibir sungai yang membelah Sapen dan Sorowajan. Warga yang sedang memancing membantu saya menyeberangi sungai.
Saat saya sudah aman, tiba-tiba hape saya berdering. Dhatu menelepon menanyakan kondisi dan lokasi saya saat itu. Tanpa rasa bersalah, dia berseloroh selamat dari pengejaran karena kebelet boker.
Sependek ingatan dan bacaan buku saya, tidak ada cerita heroik tentang perlawanan yang selamat karena boker. Saya yakin, bahkan Soe Hok Gie pun tidak pernah membayangkan hal itu akan terjadi.
Berutang budi kepada Bu Slamet
Di salah satu kedai kopi di Sorowajan, kami bertemu kembali. Sosok pria kecil berambut gondrong datang dengan santai sambil merokok. “Bu Slamet (Bukan nama sebenarnya) bakal masuk surga paling utama dari kalangan sipil sih seharusnya.” Dia memulai bercerita tanpa dipersilakan.
Saat Dhatu sedang khusyuk membuang hajat, terdengar suara motor dari luar. Syak wasangka aparat bertanya tentang keberadaan saya dan Dhatu.
Tidak ada jawaban dari Bu Slamet, hingga aparat bertanya beberapa kali. “Lari ke arah sana kayaknya, Pak” Jawab Bu Slamet asal-asalan.
“Aku mung iso pasrah, tidak jadi kebelet boker. Tapi untungnya Bu Slamet baik hati menyelamatkanku.”
Cukup lama Dhatu berada di kamar mandi, sebelum akhirnya dia pelan-pelan keluar. Dia merasa situasi di luar sudah kondusif.
Tanpa merasa curiga, Bu Slamet menawari Dhatu untuk istirahat dulu. Bu Slamet bahkan menyajikan makanan dan minuman. Beliau tahu persis bahwa Dhatu adalah bagian para demonstran yang dicari. “Sing ngati-ngati kalau demo, Mas.”
Melihat, mendengar, dan menerima kebaikan hati Bu Slamet, hati Dhatu tersentuh. Selamanya dia berutang budi kepada Bu Slamet.
“Wong Jogja ki kudune menyontoh wong Sapen pas ono demo,” tandas Dhatu sambil mengisap rokok.
Dia berteori kalau semua warga seperti Bu Slamet, Jogja bisa jadi episentrum revolusi Indonesia. “Cangkeman ngomong revolusi, dikejar aparat wae kepising,” pikir saya sambil menyimak cerita Dhatu yang bersemangat.
Di hari itu saya yakin bahwa warga Sapen adalah warga paling baik di Jogja
Mungkin pengalaman saya dan Dhatu menjadi satu cerita kecil dari kebaikan warga Sapen. Bagi banyak orang, cerita demonstrasi mungkin akan berisi hal-hal heroik. Namun tidak bagi mahasiswa seperti saya dan Dhatu, yang kala itu diselamatkan Bu Slamet. Meminjam kata seorang revolusioner, Bu Slamet adalah kerikil kecil bagi para penguasa.
Jokpin mencipta kalimat syahdu dalam bentuk, “Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan”. Maka Sapen terbuat dari “keramahan, mahasiswa, dan Bu Slamet.” Panjang umur Bu Slamet dan warga Sapen yang baik-baik.
Penulis: Deby Hermawan
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA SD Muhammadiyah Sapen: Culture Shock Pertama yang Bakal Dihadapi Maba UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan cerita menarik lainnya di rubrik ESAI.