MOJOK.CO – Serat Susila Sanggama jauh “lebih berani” ketimbang Kamasutra dan Centhini. Salah satunya adalah ajaran waktu ideal untuk bercinta ala Jawa. Panas!
Membicarakan waktu yang ideal untuk bercinta ala Jawa, saya yakin banyak dari pembaca terbersit ingatan mengenai Kamasutra. Bisa juga ingatan pembaca lari ke Serat Centhini yang dirumorkan sebagai kitab mesum dalam kebudayaan Jawa. Barangkali Anda pernah membaca, mendengar, mengintip kedua sumber tersebut. Memang harus diakui bahwa isi 2 kitab kuno itu tidak jauh dari apa yang dirumorkan.
Kamasutra banyak memuat ajaran persenggamaan dalam tradisi India. Ditulis dalam tradisi Bahasa Sanskerta sebelum masehi, manuskrip ini adalah teks (sutra) sebagai tuntutan melakukan hubungan sex (kama). Hanya dengan mengetik “kamasutra” di situs pencarian, Anda akan langsung menemukan berbagi gambar dan teks tentang persenggamaan manusia yang tersebar dalam ratusan situs.
Sementara Serat Centhini, yang sebetulnya berisi banyak muatan tentang pengetahuan kebudayaan Jawa, memang benar memuat tema percintaan, hingga waktu yang ideal untuk bercinta di dalam beberapa bagian alur kisahnya. Serat ini menggunakan diksi Jawa yang seolah agak vulgar ketika membahas hal tersebut.
Masyarakat modern hari ini rupanya salah kaprah ketika hanya menganggap Centhini merupakan kitab sex Jawa. Padahal, bagi yang pernah benar-benar membaca, akan mengerti bahwa isi Centhini adalah tentang segala pengetahuan Jawa pada masa itu. Bahkan, kitab tersebut mendapat julukan “ensiklopedia Jawa”, bukan sekadar manuskrip mesum.
Kitab yang berisi tata cara bercinta paling ideal menurut budaya Jawa
Bagi masyarakat awam, setidaknya 2 karya sastra tersebut menjadi rujukan paling populer untuk membicarakan tentang ilmu bersenggama dalam tradisi masyarakat Jawa kuno. Akan tetapi, di dalam kesusastraan Jawa, sebetulnya masih banyak manuskrip kuno mengenai tuntunan bersenggama selain serat Centhini dan Kamasutra.
Salah satunya adalah Serat Susila Sanggama. Dari namanya sudah kentara artinya kata susila berkaitan dengan ‘sila, aturan, dan tata cara’. Sementara itu, kata sanggama memuat makna ‘bersetubuh’.
Manuskrip kuno koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan nomor koleksi NB.16 ini menggunakan aksara Jawa, ditulis manual dengan tangan, bukan cetak. Pada bagian etiket cover tertulis nama Raden Koesoemo Darsono dengan jabatan Mantri Panjuwalan (diperkirakan istilah profesi penulis/penyalin pada zaman dahulu). Pada bagian akhir naskah tertera tanggal selesai penyalinan 25 November 1909. Adalah Raden Ngabehi Cendra Pradata yang mengarang serat ini, seperti yang tertera pada keterangan di paragraf awal.
Pendapat pribadi saya, yang pernah membaca Kamasutra dan Centhini, bahasan kitab Susila Sanggama ini lebih “berani”. Kitab tersebut bahkan mengajarkan berbagai tips and trik bersetubuh ala Jawa. Salah satunya cara memilih waktu yang ideal untuk bercinta ala Jawa sesuai karakter pasangan kita.
Ilmu titen
Kita hanya bisa menduga bagaimana pada zaman dahulu kala leluhur Jawa melakukan riset untuk dapat menentukan waktu yang ideal untuk bercinta ala Jawa yang tepat dan baik. Seperti apa yang tertuang dalam serat Susila Sanggama ini. Sejauh ini, para pakar kebudayaan Jawa sepakat bahwa metode penelitian yang dilakukan nenek moyang peradaban Jawa itu sering disebut ilmu titen, niteni, mengamati, atau mengobservasi.
Ilmu titen itu dilakukan dengan pengamatan panjang yang barangkali memakan waktu hingga ratusan tahun. Mengingat, pada zaman itu belum ada metode penelitian dan uji coba klinis (khususnya dalam urusan seksologi) untuk mendapatkan hasil uji yang empirik.
Satu-satunya penelitian yang mungkin dilakukan barangkali adalah niteni setiap peristiwa seksual lintas generasi. Setelah itu, mereka mewariskannya turun-temurun pengetahuan itu secara lisan. Kemudian, baru pada era kesusastraan Jawa berkembang (sekitar abad 18-19) kemungkinan, mereka merangkai pengetahuan itu menjadi tulisan.
Bukan sembarang kitab stensilan
Masyarakat modern seperti kita ini mungkin tidak lagi menganggap penting atau mengabaikan tentang kapan waktu yang ideal untuk bercinta. Toh, kalau situasi mendukung, consent (sama-sama mau), bisa bercinta kapan saja.
Akan tetapi, persetubuhan yang terdapat di dalam ajaran Susila Sanggama bukanlah hubungan seksual asal-asalan dan liar seperti yang kita bayangkan. Namun, persetubuhan yang memang memakai aturan, ada susila-nya sesuai judul manuskripnya.
Bercinta yang dimaksudkan di serat tersebut adalah senggama yang sah. Yang melakukannya adalah pasangan dengan status suami istri. Mereka melakukannya dalam rangka ibadah, demi tujuan mulia, yaitu bersatunya 2 insan ciptaan Allah untuk membuahkan keturunan yang baik dan berguna.
Pada awal bagian serat, bahkan tercantum cara pengucapan doa sebelum bercinta. Kitab ini juga menegaskan bahwa piwulang pengajaran untuk mereka yang akan mengarungi bahtera rumah tangga. Jadi bukan semata-mata buku hiburan porno, atau stensilan, seperti yang mungkin kamu baca waktu remaja.
Baca halaman selanjutnya: Bercinta, dalam budaya Jawa, ternyata punya hitungan sendiri.
Waktu yang ideal untuk bercinta ala Jawa
Media pengajaran seksologi yang tersedia pada zaman kerajaan dahulu berwujud buku-buku seperti ini. Tidak seperti zaman kita yang setiap saat bisa mengakses berbagai media tentang seks. Oleh kesusastraan Jawa, seorang laki-laki yang akan mengarungi kehidupan rumah tangga itu mendapat pelajaran seksologi, di antaranya tentang waktu yang ideal untuk bercinta ala Jawa.
Pertama, apabila dilakukan dengan benar, maka bercinta pada pukul 2 malam (dini hari) akan membuat istri sangat puas menemukan puncak kenikmatan. Rasanya sampai melayang, lepas jiwa raga. Di dalam teks tertulis:
“…kědah měndhět wanci jam [2] dalu, manawi sagěd kalěrěsan patrap punika sadaya badhe sagěd ambuka manahipun estri, rumaos angsal tukking kanikmatan, ngantos supe dhatěng jiwa-raganipun”. (Teks Susila Sanggama hlm.12 Bab I)
Kitab tersebut menjelaskan lebih lanjut bahwa tata cara bercinta yang dilakukan pukul 2 malam ini dianjurkan untuk karakter istri yang memiliki raut muka bongoh dan sengoh dengan warna kulit cemeng manis atau hitam manis. (Mengenai candra pasemon atau tanda-tanda ciri fisik perempuan, kami akan membahasnya di lain waktu).
Nah, apabila seorang istri memiliki karkater wajah dlongeh dan manis dengan ciri warna kulit jene nemu giring/langsep atau kuning langsat, waktu yang ideal untuk bercinta ala Jawa adalah di antara pukul 12 malam sampai 7 pagi.
“…ingkang sapisan kědah měndhět wanci jam [12] dalu, dumugi jam [7] enjing.” (Teks Susila Sanggama hal.13, Bab II)
Memilih waktu bercinta di antara pukul 6 sore hingga fajar menyingsing seyogyanya akan cocok jika sang perempuan mempunyai karakter wajah sumeh dan andhemenakake dengan ciri kulit berwarna ambambang awak atau cokelat. Di dalam tertulis:
“Manawi sacumbana kědah měndhět ing wanci jam [6] sontěn dumugi pěrak enjing (pajar)” (Teks Susila Sanggama hlm.13 Bab III).
Waktu ideal untuk bercinta ala Jawa
Pada kitab Bab IV halaman 14, dituliskan tentang waktu bercinta terbaik adalah pukul 12 malam hingga jam 4 pagi
“…kědah měndhět wanci jam [12] dalu dumugi jam [4] enjing.”
Ini apabila istrimu mempunyai karakter merak ati dan kapsah dengan ciri kulit berwarna merah kecoklatan terang atau abrit ragi nyěnggaringan.
Jika sang istri mempunyai ciri fisik berkulit kuning erah atau (menyerupai) daun hijau muda segar, waktu yang ideal untuk bercinta ala Jawa adalah selepas Magrib (pukul 18.00) sampai tengah malam.
“Manawi tiyang estri kulitipun, jěne němu giring, utawi ijěm pupus, wiwit wědaling Asmaragamanipun, wiwit jam [6] sontěn dumugi těngah dalu.” (hlm. 15)
Masih di halaman kitab yang sama, berikutnya tertulis dalam teks:
“Manawi tiyang estri kulitanipun cěměng manis, wěněs, wiwit wudhar wědaling Asmaragamanipun wiwit jam [8] sontěn dumugi lingsir dalu.”
Artinya: Apabila sang wanita memiliki kulit berwarna hitam manis pucat, waktu yang tepat saat terbuka asmaragama adalah dari pukul 8 petang sampai dini hari.
Selanjutnya, teks tersebut menulis tentang ciri perempuan yang berkulit kemerahan. Waktu yang ideal untuk bercinta ala Jawa adalah di antara tengah malam hingga pukul 3 pagi. “Manawi tiyang estri kulitanipun ambambang awak, wedaling Asmaragamanipun wiwit těngah dalu, dumugi jam [3] dalu.” (hlm.15)
Yang terakhir, untuk istri yang mempunyai kulit warna cokelat, waktu terbukanya asmaragama adalah di antara tengah malam hingga sang surya terbit.
“…Manawi tiyang estri warninipun, ngrokoh, wudhar wědaling Asmaragamanipun, wiwit těngah dalu dumugi wědaling Sang Hyang Surya.” (hlm.15)
Kerja budaya tim Jawacana
Pembacaan tim Jawacana atas isi serat Susila Sanggama mengenai waktu yang tepat untuk bercinta, barangkali akan menemui ketidaksesuaian dengan kemajuan ilmu pengetahuan modern tentang seksologi hari ini. Apabila mengutip kata pakar seksolog Dokter Boyke Dian Nugraha, yang terdapat dalam beberapa sumber, dikatakan bahwa sekitar pukul 03.00 pagi merupakan waktu yang tepat untuk bercinta.
Mungkin hal ini ada kesesuaian dengan beberapa waktu yang ideal untuk bercinta ala Jawa dalam serat Susila Sanggama. Kendati demikian, hasil penelitian Jawacana ini bukan berarti mencetuskan sebuah kebenaran tunggal yang adiluhung dari keilmuan Jawa tentang cara bercinta.
Penelitian ini dilakukan dalam rangka program baru Jawacana di 2024 yang bernama BACAJAWA. Tujuan kami adalah menyajikan kepada publik kekayaan leluhur dalam sastra Jawa yang belum terjamah selama ini.
BACAJAWA menemani program-program lain Jawacana selama ini seperti “Kelas Hanacaraka” yang mengajarkan baca tulis aksara Jawa. Kemudian, juga ada program WRUH!, yakni diskusi ilmiah tentang klenik dan kebudayaan.
Jawacana merupakan komunitas independen nirlaba pegiat sastra Jawa yang saya dirikan sejak 2017 bersama kolega alumni Sastra Jawa di UGM dengan semangat hidup dan menghidupi sastra Jawa. Silakan berkunjung ke situs jawacana.com untuk mengetahui lebih banyak tentang kami.
Menggunakan sumber valid
Kami memilih manuskrip Susila Sanggama objek pertama untuk mengawali program BACAJAWA. Dalam proses penyajian naskah kuna, Jawacana selalu berpegang teguh pada disiplin kajian filologi. Sehingga, kadar keilmiahannya dapat dipertanggungjawabkan.
Beberapa orang menggawangi proyek ini. Mereka adalah para peneliti, Eka Pradipta (filolog utama), Enjang Wening & Krisna Arimurti (periset), Rafael Raga & Sukma Putri (penulis), dan saya sebagai editor.
Segala sumber data yang kami kumpulkan merupakan sumber valid yang dapat dilacak keberadaanya. Oleh sebab itu, data yang didapatkan dari hasil riset merupakan data penelitian yang komprehensif dengan hasil kerja yang sistematis.
Sebisa mungkin Jawacana menghindari sumber data yang sering dianggap sumber gaib atau mitos dalam segala riset. Hal ini dilakukan karena Jawacana berusaha menampilkan citra sastra Jawa ke masyarakat dalam citra yang muda, segar, dapat dipercaya, serta jauh dari mitos-mitos yang selama ini justru melekat pada sastra Jawa dan membuat sastra Jawa terselubung kegelapan seperti hari ini. Kami berupaya memberikan cahaya kecil di dalam kabut mitos, klenik, bid’ah, horor, magik, yang senantiasa menyelubungi sastra Jawa.
Metodologi penelitian
Adapun metodologi dalam proyek BACAJAWA yakni membaca, alih aksara dari aksara Jawa ke latin, menyunting, dan menerjemahkan satu objek manuskrip. Proses filologi yang dilakukan sebatas penyajian terjemahan dari Bahasa Jawa ke dalam Bahasa Indonesia, tanpa melakukan tafsir dan analisis teks.
Jadi, apa yang tersaji ke publik adalah apa yang benar-benar ada di dalam teks. Kerja editorial sebatas memilih dan memilah data yang akan dihadirkan ke publik. Isi kandungan teks beserta penafsiran atau pemaknaan pembaca yang muncul selanjutnya bukanlah menjadi domain kerja kami. Sederhananya, BACAJAWA hanyalah ikhtiar menghadirkan terjemahan Jawa agar terbaca oleh publik.
Sekali lagi, kebijaksanaan dan kedewasan pembaca sangatlah diperlukan dalam menyikapi penyajian terjemahan waktu ideal untuk bercinta ala Jawa di dalam serat Susila Sanggama. Apabila di dalam teks terdapat tafsir-tafsir yang sekiranya mengusik pemikiran pembaca, sungguhlah apa yang kami lakukan hanya terbatas pada penyajian ke masyarakat, sebagai wujud tanggung jawab kami para pegiat sastra Jawa, tanpa terlibat dalam analisis isi teks. Kami sekadar berusaha menyajikan apa yang kami cintai, yakni manuskrip kuno Jawa.
Tim Peneliti JAWACANA:
Pimpinan: Paksi Raras Alit
Filolog Utama: Eka Pradipta
Peneliti: Enjang Wening, Krisna Arimurti
Tim penulis: Rafael Raga, Sukma Putri
Tim Mojok:
Ilustrator: Ega Fansuri
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Film Horor Indonesia Semakin Menistakan Budaya Jawa dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.