MOJOK.CO – Jangan pikir punya wajah bule itu menyenangkan dan selalu dapat keuntungan. Cerita Katharina Stogmuller ini, membantah stigma tersebut.
Sebelumnya, izinkan saya untuk memperkenalkan diri. Nama Saya Katharina Stogmuller. Sebenarnya huruf “o” dan “u”-nya ada umlaut-nya, kalau bahasa Jerman huruf yang ada umlaut-nya bacanya penuh penekanan sambil mulutnya monyong-monyong.
Iya, iya, saya tahu bacanya susah. Lagian yang bisa menyebutkan nama saya dengan benar sesuai kaidah EYD bahasa Jerman yang benar cuma bapak saya.
Ya maklum, nama “Stogmuller” saya dapat dari Bapak yang berasal dari Austria, yang—yah—secara ras sama dengan Jerman. Sedangkan ibuk saya Jogja, dan sekarang saya menetap di Sewon, (m)Bantul.
Berkat anugerah “gen” dari bapak akhirnya saya memiliki wajah yang agak kebule-bulean, hidung mancung, dan rambut yang berwarna agak pirang. Meski begitu, saya juga mendapatkan gen dari ibuk saya, sekaligus mewarisi lidah medok mbantul-nya.
Ibuk saya selalu mengatakan ke saya ketika kecil, “kowe ki kudu iso ngomong jowo ben ora diapusi wong kene.”
(Kamu harus bisa ngomong Jawa biar tidak dibohongi orang sini).
Masalahnya, kebiasaan bahasa Jawa yang sangat kental ini bikin bahasa Indonesia saya jadi sangat medok. Itulah kenapa saya selalu dicap sebagai “bule medok” atau “bule wagu”.
Ya iya, ketika bule biasanya keminggris ketika ngomong bahasa Indonesia, lah ini malah ada cewek bule paras Jerman-Austria tapi bahasa Indonesianya medok jawa. Benar-benar distorsi yang paripurna.
Lebih daripada itu, meski saya separuh bule, saya berani bilang kalau bahasa Inggris saya nggak bagus-bagus amat. Mungkin karena saya malah lebih ramah dengan bahasa asli bapak saya.
Karena masalah ini, wajar kalau dulu teman-teman saya selalu ngecengin saya karena lidah bule saya yang medok.
Saya ingat waktu saya masih TK. Di-bully karena status bule saya. Saya sih sudah lupa siapa-siapa mereka. Saya pikir, itulah masa-masa paling berat yang harus saya alami karena saya baru pindah dari Eropa ke Jawa.
Awalnya saya merasa heran. Kok saya beda sendiri di kelas?
Putih sendiri dan rambut pirang sendiri. Ketika teman-teman saya coba ngobrol dengan saya, saya bingung jawab apa. Saat itu—jangankan ngomong Jawa—ngomong Indonesia saja saya belum bisa. Maklum, saat itu saya baru bisa bahasa Jerman.
Jadi, ya kadang teman-teman membully saya karena saya beda sendiri. Biasanya bully itu baru mereda kalau saya nangis. Apalagi kalau saya tidak melihat ibu saya di depan mata. Nangis saya bisa makin pecah. Walau begitu, saat ini saya pikir mungkin mereka membully saya karena pengin kenalan aja sih.
Persoalan lain menjadi bule yang tinggal dari kecil di Indonesia adalah stigma kalau bule itu udah pasti jago bahasa Inggris. Padahal kan bule itu belum tentu dari Inggris, Amerika, atau Australia semua.
Hal inilah yang saya alami ketika pelajaran Bahasa Inggris waktu SD. Saat itu saya disuruh maju oleh guru Bahasa Inggris yang terkenal paling galak satu sekolah. Saat itu saya tidak bisa menulis huruf “eight” dalam bahasa Inggris dengan baik. Dimarahilah saya habis-habisan.
“Kamu itu ya, bapakmu bule masak nggak bisa bahasa Inggris. Malu-maluin.”
Anehnya, teman-teman saya yang lain bukannya menghibur atau membela saya, tapi malah sependapat dengan guru saya, “Iya, ih, masak kamu bule nggak bisa bahasa Inggris sih?”
Karena jengkel, saya jelaskan kepadanya.
“Bapakku itu orang Austria. Austria itu pakai bahasa Jerman bukan pakai bahasa Inggris. Opaku yang di Austria itu kalau disuruh ngomong Inggris ya nggak bakal ngerti sama sekali.”
Coba saja waktu itu saya punya keberanian untuk menjelaskan ke guru saya.
“Buk, bapak kula niku wong Austria. Ngagem basa Jerman. Mboten ngagem basa Inggris. Beda negoro kuwi, Cuk, eh, Buk!”
Meski begitu, karena dimarahin, saya akhirnya belajar bahasa Inggris dari nol. Dan akhirnya nilai bahasa Inggris saya tak pernah jelek sejak saat itu.
Masalahnya, ketika suatu kali saya bisa mendapatkan nilai paling tinggi di kelas. Teman-teman saya tetap saja bilang, “Ya wajarlah nilai bahasa Inggris-nya bagus, kamu kan bule.”
Ealah, podo wae jebule.
Meski begitu, sekarang saya justru bangga jadi bule dengan lidah medok. Mau bagaimanapun, itu kan kearifan lokal. Lebih daripada itu yang bikin medok lidah saya kan bahasa ibu saya. Bahasa ibu saya secara harfiah malah.
Namun, karena komposisi yang gradasinya kurang smooth antara perawakan dengan lidah saya, teman-teman saya yang sekarang sering ngatain kalau citra bule saya langsung rontok kalau saya ngomong.
Untungnya, ketika saya menemukan channel Youtube milik Cak Dave (bule Australia yang tinggal di Surabaya) yang suka banget ngomong pakai medok surabayanan, saya yang bule medok Bantul ini jadi tak lagi minder. Rasanya, saya terwakili dengan keberadaan Cak Dave. Berasa ada teman senasib sepenanggungan aja gitu.
Meski begitu, kadang-kadang gen bule saya ini juga mendatangkan masalah lain di ruang publik. Contohnya, saat saya mau beli sandal jepit di Jalan Malioboro.
Kebetulan saat lagi jalan-jalan, sandal saya prutul. Ya saya tahu, dengan wajah saya yang seperti ini saya berisiko kena “harga bule” kalau beli sandal di Jalan Malioboro. Tapi ketimbang nyeker, saya coba aja tes ombak.
“Itu 35 ribu aja,” kata bapak penjual sandal jepit sambil mengamati saya dari atas sampai bawah.
Iya, ini memang bukan sandal jepit Swallow gitu. Tapi kalau harganya 35 ribu sih… wasyem, wah yo tep larang tenan.
Akhirnya saya balas itu dengan bahasa Jawa alus.
“Mboten saget kurang nopo, Pak?”
(Nggak bisa kurang, Pak?)
Ada ekspresi terkejut dari wajah penjual sandal ketika saya ngomong itu. Barangkali ia pikir ini acara prank. Namun setelah clingak-clinguk bingung akhirnya ia balas…
“Yawes 27 ewu wae nggo koe, Nduk!”
(Ya udah, 27 ribu buat kamu, Nduk!)
Sebenarnya bisa aja saya pakai jurus ibuk saya. Pura-pura pergi tapi sinyal telinga diset 4G. Ya kali aja si penjual mangil-manggil, “Iya deh, Mbak. Kurangi lagi deh.”
Namun, saya mengurungkan niat saya itu karena memang saya tidak jago akting. Saya sempat mikir-mikir, sambil lihat isi dompet. Karena keburu butuh, akhirnya saya mau.
Selain perkara perawakan saya yang bule dengan segala macam problematikanya, hal yang paling sulit saya jawab adalah pertanyaan teman-teman saya soal, “Enakan tinggal di mana sih? Di Austria atau di Indonesia?”
Ya itu adalah pertanyaan default. Kalau boleh jujur, sebenarnya pertanyaan tersebut pertanyaan yang tidak akan pernah bisa saya jawab. Bahkan untuk memilih pun saya tak sanggup.
Soalnya, saya mendapatkan kenangan-kenangan yang baik di kedua negara. Baik di Austria, baik di Indonesia. Mau bagaimanapun, masa kecil saya juga pernah saya lalui di Austria, walaupun sebagain besar hidup saya tinggal di Indonesia.
Ketika saya berada di Indonesia saya merindukan yang ada di Austria, lalu ketika saya sedang mudik ke Austria tentu saja saya merindukan orang-orang yang saya cintai di sini.
Sayangnya, undang-undang di Indonesia tidak mengizinkan saya memiliki dua kewarganegaraan kalau udah 21 tahun. Itu jadi batas usia maksimal seseorang dapat memiliki dua kewarganegaraan. Jadi waktu saya kecil sampai puber, saya punya dua kewarganegaraan.
Karena persoalan tersebut, ya saya akhirnya melepaskan kewarganegaraan Austria saya agar bisa jadi WNI seutuhnya. Dan dengan modal lidah saya yang sangat medok mbantul ini, saya pikir saya juga sudah jadi warga Indonesia sepenuhnya.
BACA JUGA Nasib Punya Bapak Nggak Kreatif, Kasih Nama Anak Cuma Satu Kata dan Njawani atau tulisan ESAI lainnya.