Jika kita bermaksud membicarakan sepak bola Indonesia, tentu nama Surabaya tidak bisa di anggap lalu.
Surabaya seperti sedikit kota lain di Indonesia: Semarang, Solo, Jogja, Malang, Jakarta, dan Bandung, merupakan kota dengan kesebelasan yang mencolok, juga memiliki sejarah panjang mengenai itu. Bahkan pendukung kesebelasan atau suporter dari kota-kota tersebut juga dianggap sebagai supporter penting.
Kita paham betul, di Surabaya ada Bonek, di Solo ada Pasoepati, Di Jakarta ada The Jack, di Bandung ada Bobotoh atau Viking, di Semarang ada Panser Biru, dan lain-lain, yang siap memenuhi tribun manapun ketika kesebelasan yang didukungnya merumput.
Namun, tahukah Anda, pada masa revolusi fisik dulu, Surabaya pernah memiliki kesebelasan ‘dagelan’ yang digagas oleh tokoh-tokoh pergerakan lintas etnis? Begini kisahnya.
Dikisahkan, pemerintah kolonial Belanda memiliki aturan khusus bagi warga yang masuk kategori Vreemde Oosterlingen atau yang sering kita artikan dengan ‘Timur Asing’. Warga Timur Asing terdiri dari etnis Tionghoa, Arab, India, dan lainnya yang merupakan ‘kasta’ kedua setelah bangsa Eropa, atau satu tingkat di atas pribumi warga asli Indonesia yang oleh pihak kolonial disebut dengan inlander, kelompok terendah dalam struktur masyarakat bentukan Kolonial.
Khusus untuk kelompok Vreemde Oosterlingen, berlaku peraturan yang cukup tegas dari pemerintah kolonial. Peraturan tersebut dikenal dengan nama; Wijkenstelsel dan Passenstelsel. Termasuk kebijakan-kebijakan untuk memuluskan upaya politik belah bambu mereka, divide et impera.
Wijkenstelsel merupakan peraturan yang menginstruksikan bahwa orang-orang timur asing harus bertempat tinggal pada wilayah tertentu sesuai dengan ras dan komunitasnya. Sedangkan Passenstelsel, merupakan peraturan surat jalan.
Maksudnya, jika orang-orang Timur Asing bermaksud keluar dari kampung tempat tinggalnya, maka harus lebih dulu ambil izin kepada pihak kolonial untuk mendapatkan surat jalan.
Untuk memecah sekat yang ditimbulkan dari kebijakan rasialis Wijkenstelsel dan Passenstelsel tersebut, tokoh-tokoh pergerakan saat itu terus saja melakukan kontak lintas etnis. Bertemu, berunding, dan sebagainya.
Nah, dari salah satu perundingan itu, lahirlah Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB), sebuah klub sepakbola yang didirikan untuk menandingi klub sepakbola bentukan Belanda saat itu, yang diberi nama Soerabajasche Voetbal Bond (SVB).
Para anggotanya terdiri dari orang-orang Belanda dan beberapa etnis Tionghoa yang tergabung dalam aktivis Chung Hua Hui, sebuah organisasi masyarakat Tionghoa yang pro-Belanda.
Sepakbola saat itu juga sudah menjadi tontonan bergengsi bagi warga Surabaya dan sekitarnya. Sehingga bisa dipastikan setiap ada turnamen sepak bola, masyarakat akan berkumpul, tumplek blek memenuhi lapangan.
Pada mulanya ide pendirian organisasi sepak bola SIVB ini berasal dari kawan-kawan Tionghoa kota Surabaya yang tergabung dalam Partai Tionghoa Indonesia, seperti Koen Hian dan Boen Liang. Maksud baik ini kemudian di sambut oleh tokoh-tokoh etnis lain. Sehingga anggotanya lintas etnis, Tionghua, Arab, Jawa, Ambon dan lain-lain.
Pertandingan yang diselenggarakan oleh SIVB adalah antara Partai Tionghoa Indonesia (PTI) melawan Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) PBI–sebuah organisasi massa di kota Surabaya yang didirikan oleh Dr. Soetomo.
Sepak bola ‘olok-olok’ tersebut diikuti antara lain oleh Liem Koen Hian, Boen Liang, Alamoedi, A.R. Baswedan (Pendiri Partai Arab Indonesia, PAI), Sijaranamual, Kwee Thiam Tjing, dan lain-lain dari pihak PBI. Sedangkan dari pihak PTI, ada nama Radjamin Nasoetion, Roeslan Wongsokoesoemo, Gondo, Tjindarboemi, Soedirman, Pamoedji. Pertandingan dilakukan di lapangan Koblen.
Pertandingan itu terbilang sukses, karena berhasil menyedot ribuan penonton dari berbagai kalangan, termasuk dari kalangan Eropa sendiri. Dan selepas pertandingan, penonton disuguhi acara pasar malam di tempat yang sama. Pasar malam tersebut juga diadakan untuk menyaingi acara tahunan orang-orang Belanda di kota Surabaya, yaitu pameran yang diadakan di Jaarmarkt yang digelar pada waktu yang sama.
Karena pertandingan tersebut hanya pertandingan olok-olok, maka selama pertandingan berlangsung para penonton disuguhi tontonan yang lucu dan membuat terpingkal-pingkal, sebagaimana dilukiskan oleh Kwee Thiam Tjing berikut:
“Itu kumpulan perut gendut yang lari tidak karuan arahnya, yang dengan napas kempas-kempis masih tidak mampu menggiring bola yang menggelinding berlahan di depannya, yang tiga kali tendangan mesti dua kali luput darinya, malah ada yang sekali tendang luput bolanya, sebaliknya badannya yang gemuk bundar “kantep” di bokongnya. Di pihak kami yang ikut main ada Koen Hian, Boen Liang, Alamoedi, Baswedan, Sijaranamual (Joenoes) dengan dibantu oleh pemain-pemain lain.
Pertandingan yang sangat tidak serius tersebut berhasil menggalang solidaritas sesama anak bangsa, tanpa memandang latar belakang etnis, untuk melawan orang-orang Eropa di kota tersebut secara halus. Ribuan penduduk Bumiputra, orang-orang Arab, dan orang-orang Tionghoa berkumpul di lapangan Koblen untuk menonton pertandingan bola dagelan tersebut, dilanjutkan dengan menonton pasar malam yang berlangsung selama beberapa hari.”
Kwee Thiam Tjing secara olok-olok pula menyebut pertandingan bola tersebut sebagai “voormannen elf’tal”: “pertandingan kesebelasan orang-orang terkemuka”.
Sebenarnya masih banyak lagi cerita serupa, pejuang lintas etnis yang turut membantu perjuangan kemerdekaan. Seperti pasukan sekutu dari India, yang kerana kesamaan ideologi, kepercayaan, dan kekarepan, mereka disersi kemudian bergabung dengan barisan pejuang Indonesia.
Juga kemurahan hati saudagar Tionghua di Rengasdenglok yang sudi menerima pemuda pergerakan yang mencuri seniornya dari Jakarta, untuk merumuskan proklamasi kemerdekaan. Atau yang mungkin paling kita ingat, salah satu Petinggi Dai Nippon yang memfasilitasi pembacaan naskah proklamasi di serambi rumahnya.
Nah, ndilalah kersaning Allah, baru saja tepat di hari kemerdekaan, gabungan atlet lintas-etnis Ganda campuran Indonesia; Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir juga menang tanding bulu tangkis tingkat dunia, meraih medali emas Olimpiade Rio 2016, mengharumkan nama bangsa.
Tentu kita bangga, senang, sebab itu penting kiranya kisah-kisah heroik lintas etnis ini perlu untuk terus diulang-ceritakan, mengingat gejala sikap rasialis yang mulai marak belakangan ini, upaya-upaya menyudutkan satu etnis untuk mengunggulkan etnis lain, atau mengorbankan satu etnis untuk menjadi kambing hitam atas segala-gala petaka.